Sekilas TENTANG UNDANG - UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.
1. Apa sih Kekerasan dalam Rumah Tangga itu?

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

2. Siapa saja yang termasuk lingkup rumah tangga?

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

3. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga

4. Apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik?

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

5. Apa yang dimaksud dengan kekerasan psikis?

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)

6. Apa yang dimaksud kekerasan seksual?

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

7. Apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga?

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

8. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai hak-hak korban?

Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.

9. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah?

Ya. Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12):
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

10. Bagaimana dengan kewajiban masyarakat?

Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15):
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).

11. Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku?

Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

12. Bagaimana mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
INGAT!!!
Disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bukan berarti perjuangan terhenti. Ini justru merupakan titik awal perjuangan yang sebenarnya. Pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan Undang-Undang ini tetap harus kita lakukan. Demikian pula sosialiasi kepada masyarakat luas mengenai maksud dan tujuan UU ini, harus terus menerus diupayakan.
Lihat le













Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Oleh : Drs. M Sofyan Lubis, SH
<< back ke articles
Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004, adalah ; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (vide, pasal 1 ayat 1 ).

Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, adalah : a). Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri ; b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar, dan besan ; dan c). Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti PRT.

Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. 3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat dituntut kepada pelakunya, antara lain : a).Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ; b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ; c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ; d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; dan e). Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT).

Dalam UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu : a).Merumuskan kebijakan penghapusan KDRT ; b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT ; c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT ; dan d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT, dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya : a) mencegah KDRT ; b) Memberikan perlindungan kepada korban ; c).Memberikan pertolongan darurat ; dan d). Mengajukan proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan ; (vide pasal 15 UU PKDRT). Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami-isteri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. ( vide, pasal 26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).

Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26 ayat 2). Jika yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (vide, pasal 27). Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).

Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut

























Options
Disable

Get Free Shots









Stop Kekerasan Perempuan
kalau bukan kita, siapa peduli?
• Home
• Balik Layar
• Blog
• Buku Tamu
• Iklan
• Ilalang
• Kontributor
• Prakata

Tips Menanggulangi KDRT Menurut Islam
Kaum lelaki dengan ringan akan menganiaya istrinya
Semua itu dianggap sesuatu yang wajar belaka
Apalagi jika perempuan berani membangkang
Berani melakukan nusyuz
Ganjarannya adalah hinaan, pukulan, tamparan, bahkan pembunuhan.
Ingat ! Islam mengutuk semua itu.
Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa. Demikian itulah potret KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Peristiwa suami menempeleng istri tentulah bukan berita yang mengejutkan bagi masyarakat. Sebab, sudah terlalu sering terjadi. Bahkan, penyiksaan secara berlebihan dengan membakar sampai membunuh istrinya sendiri merupakan potret buram rumah tangga hari ini.
KDRT bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban KDRT adalah istri. Sudah barang tentu pelakunya adalah suami “tercinta”.
Rumah Tangga bukan tempat (ajang) melampiaskan emosional suami terhadap istri. Tetapi, rumah adalah tempat yang aman. Tempat dimana kehangatan selalu bersemi. Di dalamnya terdapat psangan suami-istri yang saling mencintai.
Andai…
Sepotong surga dapat digapai
Dan disematkan di setiap rumah manusia
Maka baiti jannati (rumahku sorgaku) bukanlah sekedar kata mutiara
Namun sebuah kawasan dimana seluruh warganya teduh dalam bahagia
Rumah tangga (keluarga) adalah pondasi sebuah negara. Dari keluargalah akan tercipta kader-kader bangsa. Manakala keluarga itu rusak maka berbahaya terhadap eksistensi negara. Maka dengan demikian, KDRT yang merupakan salah satu faktor rusaknya keluarga merupakan penyakit bersama bukan pribadi. Sebab, bahayanya meliputi seluruh anggota masyarakat. Untuk itu, semua pihak berkewajiban untuk membantu dalam menanggulangi KDRT.
Tips Menanggulangi KDRT Menurut Islam
Ada banyak langkah yang harus segera kita lakukan. Dua belah pihak (suami dan istri) harus bersama-sama berusaha untuk menjauhkan diri terlibat dengan KDRT. Walaupun, aktor penting dalam masalah ini adalah suami, akan tetapi istri juga berpeluang menciptakan KDRT. Langkah-langkah untuk menanggulangi KDRT, antara lain adalah:
Pertama, landasan keimanan. Makanya, antara suami dan istri harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Insya Allah, manakala suami sholeh dan istrisholehah akan jauh dari KDRT.
Sebagai contoh, lagi ada masalah dengan suami/istri. Tetapi karena suami/istri rajin shalat apalagi dengan berjamaah maka masalah akan mereda setelah shalat. Arif dan bijaksana dalam bersikap akan hadir bagi suami/istri yang dekat dengan Allah. Rumah tangga Rasulullah SAW menjadi contoh bagi kita.
Sebagai refleksi (renungan): Rasulullah pernah punya masalah dengan para istrinya (ummahatul mu’minin). Sehingga wajah Rasul kelihatan muram. Ini sebuah pertanda bahwa hatinya sedang galau. Kegalauan yang disebabkan oleh guncangan yang melanda bahtera rumah tangganya. Para ummahatul mu’minin menuntut tambahan nafkah. Nafkah yang selama ini diberikan Rasulullah dirasakan kurang mencukupi kebutuhan mereka. Rasul sungguh bersedih.
Sebab ia tidak bisa memenuhi tuntutan mereka. Ia bukanlah orang yang berlebih apalagi kaya raya. Bagaimanakah sikap Rasul? Sebagai seorang suami yang matang dan bijaksana, Rasul membawa pergi kerisauannya keluar rumah. Tujuannya adalah masjid.
Di masjid beliau mencoba merenungkan kejadian demi kejadian. Di masjid beliau mencoba meneduhkan jiwa dengan tafakur. Di masjid beliau mencoba mengoreksi diri, melihat kedalaman kalbu. Di masjid beliau memohon petunjuk kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar terbaik dari persoalan rumitnya. (Secara lengkap bisa dibaca dalam: Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, hlm. 172)
Kedua, reinterpretasi penafsiran terhadap “legalitas pemukulan”. Tindak kekerasan yang berbentuk penganiayaan terhadap istri dianggap sudah merupakan hal yang biasa. Ironisnya, tafsir agama seringkali dipakai sebagai unsur pembenaran.
Sebagai contoh, suatu siang di Yogyakarta seorang perempuan datang ke Rifka annisa’ (sebuah lembaga pelayanan perempuan). Tubuhnya lunglai, di beberapa bagian tampak lembam dan membiru. Rupanya dia dipukul suaminya. Dengan mata yang nanar dia bertanya kepada seorang konselor: “Bu, apakah ajaran Islam memperbolehkan suami memukul istri?”.
Dengan suara berat ia menambahkan: “Suami saya selalu memukul saya sambil ndalil (membacakan ayat Al-Qur’an 4:34). Bu, benarkah! Suaranya menghilang digantikan dengan tangis yang tertahan”. (Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi KDRT, hlm. 16). Surat An-Nisa’:34 ini memang seringkali dijadikan sebagai senjata/legalitas suami memukul istrinya. Wadhribuhunna (dan pukullah mereka) diarikan secara kaku. Padahal tidak demikian adanya. Kata dharaba mempunyai banyak arti: mendidik, mencangkul, memelihara, bahkan menurut Ar-Raghib Al-Isfahani secara metaforis bermakna melakukan hubungan seksual.
Kalaupun mau kita maknakan dengan memukul, bukan dalam artian penyiksaan atau penganiayaan. Tetapi, memukul dalam bingkai pendidikan atau pengajaran. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai legalitas untuk melakukan penyiksaan terhadap istri lewat pemukulan dan sebagainya sangat tidak dibenarkan dan salah.
Ketiga, menyadari akan akibat buruk dari KDRT. Ada beberapa akibat buruk.
Pertama, suami bisa dituntut ke Pengadilan karena penyerangan terhadap istri merupakan tindakan melanggar KUHP.
Kedua, Rumah Tangga menjadi berantakan (Broken Home).
Ketiga, mengakibatkan gangguan mental (kejiwaan) terhadap istri dan juga anak. Keempat, melanggar syari’at agama. Agama mengajarkan untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan keluarga yang dihiasi dengan pemukulan dan penganiayaan.
Keempat, khusus bagi para suami berlaku lemah lembutlah kepada istri sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Umar Ibn Khattab pernah berkata kepada Rasulullah: “Ya Rasul! maukah engkau mendengarkan aku? Kami kaum Quraisy biasa menguasai para istri kami. Kemudian kami pindah ke suatu masyarakat (Madinah) di mana laki-laki dikuasai oleh istri mereka. Kemudian kaum perempuan kami meniru perlakuan mereka.
Suatu hari aku memarahi istriku dan ia membalasnya. Aku tidak menyukai perlakuan seperti itu. Dan ia berkata: apakah engkau tak menyukai aku membalasmu?
Demi Allah, para istri Rasul membalas beliau. Sebagian mereka mendiamkan beliau sepanjang hari sampai malam. Umar lalu berkata: Ia celaka dan merugi. Apakah ia merasa aman dari kemurkaan Allah karena kemarahan Rasul-Nya sehingga ia mendapat hukuman?.” Nabi tersenyum. Senyum selalu dikembangkan oleh Rasul. Ini pertanda pribadi yang lemah lembut.
Kelima, khusus kepada para istri. Berusahalah untuk menjadi istri sholehah. Berhias diri untuk suami, melayani suami dengan baik, mematuhi perintah yang baik dari suami, menjaga harga diri dan suami, dan lain sebagainya. Berusahalah untuk selalu membuat suami tersenyum bahagia walaupun pahit rasanya.
Insya Allah, kekerasan di balik jeruji Rumah Tangga jauh dari keluarga kita. Cinta yang menghiasi kehidupan suami/istri harus senantiasa dipupuk hingga membuahkan kelanggengan. Cinta kita adalah karena Allah SWT. Jadi, suami/istri dalam sebuah keluarga adalah hamba-Nya yang selalu dekat kepada-Nya. Manakala ini sudah terbangun dalam mahligai rumah tangga, insya Allah tidak akan ada KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Wallahu a’lamu.
Oleh Diah Widya Ningrum, S.Pd.I Ketika adat dan tradisi kekerasan telah melembaga dalam masyarakat
* Penulis adalah Staf Pengajar Perguruan Al-Washliyah-Perbaungan
sumber: waspada online
This entry was posted on Monday, January 8th, 2007 at 7:37 am and is filed under artikel. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
24 Responses to “Tips Menanggulangi KDRT Menurut Islam”
1. Shereen says:
April 16, 2007 at 9:18 am
Menurut saya kekerasa terhadap perempuan muncul karena lingkungan. Lingkungan kita yg patriakis sudah terlalu lama membenarkan dan mengkompromikan hampir semua perbuatyan laki-laki baik yang salah pun, dan perempuan sudah diabiasakan oleh lingkungan untuk lebih nerimo, lebih berkompromi dan lebih konformis, dibiasakan untuk tidak terlalu vokal dan sedemikian rupa dididik oleh lingkungan dan keluarga untuk lebih menurut dan tidak terbiasa tegas. Menurut saya karena keadaan itu semua sebagian besar perempuan hanya terbiasa diam bila diperlakukan semena-mena oleh laki-laki karena tidak mao dinilai buruk oleh lingkungannya, laki-laki pun karena tidak mendapatkan respon yang buruk akan terus melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan ke si subyek perempuan itu.
Reply
2. toyib says:
April 18, 2007 at 1:41 am
saya sangat butuh dengan artikel tentang KDRT orang tua ter hadap anaknya, dan solusinya!
Reply
3. Aulia R says:
January 23, 2008 at 6:07 pm
saya sering mengalami kekerasan seksual. suami saya sering memaksa saya untuk berbuat anal sekx. saya sudah berulang kali menolak dan memberi penjelasan, tetapi selalu tidak dihiraukan malah tambah dimarah2i dan dimaki. saya sudah prnah minta bantuan mertua, tapi tetap tidak ada perubahan. dan sepertinya orang tua saya juga tidak bisa saya harapkan. mohon informasinya dimana saya bisa meminta bantuan apabila hal itu terjadi lagi?
Reply
4. neha says:
February 7, 2008 at 12:42 pm
saya korban KDRT. bisa hidup normal (pura-pura). pada kenyataan saya sakit. saya hanya bisa jujur pada diri saya sendiri. saya dianaya secara fisik: dipukul-dicubit-diseret, secara psikis: dicela-dihina-dilecehkan-tidak pernah didengarkan-dibentak dan miskin kasih sayang, saya juga dilecehkan secara seksual: tubuh saya sering dipandangi apalagi saat saya sakit dan di pijat. saya bisa bertahan sejauh ini alias bisa hidup “normal”. berkarir dan bersosial. walaupun semua itu jujur pura-pura. saya merasa karena Allah saya bisa bertahan. bisa tersenyum walaupun semua yang saya jalani adalah pura-pura. saya sakit sangat sakit. apakah semua orang dimudahkan untuk memiliki anak jika mereka tidak siap mendidik dan bertanggung jawab terhadap anaknya. tidak bisakah konselor pernikahan dari KUA dan pihak terkait menelaah masalah ini?
Reply
5. Hendro prabumulih says:
March 10, 2008 at 2:48 pm
Kdrt dalam rumah tangga memang tidak sesuai dengan agama tapi dengan pengaduan ke lembaga kdrt bukan hal yang bisa memecahkan masalah malah mendapatkankan aib sebagai istri yang bijak harus dapat mengetahui posisi mereka.lihat posisi suami jangan terlalu banyak menuntut pada suami yang membuat suami bisa menjadi khilaf.
Reply
6. Alan says:
May 18, 2008 at 5:41 am
saya belum tahu kalo pemukulan, cacian yang saya lontarkan kepada istri saya merupakan KDRT, bagaimana hukumnya jikalau KDRT itu dilakukan karena istri kita itu tidak mendengarkan atau mematuhi perintah suami yang memang perintah itu sesuai dengan ajaran agama. dalam menasehati itu kita sudah berulang kali dilontarkan ke istri, suami juga mempunyai batas kesabaran. dan apakah istri yang sering jalan ke tempat hiburan malam dengan lelaki yang bukan muhrimnya, disaat kita sendiri lagi keluar kota untuk mencari nafkah, itu dibenarkan oleh KDRT??
tolong keadilan ditegakkan jangan hanya pemukulan dll. yang nota bene dilakukan suami, tapi bagaimana hukumnya jika istri tidak menjalankan Kewajiban sebagai Istri dalam rumah tangga dan kita sudah mengingatkan namun tidak digubris, sedangkan saya harus membanting tulang dari pagi sampai sore bekerja untuk mencari sesuap nasi….
Reply
7. poeth says:
June 5, 2008 at 7:49 am
gak semua kesalahan seseorang itu di tanggapi dengan kekerasan… apalagi orang tersebut yang telah mengikrarkan janji sehidup sematinya bersama kita…. klo memang kita ingin membuat pernikahan menjadi lebih baik dengan menjalankan semua yang ada dlm ajaran agama, seharusnya kita omongin dlu sebelon menikah, apa nantinya akan sanggup dijalani? gak semua orang itu mampu melaksanakan seluruh kewajibannya tanpa ada kesalahan sedikit pun… seharusnya di bimbing bkn na di kasarin.. tolong sama semua kaum pria,, hargai wanita yang uda dipilih, jgn disia-sia -n .. kcuali salah satu na maen api n maen judi.
Reply
8. masyarakat says:
July 6, 2008 at 11:19 pm
BERITA KRIMINAL: MALING BARANG-BARANG ELEKTRONIK ASAL PUNUKAN RT. 02, RW. 01, WATES, KULON PROGO, 55611, BERNAMA: JEMBADI, TEMPAT/HARI/TANGAL LAHIR, KULON PROGO, JUM’AT KLIWON, 31 DESEMBER 1959, HARAP HATI-HATI SUDAH BANYAK KORBAN !
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=168259&actmenu=42
Dua Korban KDRT di Wates Lapor Polisi
24/06/2008 08:12:03 WATES (KR) – Dua korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT) di Wates, Sabtu (21/6), melapor ke Polres Kulonprogo. Kedua korban tersebut masing-masing Ny Kemiyem (50) warga Punukan Kecamatan Wates dan Sri Ekaningsih Titi Iswarni (45) warga Dusun Sebokarang Wates.
Saat melapor Ny Kemiyem mengungkapkan, Jumat (20/6) pukul 10.00, ia sedang membuat sapu lidi di rumahnya. Tiba-tiba suaminya Jd (51) mendekat dan tanpa alasan yang jelas lelaki itu langsung mencambuknya secara membabibuta menggunakan sebilah bambu. Akibatnya korban mengalami luka di sekujur tubuhnya.
Sementara dalam KDRT yang terjadi di Dusun Sebokarang Desa Wates, korban Sri Ekaningsih Titi Iswarni (45), Sabtu (21/6), melapor jika kejadian tersebut terjadi Jumat (20/6) malam. Saat itu korban menyediakan makan malam untuk suaminya.
Ketika suami korban, Kam (47), ditawari makan, lelaki itu hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tapi tiba-tiba, Kam mengambil Magic Jar (tempat memasak nasi), kemudian dikerudungkan ke kepala korban dengan keras.
Akibatnya mata dan pelipis kiri korban mengalami luka memar. Tak hanya itu pelaku juga menendang korban hingga tersungkur. Penganiayaan itu dilakukan tanpa sebab yang jelas.
Reply
9. pheeta says:
July 28, 2008 at 4:51 am
ok
Reply
10. Rika says:
September 1, 2008 at 7:19 am
Saya juga mengalami KDRT, tapi suami berkilah karena Quran memperbolehkan dia memukuli istri.
Saya khawatir, apakah Quran juga memperbolehkan suami memaki istrinya di depan teman-teman sekantor, tetangga dan di depan keluarga hanya karena terlambat menyiapkan sarapan ?
Reply
11. anindita says:
October 17, 2008 at 12:48 pm
sejauh ini,saya melihat kekerasa dlm rumah tangga kebanyakan karena faktor ekonomi,diman sang istri tidak bekerja/menghasilkan uang.. sang suami merasa dia lah sumber finansial,jadi seakan – akan dia berkuasa dan apa kehendaknua harus dituruti,jika tidak maka sering terjadi kdrt.
saran saya,wanita mandiri akan lebih dihargai. biar suami ga sewenang-wenang.
bagaimana pun juga,,keluarga seharusnya adalah tempat terindah.
Reply
12. wulan says:
December 4, 2008 at 7:34 am
saya juga mengalami kdrt, padahal saat ini saya tengah mengandung anak kami yang pertama.suami saya perasannya sangat sensitif. bila saya salah ngomong dan membuat dia tersinggung,bisa-bisa tiba-tiba kalap dan memukul saya berkali-kali. padahal kadang omongan saya bermaksud lain.
apabila ada yang bilang kdrt terjadi karena faktor ekonomi, yakni istri tidak bekerja, hal itu tidak terjadi pada saya, karena saya sendiri adalah wanita pekerja dan sebelum menikah sampai sekarang saya cukup mandiri secara ekonomi. saya menduga hal tersebut terjadi karena latar belakang suami, yang bisa jadi di keluarganya merupakan pemandangan biasa. berbeda dengan keluarga saya yang demokratis. saya sempat shock dan stres karena suami saya seperti memiliki kepribadian ganda.
yang ingin saya tanyakan, bagaimana pengaruh kdrt pada perempuan yang sedang hamil?apakah berdampak pada bayi yang akan dilahirkannya kelak?
Reply
13. wulan says:
December 4, 2008 at 7:36 am
saya juga mengalami kdrt, padahal saat ini saya tengah mengandung anak kami yang pertama.suami saya perasannya sangat sensitif. bila saya salah ngomong dan membuat dia tersinggung,bisa-bisa tiba-tiba kalap dan memukul saya berkali-kali. padahal kadang omongan saya bermaksud lain.
apabila ada yang bilang kdrt terjadi karena faktor ekonomi, yakni istri tidak bekerja, hal itu tidak terjadi pada saya, karena saya sendiri adalah wanita pekerja dan sebelum menikah sampai sekarang saya cukup mandiri secara ekonomi. saya menduga hal tersebut terjadi karena latar belakang suami, yang bisa jadi di keluarganya merupakan pemandangan biasa. berbeda dengan keluarga saya yang demokratis. saya sempat shock dan stres karena suami saya seperti memiliki kepribadian ganda.
yang ingin saya tanyakan, bagaimana pengaruh kdrt pada perempuan yang sedang hamil?apakah berdampak pada bayi yang akan dilahirkannya kelak?
Reply
14. ina says:
December 16, 2008 at 4:42 am
jk kondisi rumahtangga saya ingin tentram maka saya tidak perlu berkata apapun walaupun satu huruf. obrolan ringan saja bisa berujung pada pemukulan. sementara dia selalu ingin di dengarkan. kekerasan pertama yg saya alami adalah saat usia pernikahan saya menginjak dua bulan. pada awalnya saya tidak melawan namun ternyata sikap saya itu salah, pemukulan kembali terulang. kekerasan-berikutnya saya balas dengan kekerasan yang setimpal namun ketidakberimbangan kekuatan dari perkelahian itu membuat pendengaran saya bermasalah. Akhirnya saya beritahukan hal tersebut kepada keluarga dan kemudian suami berjanji untuk tidak melakukan kembali tapi janji itu dilanggarnya. keerasan pun kembali terulang sering dilakukan di depan kedua buah hati saya. namun saya masih punya harapan dia akan berubah dan
saya juga menduga hal tersebut terjadi karena latar belakang suami, yang bisa jadi di keluarganya merupakan pemandangan biasa. hal ini saya ketahui dari istri ipar saya yang ternyata juga mengalami hal yg sama. berdanya adalah saya tidak diam seperti istri kakak ipar saya itu. saya bersikap membalas perlakuan suami. mempertimbangkan kondidi perkembangan anak-anak saat ini saya berencana untuk bercerai dengan suami namun sikap saya yang membalas perlakuan suami saya itu menjadi ganjalan. karena suami saya seruing mengatakan hal itu sebagai alasan bahwa saya pun bertindak kasar padanya. padahal saya hanya membela diri. masa dipukulin terus diam aja? apakah sikap saya yang membalas suami itu salah?
Reply
15. virdaus says:
January 27, 2009 at 8:11 am
adanya peraturan bahwa wanita dilindungi, dengan adanya peraturan ini maka terjalinlah keharmonisan dalam keluarga
Reply
16. Jammy says:
February 6, 2009 at 8:03 am
Selamat Sore…
Bisakah Anda memberikan informasi dari semua segi agama yang ada di Indonesia mengenai pandangan tentang KDRT?
Bagaimana dengan UU yang mengatur di Indonesia?
Bisakah diberikan contoh yang konkrit mengenai KDRT yang pernaha terjadi di Indonesia?
Terima Kasih
Reply
17. Abdullah says:
March 12, 2009 at 1:55 am
YANG PASTI SEMUA ORANG TAHU BAHWA K.D.R.T BIASANYA DILAKUKAN OLEH SUAMI KEPADA ISTRI, SEKEDAR TAHU…. YANG SAYA ALAMI BERBALIK 180 DERAJAT……………anda tentu faham !
Saya sependapat dengan penulis diatas bahwa dalam konteks luas, KDRT adalah tanggung jawab kita bersama
Saran saya kepada semua adalah kenali dan lakukan tanggung jawab kita itu sekecil dan seringan apapun dengan cara MEMBINA MANUSIA …..karena pangkal utama timbulnya KDRT adalah FAKTOR SUMBER DAYA MANUSIA nya.
Lakukan saudaraku sebelum terlambat………! jangan sampai ada korban berikutnya seperti yang saya alami…cukuplah saya yang mengalami itu…. !
Wassalam,
Reply
18. gerpasang says:
March 23, 2009 at 2:05 pm
Bismillah,
dari awal saya membaca post it. saya memahami apa yang teman-teman rasakan walau saya belum mengalaminya
(insyallah tidak pernah terjadi), hikmah yang saya ambil adalah niat awal pernikahan diantara dua pasangan dan komunikasi. terjadinya konflik yang menimbulkan agresi verbal ataupun non verbal karena misscom. ilmu munakhat yang saya pelajari untuk memberikan pelajaran bagi pasangan adalah 3 tahapan :
1. saling mengingatkan
2. memukul degan penuh kasih sayang dengan syiwak
tentunya tidak boleh memukul wajah.
3. pisah ranjang
subhanallah disini menerangkan bahwa tiada perlakuan yang kasar jika kita bercermin dari rasulullah. jika KDRT sudah terjadi maka teman-teman bisa melakukan :
1. evaluasi diri/muhasabah
2. membicarakan hal ini kepada orang yang dapat
menjadi penengah (ortu, apakah ustdz yang paham,
atau psikolog pernikahan)
3. terakhir jalur hukum (perlindungan)
4. naudzubillah jika harus terjadi perceraian.
banyak pihak-pihak yang harus menjadi andil pada fenomena KDRT ini untuk segera berbenah dalam mengurangi dampaknya. terutama anak-anak, generasi-generasi kita (apakah kita memberikan generasi beberapa tahun kedepan dengan polaasuh yang abnormal?? innalillah, jangan sampai ya Robb)
wallahu’alam bissowab
Reply
19. ipul says:
July 7, 2009 at 5:45 pm
boleh minta solusi apa hukumnya jika isrti ringan tanan??jika suami memukul saja dilarang dengan alasan apapun baimana dengan istri yang melakukan kekerasan terhadap suami????
Reply
20. adzam says:
August 6, 2009 at 12:19 am
saya juga skg dilaporkan mantan istri terkait KDRT tentang pencubitan! mana keadilan setelah sekian lama dia meninggalkan saya dan selalu menuntut cerai! sering lari dari rumah dan jalan dg laki2 lain tanpa seidzin suami serta bapak tirinya yg selalu mencampuri urusan kami,malah dia selalu blg klo dia syg bgt ma bpk tirinya!dan setelah diceraikan dia tak terima lalu menuntut 100 juta sdgkan pernikahan kami hanya seumur jagung! mana keadilan? jgn hanya terus menyalahkan laki-laki ketika istri melakukan hal yg jauh dr batas kewajaran seorang istri????
Reply
21. jatmiko says:
August 8, 2009 at 1:32 am
subhanallah jika itu trjadi pda saya .
dari kesimpulan para teman2 diatas saya mgkin bsa menyarankan lebih baik kenali dulu siapa calon pendamping hidup jngn trburu2 untk nikah.
dan intinya lebih baik saling pengertian dan kalo sdng brselisih bicarakan dng niat seolah2 beribadah.
dan ajaklah suami/istri shalat barjama’ah .
insaalha smua emosi pasti bisa diredam dan smua mslh psti ada penyebabnya dan carilah solisi sebaik2 mngkn.
wslm
Reply
22. nugi234 says:
October 4, 2009 at 5:12 pm
KDRT = Legalitas bagi orang yahudi yang ingin menghancurkan segi segi dalam hukum islam yang mengatakan bahwa laki laki merupakan imam bagi keluarga. Jika KDRT ini selalu dijadikan alasan dan menjadikan wanita sebagai fihak yang menang, maka para perempuan akan dengan bebasnya menginjak injak lelaki. Menurut saya baguslah kalau KDRT di tiadakan, itu akan lebih mendidik bagi perempuan agar dia tahu aturan bahwa taat pada suami adalah WAJIB hukumnya.
Mari kita telusur, apakah mungkin seorang suami melakukan KDRT jika tidak ada sebab? gila dong suaminya kalo dia sampe tiba tiba mukul istrinya. Pasti yang mulai perempuannya dulu, entah karena dia males untuk digauli atau males buat ngambil minum suami karena asyik nonton sinetron?
Saya juga kemarin melakukan KDRT pada istri saya, kenapa saya melakukannya? coba hakim mana yang berani mengatakan bahwa saya salah,,,? istri saya baru saja kemarin saya jatuhi talak, karena dia selingkuh lagi dengan tukang jualan pulsa, sedangkan saya kurang apa sama dia,,,uang ngalir terus, nafkah bathin full,,,apa yang dia minta saya turuti,,, setiap saya marahin dia, pasti dia ngomong saya laporkan kamu karena KDRT!!!! cuma ngomong doang KDRT? sekalian saja saya embat sampe dia puyeng. gimana ga saya embat, dia dengan seenaknya meninggalkan anak saya di jalanan di kota yang jauh dari kota saya. padahal anak saya yang juga anaknya belum genap berumur tujuh tahun. Silahkan hakim mana yang akan menyalahkan saya? yang selingkuh dia, saya enggak. yang ninggalin anak dia, saya sih boro boro mau ninggalin…nyamuk gigit dia aja tu nyamuk saya uber sampe kena. dan anak saya yang dia tinggalin di kota lain itu adalah perempuan.
Dia selalu mengatakan akan melaporkan saya jika saya melakukan kekerasan, nah sekarang saya sudah bertindak, bodo amat dengan KDRT, saya sudah pusing. Coba kalo yang buat UU tentang KDRT ini ngalamin kayak saya begini,,,apa dia juga mau diem sabar dan duduk manis dengan harga diri yang diinjak perempuan? Alloh yang akan marah jika aturanNYA dilanggar.
Ada yang ga setuju? email saya di opanbule@ymail.com
Reply
23. Fahmi says:
October 13, 2009 at 8:19 am
Adik perempuan saya mengalami KDRT, Sejak mereka menikah selalu diperlakukan tdk baik.
Suami sering berhutang dan menggadaikan kendaraan dan barang2 milik isteri, bahkan cincin kawinpun digadai.
Kemudian bermacam2 orang datang kerumah ,menagih hutangnya.
Uang hasil hutang tsb tidak pernah jelas digunakan utk apa. Sementara uang belanja hampir tidak pernah memberi, kalaupun ada nani dipinjam lagi.
Untuk menutupi aib rumah tangga isteri selalu membayar hutang2 tsb.
Namun suami selalu berbuat begitu dan tidak pernah berubah.
Bahkan terakhir sudah sering mengancam.
Adik saya itu juga mengalami kekerasan seksual yg biadab yg kurang enak saya sampaikan disini.
Betul2 biadab.
Saat ini kami sedang memproses perceraian mereka, dan berharap untuk menghukum pelaku.
Apa saran atau hal apa yg terbaik yg kami harus lakukan utk adik perempuan tsb?
Mohon hub sy di email diatas tks.
Reply
24. Eli says:
November 28, 2009 at 2:03 pm
Sy korban kdrt slm 7th.suami srg memukuli,mencekik kl salah omong.sensitip cpt kalap kl tsinggung.3kali ini pula sy shok tapi dia mlh mnantang slakan lapor polisi.nyawa nyaris terancam dan kjadian ini mbuat anak sy msh 6th ktakutan.spt setan dihatinya ingin sy mati.mau plg krumah sdri takut trulang.mental sy jd ta tkendali.apa sy hrs ksh ksmpatan pdnya ?tdk.sy bs diam ktk berbuat kjam tnpa mlawan.kalo cerai jln satu2nya .solusi apa lg .tlg dan bantu sy.krn takut anak jg jd korban.
Reply
Leave a Reply

Name (required)
Mail (will not be published) (required)
Website



Notify me of follow-up comments via email.
Notify me of new posts via email.

• Arsip

• a

• peraturan
o uu no 23/2004
• referensi dalam negeri
o BKKBN
o eskploitasi seks komersil
o Komnas Perempuan
o lbh apik
o penghapusan perdagangan orang
o perempuan kebumen
o perlindungan anak medan
o rahima
o Suara Hati Perempuan
o trafficking anak rantau
o trafficking norwegia
• referensi luar negeri
o anti slavery
o anti trafficking programme
o campaign to stop trafficking
o center for gender studies
o coalition against trafficking woman
o denmark peduli trafficking
o engenderhealth
o gender reserach
o ilo org
o milis gender
o newsletter trafficking
o stop human traffic
o susan b anthony institute
o the kinsey instute
o trafficking in child
o trafficking in child labor
o trafficking in greece
o unicef vietnam
o Violence Against Women
o woman n gender
o woman n gender studies
o WordPress.com
o WordPress.org
o www.coe.int
• spesial links
o A. Radio Online Ilalang
o angkasa online
o B. Komunitas Pati
o BATAM BISNIS
o belajar bahasa arab
o belajar bahasa Tionghoa
o berita se-Indonesia
o C. Jejak SMA
o chating yuk
o D. Jejak PT
o dapatkan mozila firefox
o download mp3 jawa
o dunia bayi
o dunia ponsel
o dunia wanita
o E. Puisi Hasan Aspahani
o jadwal film bioskop
o komunitas flash indonesia
o lowongan kerja
o LOWONGAN KERJA
o membuat album foto online
o membuat blog
o memperdalam flash
o memperdalam photoshop
o netscape browser
o nonton tv dunia
o opera web browser
o podcasting
o rekam semua yang terdengar
o Rumah Syahroell
o sharing file yuk
o terawang kekerasan
o update winampmu
o website Presiden SBY
o Woman Crisis Centre
• yang konyol di batam

↑ Grab this Headline Animator
• Recent Comments
yuyu on Ditiduri Lebih 100 Kali, ABG…

http://koleksi-video… on Istri Teman Diperkosa

http://koleksi-video… on Ditiduri Lebih 100 Kali, ABG…

http://koleksi-video… on Kekerasan Terhadap Perempuan B…

http://koleksi-video… on Payudara ABG Diremas dari…

• Pengunjung
o 123,025 orang
Theme Contempt by Vault9.
Blog at WordPress.com.























Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Bagaimana agamawan bersikap?
Posted on 22 Mei 2009 by M Shodiq Mustika
Dari brwosing hari ini, aku jumpai satu berita menarik mengenai bagaimana agamawan bersikap terhadap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Isinya lumayan “menampar” diriku selaku “agamawan”. Kurasa, perhatianku terhadap masalah ini masih kurang. Bagaimana dengan dirimu? Oh ya, ini dia berita yang aku maksud:
Selasa, 04 Mei 2009 18:04
Peluncuran Buku Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan
Bukan Hanya Mendengar, Tapi Juga Menghadapinya
Jakarta-wahidinstitute.org. Korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) selama ini diabaikan oleh kalangan agamawan. Alih-alih didengarkan, mereka justru dinasihati oleh agamawan agar menerima takdir; bersabar dan jika tidak sanggup banyaklah berdoa. Apalagi dibela. Keprihatinan ini menggerakkan Komnas Perempuan melibatkan agamawan dalam kaitan pembelaan dan pemberdayaan terhadap perempuan.
Hasilnya, lahir buku “Memecah Kebisuan; Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan” yang diluncurkan pada Rabu siang (22/04/09) di bilangan Tebet. Buku yang dibuat dalam 4 versi (versi NU, Muhammadiyah, Katolik, dan Protestan) ini mengetengahkan kesaksian para korban dan memberikan pembacaan teks atas kitab suci yang memihak perempuan. Hadir sebagai penanggap buku ini adalah Ibu Shinta Nuriyah (NU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Romo Yosef Dedy Pradipto (Katolik), dan Pendeta Andreas A. Yewangoe (Protestan).
“Kami tidak hanya mendengarkan kebisuan tetapi juga menghadapinya,” demikian pernyataan Shinta menanggapi buku ini. Shinta menghadapi kebisuan untuk melalui pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan lewat Puan Amal Hayati. Organisasi yang didirikan pada 3 Juli 2000 ini oleh Shinta dan kawan-kawannya ini melakukan pendampingan perempuan korban berbasiskan pesantren. Mereka agamawan yang bukan hanya mendengar testimoni korban tetapi juga terjun langsung membelanya.
Penderitaan korban bermacam-macam. “Ada anak yang diperkosa paman dan adiknya selepas peringatan tujuh hari wafat ibunya,” terang Shinta. Si anak akhirnya masuk RSJ. Puan Amal Hayati mendampinginya selama di RSJ. Cerita lainnya tidak kalah tragis. Di Tasikmalaya, kata Shinta, seorang gadis menjadi korban incest ayah kandungnya selama 5 tahun sampai memiliki anak. Ibu kandung tidak tahu kebejatan suaminya itu.
Cerita ketiadaan pembelaan terhadap korban ini, menurut Shinta, punya sebab tersendiri. “Para pemegang otoritas (keagamaan) ini tidak bisa membedakan tradisi dan ajaran Islam,” ungkap Shinta. Tradisi, menurut Shinta, dianggap ajaran agama karena datang dari Arab dan bertuliskan huruf Arab. Visi agama akhirnya menjadi terdistorsi. Upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya kritis agamawan lewat institusi masing-masing. “Ajaran yang murni bisa dipertahankan dan tradisi tertentu bisa diubah oleh mereka,” tambah Shinta.
Agamawan (yang juga pengelola institusi agama) juga perlu keluar dari belenggu teks (yang sifatnya patriakhis), namun bukan berarti meninggalkannya. Agamawan, kata Shinta, tetap kembali kepada teks namun tidak secara tekstual. Dalam aras ini, teks dipahami bukan dengan harga mati. Teks justru dipahami sebagai mata air yang terus hidup dan dinamik. Dengan pembacaan teks seperti ini, agamawan dapat memberikan solusi yang konkret, praktis, dan aktual bagi persoalan masyarakat, termasuk persoalan yang menimpa perempuan. Setelahnya, pengelola institusi agama ini dan para aktivis perempuan dapat terlibat dalam dialog yang jujur, intens, dan terbuka.
Dialog dua belah pihak ini dapat berujung pada pemberdayaan elit dan tokoh agama untuk menjadi problem solver. “(Misalnya) mereka menginterpretasi ulang teks (agar menjadi ramah perempuan) dan disosialisasikan,” tutup Shinta. (Nurun Nisa)
Psikolog: Perempuan Cenderung Ambigu Hadapi KDRT
Kamis, 25 Pebruari 2010 14:06 WIB | Peristiwa | Kesehatan | Dibaca 955 kali
Denpasar (ANTARA News) - Psikolog Tika Bisono menyatakan, perempuan Indonesia cenderung bersikap mendua saat menghadapi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya.

"Perempuan itu ambigu dalam menghadapi masalah ini. Ia sebetulnya tidak senang dengan perlakuan kekerasan itu, tapi di sisi lain melekat keyakinan mengenai pengabdian pada suami," katanya pada seminar nasional mengenai KDRT di Denpasar, Kamis.

Seminar yang digelar LKBH Talitha bekerja sama dengan BEM Fakultas Hukum Undiknas Denpasar itu juga menghadirkan guru besar FH Unpad Bandung Prof Dr Eman Suparman, SH, MH, Kepala Subbidang Bantuan Hukum pada Bagian Pembinaan Hukum Polda Bali AKBP I Nyoman Arthana dan advokat Nuryanto, SH, MH.

Menurut Tika, perempuan mengalami perang batin luar biasa dan sulit segera keluar dari kondisi itu, apalagi orangtua dan mertua cenderung tidak membela mereka.

"Biasanya orangtua dan mertua malah bilang, sabar. Itu karena orangtua dan mertua juga pernah mengalami hal yang sama dulunya," kata psikolog yang juga artis ini.

Ia mengemukakan, karena berbagai kendala, perempuan enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Mereka takut disalahkan sebagai istri yang tidak sabar atau takut dianggap tidak bisa mengurus suami dan rumah tangga.

"Selain itu perempuan sering berada dalam posisi ketergantungan pada pasangannya, baik secara emosional maupun ekonomi. Perempuan itu berpikir, saya kan sudah dibelikan rumah, anak-anak sudah disekolahkan ke luar negeri," kata Tika.

Sementara dari suami pelaku KDRT, mereka cenderung bertahan dan malu melakukan terapi berkaitan dengan masalahnya itu.

"Saya heran, mengapa suami itu gengsi? Kan yang tahu masalahnya cuma istri dan terapisnya. Masalahnya, seringkali kalangan suami juga merasa `tidak sakit`," katanya.

Tika menyatakan, korban KDRT harus didampingi, didukung secara sosial dalam memahami dan menghargai dirinya, perlu didukung melatih diri bertindak positif dan menerima perlakuan positif.(*)
COPYRIGHT © 2010
Ikuti berita terkini di handphone anda http://m.antaranews.com
Simpan dan akses berita ini dari HP anda dengan kode QR dibawah ini.













Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri
Kategori Individual
Oleh : Pudji Susilowati, S.Psi
Jakarta, 20 Februari 2008
Apakah anda korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ataukah anda termasuk ke dalam anggota masyarakat yang masih awam dengan KDRT? Apapun jawabannya dan siapapun anda, sebaiknya anda tetap perlu mengetahui informasi penting ini.
Akhir-akhir ini, KDRT makin marak di masyarakat, terutama KDRT yang terjadi pada istri. Salah satu contoh kasus yang sempat marak dibicarakan adalah kasus KDRT yang dialami oleh Lisa, seorang ibu rumah tangga yang wajahnya menjadi rusak akibat disiram air keras oleh suamnya. Yang cukup mengundang pertanyaan disini adalah: "Apakah memang KDRT hanya terjadi pada istri tidak bekerja / Ibu Rumah Tangga, ataukah juga terjadi pada istri yang bekerja?" Untuk mengetahui jawabannya, simaklah pembahasan berikut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami pada istrinya, sebenarnya tidak hanya terjadi pada istri yang tidak bekerja tetapi juga pada istri yang bekerja. Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, sekitar 24 juta perempuan di Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tetapi jumlah yang pasti belum diperoleh. Di Indonesia, pada tahun 1998 jumlah kekerasan yang terjadi pada istri yang tidak bekerja adalah 39,7 % dan 35,7 % pada istri yang bekerja. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Amalia dkk. pada tahun 2000 ditemukan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami pada istri dikarenakan adanya stereotype bahwa laki-laki itu maskulin dan perempuan feminim, selain itu, suami juga merasa frustrasi dengan penghasilan istri yang lebih tinggi. Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan terhadap istri lebih banyak yang tidak terungkap karena adanya anggapan bahwa hal tersebut adalah masalah keluarga dan tabu apabila terungkap. Sehingga hal ini secara tidak disadari turut melanggengkan budaya kekerasan terhadap perempuan. Sungguh sangat mengenaskan bukan.
Padahal Julius Nyaree pernah mengatakan:
"Kalau seorang perempuan itu berdaya, maka ia akan berdaya, dan kalau perempuan itu berdaya maka ia akan menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya"
Oleh karena itu, kasus kekerasan terhadap istri merupakan suatu kasus tersendiri yang patut menjadi perhatian masyarakat karena mengakibatkan dampak yang merugikan bagi keluarga, termasuk anak-anak.
Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri
Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan KDRT terhadap istri? KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.
Gejala-gejala Kekerasan Terhadap Istri
Mungkin yang akan mengundang pertanyaan adalah: "Bagaimana gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan?" Perlu diketahui bahwa gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejala-gejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.
Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Istri
Jika anda sudah mengetahui gejala-gejalanya, maka selanjutnya yang harus anda ketahui adalah bentuk-bentuk kekerasan tersebut. Dengan mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi, anda dapat menjadi lebih peka dalam menghadapi kasus KDRT, dan anda dapat membantu orang lain (baik yang anda kenal maupun tidak) yang mungkin mengalaminya. Jangan sampai terjadi, anda hanya sebagai penonton yang tidak berempati ketika mengetahui terjadinya KDRT di sekitar anda.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri tersebut, antara lain:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
Penyebab Kekerasan Terhadap Istri
KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada penyebabnya. Di negara kita, Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1) Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2) Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9) Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.
Menanggapi hal ini, maka selanjutnya menjadi pertanyaan penting untuk semua dari kita, sebagai warga Negara Indonesia adalah: "Apakah kita berperan dalam budaya ini? Dan apakah kita akan terus membiarkan hal ini?"
Siklus Kekerasan Terhadap Istri
Mungkin Anda sering melihat bahwa seorang istri yang telah mengalami kekerasan dari suaminya, akhirnya akan kembali mengalami kekerasan. Bagaimana siklus kekerasan terhadap istri? Siklus kekerasan terhadap istri adalah suami melakukan kekerasan pada istri kemudian suami menyesali perbuatannya dan meminta maaf pada istri, tahap selanjutnya suami bersikap mesra pada istri, apabila terjadi konflik maka suami kembali melakukan kekerasan pada istri.
Namun, Istri berusaha menganggap bahwa kekerasan timbul karena kekhilafan sesaat dan berharap suaminya akan berubah menjadi baik sehingga ketika suami meminta maaf dan bersikap mesra, maka harapan tersebut terpenuhi untuk sementara. Biasanya kekerasan terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi istri dan adanya rasa takut ditinggalkan dan sakit hati atas perilaku suami. Ternyata, siklus kekerasan pada istri tanpa disadari menjadi seperti lingkaran setan.
Dampak Kekerasan Terhadap Istri
Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Apa saja dampak kekerasan terhadap istri?
Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
Setelah Anda mengetahui dampak dari kekerasan pada istri maka Anda tentu harus turut berempati dengan berupaya memberdayakan dan menolong korban KDRT. Karena tanpa adanya perubahan pola pikir anda dalam memandang kasus-kasus kekerasan seperti ini maka kekerasan pada perempuan masih akan terus terjadi. Dan siapa pun dapat menjadi korban kekerasan termasuk Anda dan keluarga Anda.
Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Terhadap Istri
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi.
Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan.
Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan me-manage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua.
Sebagai penutup dari artikel ini, saya berharap semoga uraian di atas berguna bagi para pembaca sehingga pembaca turut berpartisipasi untuk menghentikan budaya kekerasan yang terjadi masyarakat kita.
Daftar Pustaka


















Hmmmmh….rasanya tak ada habis- habisnya cerita tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi di Indonesia, kadang saking hopeless-nya saya suka wondering…apakah akan ada masa dimana masalah- masalah seperti kejadian yang dipaparkan dalam artikel dibawah ini akan berakhir?
Artkel dibawah saya ambil dari sebuah situs, jujur saja saat membaca ini saya kontan merinding, sedih mengingat perempuan masih diperlakukan sedemikian buruknya. Cita- cita saya cuma ingin perempuan- perempuan ini mendapatkan bantuan sebagaimana mestinya dan ingin sekali memberikan perlindungan kepada mereka agar mereka bisa hidup tenang dan anak- anak mereka tetap hidup normal.

Dengan munculnya beberapa lembaga non pemerintah yang jug turut memperhatikan masalah ini, harusnya masalah ini dapat dikurangi sedikit demi sedikit. Pemerintah memiliki andil untuk mensosialisasikan adanya UU KDRT ini, karena masih banyak perempuan dan anak- anak yang masih belum berani melawan atas kekerasan yang menimpa mereka karena belum tau harus melakukan apa dan kemana harus meminta perlindungan. Ini adalah salah satu tugas berat kita untuk saling melindungi.



Yeni dan Warsi Simpan Kekerasan Suami sebagai Rahasia Keluarga
Oleh Heppy Ratna Sari

Sudah 17 tahun Yeni berumah tangga, asam garam pernikahan telah ia rasakan. Namun di penghujung tahun 2006 ini ia tidak bisa lagi hidup berdampingan bersama keluarganya. Tahun ini adalah tahun terberat dalam pernikahannya, ibu empat anak ini harus menelan pahit karena berulang kali dianiaya dan dihina oleh suaminya. Sambil menujukkan bekas luka di bagian mata kirinya akibat dilempar benda keras, Yeni mengatakan tidak tahu menahu penyebab hingga suaminya sering memukulnya. "Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya, tiba-tiba saja dia sering memukul dan menghina saya, memecahkan barang-barang dan melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Entah ada apa, kondisi ekonomi kami baik-baik saja," katanya dengan ekspresi bingung.

Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam ia hanya bisa berdoa semoga suaminya hari ini tidak memukulnya atau paling tidak ada "keajaiban" sehingga pukulan itu tidak terlalu menyakitkan dan membuatnya mati. Setiap kejadian menyakitkan yang ia terima ia abadikan dalam tulisan. Ia gambarkan semua tindakan kejam suaminya dalam catatan harian. Meski demikian ia tetap bersyukur karena luka itu hanya dideritanya dan bukan anak-anaknya. Bukan harta yang membuatnya bertahan hingga hari ini, tetapi pengabdiannya kepada keluarga. Ia mengatakan kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anak mereka tumbuh sehat, ceria dan mampu meraih cita-cita mereka. "Saya sudah meminta izin pada anak-anak dan mereka menyetujui jika saya bercerai. Saya tahu mereka juga terluka untuk itu saya minta maaf," kata Yeni, yang proses perceraiannya kini sedang berjalan.

Hal yang sama juga menimpa Warsi, wanita paruh baya yang selalu ramah kepada semua orang ini ternyata juga menyimpan trauma terhadap pasangannya. Selama kurang lebih 20 tahun ia hidup bersama pria yang tak segan memukulnya. Sebagai ibu yang tidak bekerja, Warsi menggantungkan hidup pada suami yang juga berpenghasilan pas-pasan. "Saat tidur, saya selalu menyembunyikan botol di bawah bantal, kalau-kalau dia membekap saya maka saya bisa langsung memukulnya. Dia selalu memukul terang-terangan di depan anak-anak dalam keadaan mabuk. Bahkan tak jarang, jika anak-anak di rumah mereka membantu memukul suami saya dan menolong saya. Mereka adalah anak-anak yang berani," kata Warsi dengan senyum yang dipaksakan. Kini ia hanya bisa menyimpan traumanya sendiri, tetap tersenyum dan ceria meski masih menyimpan kekecewaan.

Enggan Melapor

Meski telah menerima tindak kekerasan dari orang terdekat mereka, kedua ibu ini enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan menghambat mereka untuk bertindak tegas salah satunya adalah tidak ingin memperpanjang masalah. Bagi mereka, memperpanjang masalah sama dengan lebih menyakiti anak-anak dan menyebarluaskan aib mereka pada masyarakat. "Saya tidak ingin masalah ini menjadi besar dengan melaporkannya ke polisi atau dengan visum. Kalau suami dipanggil maka masalahnya akan semakin panjang dan saya tidak mau itu. Lebih baik meminta cerai langsung tanpa harus bertemu lagi dengan dia," kata Yeni.

Meski ia mengaku telah mendapatkan dukungan dari warga sekitar tempat ia tinggal untuk melapor, namun Yeni tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Menurutnya, akan lebih menyakitakn jika ayah anak-anak dipenjara, maka demi menjaga perasaan putra-putrinya ia memilih untuk menyimpannya sendiri dan bertahan. Begitu pula dengan Warsi, ia tidak bisa melaporkan suaminya karena jika si suami dipenjara maka masa depan anak-anaknya akan tidak memiliki kepastian. Anak-anak, katanya masih membutuhkan ayah mereka karena sebagian besar kebutuhan keluarga dipenuhi oleh suami. "Jika dia ditangkap lalu bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan membiayai hidup mereka. Maka saya harus bertahan hingga anak-anak cukup besar dan mampu membiayai hidup mereka sendiri. Setelah itu saya bercerai," katanya.

Mereka juga "tak mampu" melaporkan kasus mereka pada lembaga-lembaga non pemerintah yang ada karena pertimbangan-pertimbangan tersebut. Meski mereka sadar yang dilakukan suami mereka adalah tindak kejahatan dan dapat dikenai sanksi hukum, kedua ibu itu memilih diam dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia mengatakan setiap wanita memiliki hak pembelaan terhadap dirinya.

Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan terhadap sesama. "Seharusnya kaum pria harus bisa menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga. Tetapi buktinya `penghargaan` itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah," katanya. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari.

Bantuan Hukum

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan utama dan menggantungkan hidup pada suami, mereka tidak memiliki keberanian untuk dengan cepat memutuskan ikatan rumah tangga akibat kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Ada ketakutan soal hidup mereka setelah lepas dari suami, apakah akan segera mendapat pekerjaan, sedangkan usia mereka kurang produktif untuk bekerja. Namun ketakutan itu tidak lagi dihiraukan seiring dengan makin menipisnya kesabaran. Setelah berhasil memantapkan hati untuk lepas dari kekerasan suami, mereka masih harus terlibat masalah baru. "Saya hanya ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan tidak memiliki tabungan pribadi.

Ketika saya telah mantap bercerai, masalah yang harus dihadapi tidak kalah rumit yaitu biaya jasa pengacara," kata Yeni. Menurutnya ia telah meminta bantuan sejumlah pengacara, namun mereka mematok harga yang tinggi sehingga Yeni terpaksa mengurungkan niatnya. Untuk itu ia mendatangi sebuah Lembaga Bantuan Hukum untuk berkonsultasi dan meminta bantuan keringanan biaya pengacara. Ia tidak berharap banyak akan ada bantuan dari pemerintah maupun dari lembaga, ia hanya berharap ada sedikit "belas kasihan" dari para penegak hukum untuk meringankan bebannya. "Saya tahu pemerintah juga banyak masalah yang harus dibereskan, apalah artinya saya dibandingkan dengan masalah negara. Saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan mau mengulurkan tangannya melalui tangan yang lain sehingga beban ini terasa lebih ringan," ujar Yeni.

Kini makin banyak lembaga non pemerintah yang bergerak dalam perjuangan hak asasi manusia terutama perempuan. Keberadaan mereka adalah untuk memperjuangkan hak wanita yang tertindas. Namun keberadaan lembaga ini dan undang-undang no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih belum cukup untuk menghentikan kekerasan terhadap wanita. Dalam undang-undang itu disebutkan pelaku kekerasan fisik dikenakan pidana penjara 5-15 tahun atau denda Rp15-Rp45 juta. Pelaku kekerasan psikis dikenakan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp9 juta. Sedangkan pelaku kekerasan seksual dipidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta dan untuk pelaku penelantaran rumah tangga dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Yeni dan Warsi adalah dua contoh nyata soal kekerasan dalam rumah tangga yang masih terus terjadi, menjelang peringatan Hari Ibu. Walaupun melewati cara berbeda; Warsi menjalani proses cerai tanpa dampingan pihak lain dan Yeni melalui pendampingan LBH, mereka sama-sama lebih memilih menyimpan kenyataan pahit yang mereka jalani sebagai rahasia keluarga.Bagi berbagai kalangan, sikap dua perempuan itu merupakan cermin belum tersosialisasikannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Bagi aktivis Rita Serena Kalibonso, saat ini masyarakat masih menganggap masalah KDRT masih merupakan aib bagi keluarga mereka sehingga tidak perlu dibawa ke wilayah publik. Padahal, kata dia, filosofis dari UU PKDRT itu adalah untuk mengoreksi cara pandang masyarakat itu yakni ketika dia menjadi korban KDRT, dirinya akan mendapatkan berbagai macam perlindungan hukum mulai dari pelaporan, pendampingan oleh konselor hingga ke tahap pengadilan serta perlindungan bila amanat UU PKDRT itu betul-betul dilaksanakan.(*)
Posted by erry riyadi at 2.1.07
Labels: Artikel Seputar Perempuan
2 comments:

Anonymous said...
mba...
saya dhodo mahasiswa psikologi Unpad. saya sedang nyusun skripsi tentang korban KDRT.
saya tertarik dengan tulisan mba yang tentang korban KDRT itu. kasus yang ada di tulisan mba itu akan saya masukkan sebagai latar belakang skripsi saya, tetapi saya butuh info lebih tentang keadaan mereka ketika mengalami KDRT. selain lewat blog kira2 saya bisa menghubungi mba kemana ya?
kira2 email atau mungkin YM.
tolong balas ke email saya ya mba di siti.raudhoh@gmail.com

makasih sebelumnya mba...
30/7/08 6:40 AM

cantikbulukan said...
halo mbak ery, saya punya pengalaman tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan saya belajar banyak dengan pengalaman saya tersebut. Saya sekarang masih dalam proses pemulihan. Jujur saya bisa bangkit dengan dukungan banyak teman, sahabat, keluarga, mitra perempuan, yaysan pulih dan banyak lagi. .dan melihat artikel mbak ery membuat saya melihat ke diri saya sendiri. intinya korban kekerasan perlu sekali untuk bangkit, dan terutama menyadari bahwa dirinya berharga tidak hanya sebagai manusia tetapi sebagai ibu dan perempun
thx b4
18/10/08 9:33 PM




















ADA APA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ?
Sabtu, 1 Nop 2008
Setiap Insan manusia yang berkeluarga sangat mendambakan kehidupan yang harmonis dengan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga. Keluarga yang damai, tentram dan bahagia merupakan tujuan setiap insan dalam menjalani kehidupan perkawinannya, namun tidak setiap keluarga dapat menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh cinta, kasih sayang dalam suasana kedamaian dan kebahagiaan. Tak jarang kehidupan rumah tangga justru diwarnai oleh adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan ekonomi. Fenomena terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi pada masyarakat pada umumnya namun banyak pula kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anggota Polri dan keluarganya.


Fenomena terjadinya kekerasan dalam rumah tangga anggota dapat dilihat dalam kasus perceraian anggota yang dikonsultasikan kepada bagian Psikologi Ropers Polda Jabar, di mana dalam kasus perceraian hampir semuanya selalu diwarnai oleh adanya kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik ( tamparan, pukulan, lemparan benda-benda), kekerasan psikis (penghinaan, kata-kata kasar) maupun kekerasan ekonomi (penelantaran). Kasus KDRT, berbagai macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam konteks keluarga. Penganiayaan fisik, seksual , dan emosional terhadap anak – anak, agresi sesama saudara sekandung , kekerasan dalam hubungan perkawinan, masalah dengan saudara sekandung , dan penelantaran oleh keluarga semuanya dikenal sebagai masalah sosial serius. Seperti dikemukakan Gelles (1997), Orang –orang di masyarakat kita lebih mungkin dibunuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar, ditampar, atau ditempeleng oleh anggota keluarganya sendiri, dirumahnya sendiri, daripada oleh orang lain, ditempat lain.
Masih hangat dalam ingatan kita yang terjadi akhir - akhir ini di sekitar kita bagaiamana orang tua / pengasuh dengan teganya menyiksa, memukul, atau bahkan sampai membunuh anak asuhnya maupun anak kandung sendiri, mereka melakukan penyiksaan maupun penganiayaan dengan motif / permasalahan yang sepele, karena anak rewel, anak tidak bisa diam , meminta mainan dan masih banyak lagi motif yang menyebabkan orang tua dengan tega menyiksa anaknya.

Fenomena KDRT sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan sudah ada sejak jaman dulu hanya saja saat ini perkembangan kasus-kasusnya semakin bervariasi. Hal ini juga diikuti oleh kesadaran dari korban untuk melaporkan kepada aparat hukum atau lembaga yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kasus kekerasan rumah tangga (anak dan perempuan). Data dari Kementrian Kordinator Kesejahteraan Rakyat menunjukkan bahwa hingga bulan Mei 2007 terdapat 22 ribu kasus kekerasan rumah tangga yang dilaporkan ke kepolisian. Berdasarkan beberapa laporan dari berbagai daerah di tanah air, kasus KDRT menunjukkan peningkatan yang signifikan. Selain itu KDRT terhadap pasangan juga makin marak terjadi di Kepolisian, banyak kasus keinginan bercerai para istri anggota Polisi karena tidak kuat/tahan atas perlakuan kasar dan penganiayaan yang dilakukan oleh para suaminya yang nota bene seorang penegak hukum.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat akhir – akhir ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya:
1. Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
2. Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
3. Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
4. Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.

Permasalahan sosial tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada si korban baik secara fisik maupun psikis korban tersebut. Akibat penganiayaan fisik yang jelas menderita sakit badaniah contoh: penganiayaan yang dilakukan oleh suami di Surabaya yang menyiramkan air panas ke muka istrinya yang berakibat fatal wajah istrinya tersebut menjadi melepuh. Penganiayaan – penganiayaan yang juga dilakukan oleh orang tua kepada anak – anaknya juga sering kita dengra dan lihat mengakibatkan anka tersebut menderita patah, memar maupun yang sangat yang lebih marah sampai meninggal dunia. Dari contoh – contoh diatas merupakan dampak – dampak fisik akibat dari KDRT yang secara tidak langsung akan juga berdampak pada kondisi psikologis para koraban KDRT, (penganiayaan anak yang dilakukan orang tua) akibat yang dilakukan oleh orang tua merupakan pengalaman yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian, tidak mengejutkan bila banyak di antara anak –anak mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dengan hubungan sosial, dan perilaku mereka secara umum. Self Esteem yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri (self destructive), dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa kanak – kanak yang lazim dilaporkan (Milner dan Crouch, 1999). Pada dampak penganiayaan pada pasangan yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, selain menimbulkan akibat fisik badaniah ( cedera yang serius. Lebih tingginya insiden penyakit fisik yang berhubungan dengan stress) dan efek yang bersifat ekonomis. Diantara efek – efek psikologis penganiayaan pasangan, depresi, kecemasan, dan self esteem yang negatif telah diidentifikasi sebgai respon yang lazim dijumpai. Selain itu, penganiayaan pasangan memiliki efek adversif terhadap hubungan antar pribadi secara umum.

Dimensi pokok tentang keragaman/perbedaan manusia :
 Budaya. Sikap dan perilaku seseorang dibentuk oleh budaya dimana ia dibesarkan. Budaya disini diartikan sebagai norma-norma tertentu yang diajarkan dari generasi ke generasi, tradisi dalam sastra, agama, dokumen-dokumen politik, atau ekspresi kultural lainnya. Selain diajarkan pada generasi muda, budaya ini juga biasanya diajarkan pada para pendatang/imigran.
 Ras : perbedaan warna kulit/suku bangsa. Ras ini menjadi penting karena rasisme menjadikannya demikian, yaitu menciptakan adanya ketidaksetaraan status dan kekuatan dalam kehidupan sosial.
 Etnis : identitas sosial, yang ditampilkan dalam bahasa, kebiasaan, nilai-nilai, dan faktor subyektif lainnya yang bukan berupa tampilan fisik.
 Jenis kelamin/gender: mengenai asumsi-asumsi, sikap, peran, dan institusi sosial yang dibangun oleh sosial untuk membedakan antara pria dan wanita. Konsep gender ini bukan hanya berdasarkan perbedaan biologis, namun pada bagaimana perbedaan tersebut diinterpretasikan dan digunakan.

 Orientasi seksual : ketertarikan sexual terhadap satu jenis kelamin tertentu atau keduanya. Orientasi seksual ini berkaitan dengan ketertarikan, emosi, dan konsep diri. Hal ini dibahas dalam psikologi komunitas dalam kerangka adanya pembentukan stereotipe yang menggiring pada pengorbanan (victimization) para lesbian, lelaki gay, dan orang yang biseksual, yang sangat mempengaruhi perkembangan identitas.
 Kemampuan/ketakmampuan : berkaitan dengan pengalaman ketidakmampuan fisik atau mental seseorang. Lebih lanjut lagi, berkaitan dengan stigma, pengucilan (exclusion), dan penegakan keadilan dalam penanganan terhadap orang yang “cacat”.
 Usia. Anak-anak, remaja dan orang dewasa, mendapat perhatian yang berbeda dalam concern psikologis, perkembangan transisi, dan keterlibatan komunitas. Proses penuaan juga membawa perubahan dalam hubungan terhadap keluarga, komunitas, dan institusi sosial seperti pekerjaan dan pelayanan kesehatan.
 Status sosial ekonomi/kelas sosial. Perbedaan kelas sosial akan memberikan makna psikologis yang besar, mempengaruhi identitas dan konsep diri, hubungan interpersonal, sosialisasi, kesejahteraan, lingkungan, kesempatan pendidikan, dan isu-isu psikologis yang lain. Perbedaan sosial tidak semata-mata menjadi berbeda karakteristik budaya, namun berarti adanya perbedaan dalam hal kekuasaan, khususnya sumber daya ekonomi dan kesempatan.

Dari dimensi pokok perbedaan diatas dapat dikaitakan salah sebab dari KDRT .Penindasan akan muncul apabila suatu hubungan yang tidak simetris atau tidak seimbang dipergunakan untuk memberikan sumberdaya dan kekuasaan kepada salah satu kelompok dan menahannya (tidak memberikannya) kepada kelompok yang lain. Kelompok yang lebih kuat (lebih berkuasa) disebut sebagai kelompok yang dominan atau privileged group, sedangkan kelompok yang lebih lemah ( memiliki kekuasaan yang lebih kecil) disebut kelompok sasaran atau subordinate group
Sumber daya yang dikuasai oleh suatu kelompok dominan atau priveleged group mungkin mencangkup sumberdaya ekonomi atau sumberdaya nyata lainnya , status dan pengaruh, kekuasaan sosial politik, hubungan – hubungan personal antara para elite dan lain -lain. Orang – orang yang dominan baik dilihat dari status ekonomi maupun gender dan pandangan/budaya tentang kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) adalah sesuatu yang tabu untuk diceritakan, secara tidak langsung dapat mengakibatkan terjadinya proses penganiayaan, penyiksaan yang dilakukan oleh kaum yang dominan terhadap kaum yang lemah. Seorang suami adalah salah satu contoh sebagai orang yang dominan dalam rumah tangganya, sehingga banyak kejadian – kejadian kekerasan lebih sering dilakukan oleh kaum lelaki dalam rumah tangga, baik kekerasan yang dilakukan pada anaknya, maupun pada istrinya. Demikian juga seorang ibu dengan kekuasaan yang dimiliki dengan mudah melakukan penganiayaan terhadap anaknya.

Ketidaksetaraan kekuatan / kekuasaan antara penganiayaan dan korbannya, yang disubstansikan oleh faktor – faktor ekonomis, yang memungkinkan orang lebih dominan untuk memaksakan kepentingannya melalui penggunaan agresi dan ia tidak mendapatkan sangsi atas perbuatannya itu, suatu struktur normatif juga yang mendukung penggunaan kekerasan sebagai strategi untuk mengatasi konflik, yang menyebabkan terjadinya transmisi gaya – gaya respons agresif dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu akibat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinate yang dalam konteks permasalahan ini adalah konteks kekerasan dalam rumah tangga . Dimana Kaum lelaki menjadi oppresion kaum wanita, ataupun juga Orang tua sebagai oppresion pada anak – anaknya. Kesemuannya ini mengakibatkan pengaruh yang besar akibat dari perlakuan dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinate dalam bentuk suatu perilaku agresi yaitu penganiayaan, maupun penyiksaan. Akibat ataupun pengaruh dari Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga ( KDRT) dapat berwujud secara fisik ( luka, cacat) maupun secara psikis ( trauma, depresi , rasa rendah diri untuk berhubungan dengan orang lain) bagi kelompok korban, jika tidak ditangani dengan cepat dapat berakibat fatal dalam kehidupan korban.

Solusi Untuk Mencegah terjadinya KDRT
Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM
2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
2. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
3. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
4. Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.








n sampai ada Ghibah (menjelek-jelekan seseorang). Maka tiba-tiba dialogpun terputus. Ini khas, cara halus memotong dialog agar tidak berlanjut. Jurus ghibah seperti itu ibarat pasal karet yg tidak jelas batasannya. Soalnya sering saya dengar dai menjelek-jelekan golongan lain dg penuh semangat hampir sepanjang acara tanpa ada peringatan pasal-pasal Ghibah. Sekali lagi saya tidak tahu sampai dimana batasan Ghibah. Walhasil acara tanya-jawab yg bikin ibu-ibu hadirin menyimak dg khidmat terputus begitu saja.
Sangat disayangkan, Sang Dai gagal memanfaatkan forum sepenting itu guna memberi bimbingan umum kepada umat dg bahasa yg apik dan bijak. Fasilitas yg melimpah dari media massa yg memanjakannya dg publisitas dan membuatnya kesohor tidak membuatnya tangkas menyentuh persoalan riil kehidupan umat sehari-hari di luar ritual ibadah. Sekeranjang fasilitas yg bisa dicabut sewaktu-waktu kalo pemilik media tidak sreg lagi sebagaimana menimpa Aa Gym. Sekeranjang fasilitas yg bisa bikin cepat masyhur dan bisa bikin cepat tersungkur.
Kejadian serupa itu sering saya lihat. Itulah mungkin yg menyebabkan minusnya peran dai dan ulama dari masalah KDRT yg merupakan problem umum di masyarakat kita yg baru melek demokrasi dan HAM. Banyak dai dan ulama terkesan menghindar dari isue HAM. Terkesan tidak paham HAM. Ada juga tokoh-tokoh hardliner nasional yg mempertentangkan Demokrasi dan HAM dg ajaran Islam, dg misalnya mengatakan di televisi bahwa solusi krisis Indonesia bukan dengan “demokrasi” tapi dengan “Islam”.
Saya benar-benar tidak mengerti kalo perkara KDRT ditanggapi oleh sebagian Dai/Pemuka Agama seolah-oleh bahwa semua itu terjadi akibat lemahnya ritual ibadah. Menurut saya nih… semua itu terjadi karena si pelaku belum punya pengetahuan yg cukup tentang hak dan kewajiban, belum paham etika pergaulan dan etika berumahtangga yg beradab sesuai dg perkembangan jaman. Buktinya, banyak kasus tindak kekerasan di tempat-tempat religius dan pelakunya adalah orang-orang yg alim dan saleh.
Sekarang ini, kebanyakan dai dan ulama hanya peduli pada ritual ibadah, busana muslim dan politik kekuasaan di saat umat mengahadapi banyak problematika kehidupan yg beraneka ragam. Beliau-beliau selalu mengingatkan bawa agama adalah mencakup seluruh sendi kehidupan dan nampaknya beliau-beliau ingin selalu dilibatkan dalam semua proses kehidupan. Tapi bagaimana mungkin kalo hanya peduli pada ritual ibadah dan politik kekuasaan doang…? Contohnya ketika ada masalah DPT Pilpres 2009 semuanya seperti mau turun tangan. Giliran ada masalah KDRT, TKW/TKI, Prita Mulyasari dan kasus-kasus serupa koq nggak ada suaranya, gitu lho…
Yg ada malah upaya mengharamkan Facebook, Friendster, dan Handphone dg alasan yg terkesan paranoid dg teknologi ( hmm… mungkin terinspirasi oleh negara Iran yg mengharamkan facebook pada masa kampanye Pilpres karena Presiden Ahmadinejad mengendus Mir Mousavi kian populer di Facebook).
*

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer