Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah anak-anak dibawah 18 tahun merokok?

Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah anak-anak dibawah 18 tahun merokok?
oleh pemerintah dan oleh masyarakat...

Ini terinspirasi dari artikel di Suara Pembaruan bahwa anak 5 sampai 9 tahun saja sudah merokok.

Lihat artikelnya di sini:
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/...
• 8 bulan lalu
Lapor Penyalahgunaan
by paoel
Anggota sejak:
29 November 2007
Total poin:
4935 (Level 4)
• Tambahkan ke Kontak Saya
• Blokir Pengguna
Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak
untuk anak-anak usia itu, yang paling berperan adalah orang tua mereka.
orang tua seharusnya sebisa mungkin mengawasi pergaulan anak-anaknya dan minta anak-anak bertanggung jawab atas penggunaan uang jajan yang diberikan.
aku perhatikan saat ini orang tua banyak yang melempar tanggung jawabnya kepada orang lain. contohnya kalau anaknya sampai sakit perut karena salah makan, yang disalahkan pasti pembantu/baby sitter, kalau ranking anak jeblok yang disalahkan guru lesnya, kalau anak berantem dengan temannya yang disalahkan gurunya di sekolah, dsb.
orang tua merasa bahwa tugasnya hanya memberi uang yang cukup bagi si anak untuk sekolah, untuk jajan, untuk main,dan untuk hobinya. akibatnya si anak yang belum mengerti tanggung jawab akan uang menggunakan uang jajannya sesukanya.

orang tua juga harus memberi contoh yang baik kepada anak2nya. bapakku termasuk perokok berat, tapi anak2nya tidak ada yang merokok karena sejak kecil kami sudah dinasihati utk tidak merokok. bapakku bilang terus terang bhawa kebiasaan merokok adalah kebiasaan buruk dan tidak sehat, namun karena sudah kecanduan, dia tidak bisa menghilangkan kebiasaan itu dan dia mengharapkan anak2nya tidak ada yang mengikuti kebiasaannya. hasilnya kami jadi punya kesadaran sendiri untuk tidak merokok.

masyarakat juga seharusnya peduli. kalau ada yang buka warung atau toko, jangan jual rokok ke anak2 yang di bawah umur. walau kadang2 ada orang tua yang menyuruh anaknya untuk membelikan rokok, tp sebaiknya penjaga warung minta orang tuanya yang beli sendiri.
• 8 bulan lalu

Bagai Telur Si Blorok
Pabrik rokok di Ja-Teng banyak yang gulung tikar akibat faktor modal, bahan baku & pasaran yang tidak berkembang. Hal ini telah dibahas komisi VI DPR dan diharapkan pemerintah menghapuskan PP cengkih, dll.
MENGAPA pabrik-pabrik kretek dan klobot terus saja berceceran di Kabupaten Kudus? Gejala merontaknya jumlah pabrik rokok yang menjadi sumber cukai nomor satu di Jawa Tengah rupanya telah menarik perhatian wakil-wakil rakyat di Jakarta. Terbukti dari kedatangan Team Komisi VI DPR ke kota peninggalan Sunan Kudus itu bulan lalu. Bayangkan saja kalau pada tahun 1965 jumlah anggota PPRK (Persatuan Pengusaha Rokok Kudus) masih 167 pabrik, dua tahun lalu tinggal 114 dan tahun kemarin merosot lagi sampai 78 pabrik saja. Malah ada seorang pengusaha rokok kretek yang setelah kehabisan modal, membubarkan karyawannya dan banting setir "menjadi tukang becak".

Trio Jatim. Begitulah cerita ketua PPRK, Haji Ambari Noer pada wakil-wakil rakyat yang diketuai oleh Haji Djamhari.

Namun haji itu tidak menceritakan, bahwa menciutnya jumlah pabrik selama 7 tahun belakangan justru diikuti kenaikan produksi dan penambahan jumlah karyawan laki-laki dan perempuan yang bekerja di bidang itu. Kalau tahun 1965 jumlah karyawan yang menurut survey majalah Management & Usahawan Indonesia, bulan Juni yang lalu, masih berjumlah 16.447 orang, maka tahun lalu jumlah itu telah menanjak sampai 21.069 orang. Meskipun setahun sebelumnya, 114 pabrik yang masih jalan sanggup menampung 21.341 orang. Sedang produksi tahun 19.5 yang meliputi 5,3 milyar batang rokok kretek dan 67 juta rokok klobot, tahun lalu meningkat sampai 7,8 milyar rokok kretek dan 204 juta rokok klobot.

Apakah angka-angka produksi ini menunjukkan beralihnya selera konsumen rokok klobot - petani dan pekerja kecil di Jawa - ke rokok kretek, masih perlu diselidiki. Yang sudah terbukti adalah, kebanyakan pabrik rokok yang gulung tikar adalah pabrik-pabrik kecil dengan karyawan di bawah 50 orang, termasuk yang klobot. Sementara "empat besar" di Kudus -- PR Jarum, Noroyono, Jambu Bol dan Sukun - tetap bertahan pada pasaran tradisionilnya. Kecuali pabrik rokok Jarum yang aktif berkampanye melalui iklan "Silahkan Terka" di TV-RI dan berhasil naik ke anak tangga "empat besar" tingkat nasional bersama trio Jatim: Dji Sam Soe, Gudang Garam dan Benloel. Pabrik rokok Jambu Bol misalnya, masih suka membagi-bagikan rokok pada perayaanperayaan keagamaan seperti Muludan dan Lebaran. Sama seperti ketika perusahaan itu masih dpegang oleh pendirinya, almarhum Haji A. Ma'ruf yang mewakafkan sebuah mesjid dan kuburan keluarga.

Pintu cukong Nasib pengusaha swasta yang sukar melepaskan bisnisnya yang turun temurun agaknya pantas diperhatikan melihat jumlah pajak yang dihasilkannya bagi Kas Negara. Seperti diungkapkan bupati Kudus pada Haji Djamhari, sektor rokok kretek ini menghasilkan cukai 7 milyar rupiah setahun. Atau lebih dari separuh seluruh pajak usaha propinsi Jawa Tengah yang berjumlah 12 milyar rupiah. Namun dalam masalah percukaian itu, masih terdapat kepincangan perlakuan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil. "Adilkah kalau perusahaan-perusahaan besar dibolehkan menunggak cukai sampai 3 bulan, sedang yang kecil harus bayar kontan?" kata itu ketua PPRK.

Wajarnya, Pemerintah menyelidiki dulu seluruh omzet produksi rokok Kudus. Bandingkan jumlah pita cukai yang diborong dengan jumlah rokok yang selesai dilinting dan dibungkus. Sebab menurut hemat wakil pengusaha-pengusaha rokok Kudus itu, "mustahil mereka dapat menyelundupkan pajak seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan lain".

Tapi terlepas dari mungkin tidaknya mengelakkan cukai yang masih diganduli macam-macam pajak lain, masih ada sebab penting lain yang memaksa puluhan pabrik menghentikan usahanya: faktor modal, mahalnya bahan baku, pasaran yang tidak berkembang, dan struktur perusahaan yang umumnya masih tradisionil. Kesulitan mendapatkan bahan baku cengkeh yang masih tergantung pada Zanzibar dan Madagaskar, sampai sekarang belum teratasi meskipun sudah pernah dicoba melalui tangan-tangan GAPPRI (Gabungan Perserikatan Perusahaan Rakok Seluruh Indonesia). Baik yang bernama PT Zanzibar PT Tjengkeh maupun JPPT yang punya izin usaha sampai tahun 1976. Karena itu, hanya cukong yang bermodal besar dan cukup tangkas untuk memesan cengkeh lewat "pintu belakang" - bukan melalui GAPPRI -- sanggup mengamankan kelestarian usahanya.

Kualalumpur. Kelihaian macam itulah yang merupakan salah satu "kunci" suksesnya usaha PT Jarum (TEMPO, 13 Pebruari 1973), di samping managemen usahanya yang sudah dimodernisir. Upaya meninggalkan cara kerja lama juga mulai nampak pada perusahaan Jambu Bol yang kini dipimpin oleh Haji A. Nawawi Rusdi. Haji yang tidak segan-segan mendatangkan konsultan dari Jakarta itu juga punya rencana mengirimkan stafnya belajar segi-segi pemasaran di Kualalumpur.

Anjuran Pemerintah dan para ahli yang diimpor agar itu usaha yang kecil-kecil bergabung alias agaknya tertumbuk bak mengharapkan "telur si Belorok". Seperti yang pernah diibaratkan ketua Perbanas, Idham: "Kalau 10 gerobak diminta bergabung jadi satu, hasilnya ya gerobak besar, bukan sedan". Sementara itu, harapan para pengurus PPRK agar Pemerintah sudi menghapus pajak-pajak yang sesungguhnya bukan tanggungjawab fabrikan kretek -- seperti itu PPn cengkeh, MPO bahan-bahan rokok dan dana Cess - kiranya patut dipenuhi sekedar memberi hembusan angin segar bagi mereka yang selalu terpukul. Sebab, kalau tidak, itu pedagang-pedagang cengkeh dan tembakau lantas kebagian tanggunawab apa?

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer