praktek lapangan manajemen lingkungan industri gula

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Selaras dengan era pembangunan dan kemajuan teknologi serta berkembangnya ilmu pengetahuan di Indonesia, mahasiswa sebagai penerus dan pengisi pembangunan bangsa diharapkan menjadi sarjana-sarjana yang berkualitas dan dapat mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja. Hal ini menuntut mahasiswa paham dengan dunia kerja secara nyata, sehingga dibutuhkan kesempatan untuk pembelajaran dunia kerja. Salah satu program pembelajaran dunia kerja ini dikemas dalam bentuk Praktek Lapangan (PL). Praktek Lapangan ini merupakan salah satu bentuk perwujudan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu kegiatan pengintegrasian antara unsur-unsur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui Praktek Lapangan, mahasiswa mampu mengenal, memahami, dan mendalami penerapan teori secara nyata serta proses pengaplikasian pada industri, sehingga dapat dijadikan bekal pengalaman kerja sesuai dengan profesi yang ditekuni.
Topik praktek lapangan tentang manajemen lingkungan industri gula ini dipilih berdasarkan pertimbangan berbagai aspek yang mencakup tentang pengelolaan lingkungan di sebuah industri. PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat merupakan salah satu pabrik gula yang mengolah gula dari bahan baku tebu. Penerapan manajemen lingkungan industri yang diterapkan di perusahaan tersebut menjadi sebuah kajian yang perlu dipelajari sebagai pembendaharaan diri. Peranan manajemen lingkungan industri sangat penting demi terciptanya sebuah lingkungan industri yang bersih dan produktivitas industri yang ramah lingkungan. Aspek manajemen lingkungan industri ini mencakup pengelolaan lingkungan hidup hingga Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dilakukan oleh PG Jatitujuh dalam rangka menjaga stabilitas perusahaan dengan lingkungan sekitar industri. Manajemen lingkungan industri erat dengan penerapan sistem manajemen lingkungan, produksi bersih, dan pengelolaan limbah. Hal ini mengarahkan pada sebuah keseimbangan antara proses produksi yang berkualitas, pelestarian lingkungan, dan peningkatan harmonisasi lingkungan industri di PG Jatitujuh itu sendiri.
B. TUJUAN
Tujuan umum yang ingin dicapai dari kegiatan Praktek Lapangan ini adalah:
1. Mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kemampuan profesi mahasiswa Teknologi Industri Pertanian melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, latihan kerja, dan pengamatan langsung ke dunia kerja secara nyata.
2. Menganalisa dan mengobservasi permasalahan di lapangan, sehingga diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada pada industri gula.
3. Memperkuat hubungan kerjasama antara Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka.
4. Memperoleh pengalaman bekerja sesuai dengan bidang profesi yang ditekuni dan menambah kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja pada suatu industri.
5. Memeberikan sedikitnya sumbangsih kepada PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh berupa informasi ataupun wujud nyata pengabdian kepada masyarakat.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dari kegiatan Praktek Lapangan ini adalah:
1. Mempelajari aspek manajemen lingkungan industri di PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka.
2. Memahami seluruh aspek pengelolaan limbah di PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka.

C. TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN
Praktek Lapangan ini dilaksanakan di PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka dengan waktu Praktek Lapangan selama dua bulan (minimum 40 hari kerja efektif dan 8 jam kerja per hari) dilaksanakan antara tanggal 28 Juni - 16 Agustus 2010.
D. RUANG LINGKUP
Aspek yang dipelajari selama kegiatan Praktek Lapangan ini adalah sebagai berikut:
1. Aspek Umum
Aspek yang dikaji secara umum adalah keadaan umum perusahaan yang mencakup sejarah dan perkembangan perusahaan, visi dan misi perusahaan, lokasi dan tata letak perusahaan, keadaan tanah dan iklim, struktur organisasi, ketenagakerjaan, dan proses produksi.
2. Aspek Khusus
Aspek yang dikaji secara khusus adalah Manajemen Lingkungan Industri di PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh.
E. METODOLOGI
Pelaksanaan Praktek Lapangan ini mencakup beberapa metode yang digunakan untuk menghasilkan data dan analisa yang tepat, yaitu :
1. Pengamatan di Lapangan
Pengamatan langsung di lapangan terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan manajemen lingkungan industri yang diterapkan di perusahaan.
2. Wawancara dan Diskusi
Wawancara dilakukan sebagai upaya pengumpulan informasi dan data serta untuk mengklarifikasi masalah yang terjadi di lapangan dengan menanyakan langsung kepada pihak terkait tentang topik yang dipelajari.
3. Praktek Langsung
Kegiatan praktek langsung dilakukan untuk memperoleh pengalaman di dunia kerja dan mempelajari kesesuaian antara teori dengan praktek di lapangan mengenai hal yang berkaitan dengan aspek manajemen lingkungan industri serta hal-hal lain yang terkait.
4. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan mencari referensi dan literatur yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan, baik berasal dari studi pustaka maupun data dan informasi yang diperoleh dari industri.
5. Pembahasan dan Penulisan Laporan
Laporan dibuat dengan menganalisis data dan informasi yang diperoleh dan dituangkan secara sistematis dan jelas dalam bentuk laporan Praktek Lapangan.






II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
Pada tahun 1971, pemerintah Indonesia mengupayakan swasembada gula dengan melakukan kerjasama dengan Bank Dunia dan membentuk Indonesian Sugar Study (ISS). Program tersebut berisi pembebasan atau pembukaan areal baru yang berorientasi pada lahan kering. Survei terhadap lapangan terus dilakukan di beberapa wilayah antara lain di Hutan Loyang, Jati Munggul, dan Jatitujuh.
Sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam menindaklanjuti program tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan SK No.795/Mentan/VI/1975 pada tanggal 23 Juni 1975 tentang izin prinsip Pabrik Gula di Jatitujuh yang dikenal sebagai “Proyek Gula Jatitujuh”. Berlanjut dengan keluarnya SK Menteri Pertanian No.2033/DJ/J/1975 pada tanggal 10 Juli 1975 tentang dasar-darar pengaturan lebih lanjut mengenai SK Mentan. Setelah Mentan mengeluarkan kembali SK No. 481/KPTS/UM/1975 pada tanggal 9 Agustus 1976 maka areal Badan Kuasa Pemangku Hutan (BKPH) Jatimunggul, Cibenda, Kerticala, dan Jatitujuh dibebaskan untuk dikelola oleh PNP XIV Proyek Gula Jatitujuh.
Pada tahun 1977-1978 dibangun pabrik gula yang ditangani oleh kontraktor Perancis Five Cail Babcock (FCB) dan Pabrik Gula Jatitujuh diresmikan pada tanggal 5 November 1980 oleh Presiden Soeharto dalam rangka meningkatkan produksi gula dalam negeri sehingga dapat memenuhi kebutuhan gula nasional dan mampu merangsang berdirinya pabrik-pabrik gula baru lainnya. Perkembangan selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1981 tanggal 1 April 1981 PNP XIV diubah menjadi PTP XIV (Persero) dan Pabrik Gula Jatitujuh menjadi salah satu pabrik yang berada dibawah naungan PTP XIV (Persero) yang berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Selama perjalanan PTP XIV mengalami banyak gangguan teknis maupun manajemen, sehingga perusahaan diserahkan kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya penyehatan usaha. Penyerahan perusahaan tersebut berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/013/1988 pada tanggal 30 Desember 1988 sedangkan peralihan secara tertulis dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 1989.
PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu BUMN yang berada dalam lingkup Departemen Keuangan. Bidang usahanya mencakup perdagangan, ekspor-impor, produsen obat-obatan, pabrik kulit, dan pabrik gula. Perkembangan selanjutnya adalah perubahan anggaran dasar perseroan yang tercatat dalam akte No. 94 pada tanggal 28 Agustus 1996 yang dibuat oleh Notaris Achmad Abid, SH. Nama PT Perkebunan XIV kemudian digantikan menjadi PT Pabrik Gula Rajawali II (Gambar 1) yang merupakan anak perusahaan dari PT Rajawali Nusantara Indonesia. Saham perusahaan ini dimiliki seluruhnya bersama pabrik gula lainnya, yaitu PG Tersana Baru, PG Karangsuwung, PG Sindang Laut, PG Subang, dan Pabrik Spiritus dan Alkohol (PSA) Palimanan.












Gambar 1. Pabrik Gula Jatitujuh
PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh menjalankan usahanya dalam dua bidang usaha pokok dan diversifikasi. Dibidang usaha pokok, PG Jatitujuh memproduksi gula SHS sebagai salah satu produk unggulan dan molasses (tetes) sebagai produk sampingan. Molasses merupakan salah satu produk sampingan yang diolah menjadi spirtus dan produk ini merupakan produk yang dapat menghasilkan produktivitas yang cukup tinggi, sedangkan untuk diversifikasi sampai tahun 2008, PG Jatitujuh mengembangkan usaha dibidang hortikultura. Tanaman hortikultura yang dibudidayakan antara lain buah mangga, jeruk, nangka, dan tanaman semusim (cabe, terong, dan tanaman obat-obatan). Bidang ini bertujuan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif untuk tanaman tebu. Selain usaha tersebut, terdapat juga Pabrik Pakan Ternak bernama Mitra Cane Top yang bergerak dalam pengolahan limbah pucuk tebu menjadi pakan sapi. Hasil produk ini sebagian besar diekspor dan sisanya dipakai sebagai konsumsi lokal. Pada tahun 2010 PG Jatitujuh hanya fokus pada pengolahan tanaman tebu. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan produktivitas dari tanaman tebu dan produksi gula.
B. VISI DAN MISI PERUSAHAAN
Visi
1. Menjadi perusahaan terbaik dalam bidang agroindustri, farmasi, dan perdagangan umum.
2. Siap menghadapi tantangan, unggul dalam kompetisi global, dan bertumpu pada kemampuan sendiri (Own Capability).
Misi
Manjadi perusahaan dengan kinerja terbaik dalam bidang agroindustri, farmasi dan perdagangan umum, yang dikelola secara profesional dan inovatif dengan orientasi kualitas produk dan pelayanan pelanggan yang prima (Excelent Customer Service) sebagai karya sumber daya manusia yang handal, mampu tumbuh dan berkembang memenuhi harapan pihak-pihak yang berkepentingan (Stake Holders).

C. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN
Pabrik Gula Jatitujuh berlokasi di Desa Sumber, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Seluruh areal PG Jatitujuh berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Majalengka (48%) dan Kabupaten Indramayu (52%). Secara geografis, PG Jaitujuh terletak pada 108°6’3” - 108°16’24” Bujur Timur dan 6°31’2” - 6°36’40” Lintang Selatan serta berada pada ketinggian 3-50 m dpl.
Batas-batas wilayah PG Jatitujuh adalah sebagai berikut :
• Sebelah Utara : Kecamatan Cikedung
• Sebelah Selatan : Kecamatan Jatitujuh
• Sebelah Barat : Hutan Loyang
• Sebelah Timur : Kecamatan Tukdana
Areal PG Jatitujuh merupakan areal HGU (Hak Guna Usaha) seluas 11921.56 ha, yang terdiri atas :
1. SK HGU No. 2 Tahun 2005 (Kab. Indramayu), luas: 6248.52 ha
2. SK HGU No. 1 Tahun 2005 (Kab. Majalengka), luas: 5673.04 ha
Dari luasan 11921.56 ha tersebut areal yang diokupasi untuk tanaman tebu sekitar 8200 ha. Usaha dalam pengembangan kemitraan dengan masyarakat, PG Jatitujuh sejak tahun 2005 mulai menerima pasokan tebu giling dari kebun Tebu Rakyat yang sampai saat ini luasnya mencapai 1263 ha. Peta Areal dan pembagian kerayon kebun tebu di PG Jatitujuh dapat dilihat pada Lampiran 1.
Areal HGU seluas 11921.56 Ha digunakan untuk:
1. Emplasmen : 135.40 ha
2. Jalan : 682.40 ha
3. Kantong air : 479.00 ha
4. Pertamina : 66.00 ha
5. Hortikultura dan penghijauan : 253.00 ha
6. Sungai / daerah genangan : 1794.76 ha
7. Kebun produksi:
• Tebu Giling : 7200.00 ha
• Tebu Bibit : 1000.00 ha
11921.56 ha
Selain mempunyai areal pertanaman PG Jatitujuh juga mempunyai beberapa sarana sosial, seperti:
1. Sarana Perumahan : Type 250 (2 unit) , Type 150 (4 unit), Type 134 (14 unit), Type 100 (11 unit), Type 90 (26 unit), Mess Tamu (1 unit).
2. Sarana Ibadah : Masjid dan Mushola
3. Sarana Pendidikan : Sekolah Taman Kanak-Kanak
4. Sarana Olah Raga : Lapangan Sepak Bola, Lapangan Volley ball, Lapangan Tenis Lantai, Lapangan Bulutangkis, Lapangan Tenis Meja.
5. Sarana Pertemuan (Graha Sasana Karsa)
6. Sarana Kesehatan berupa Poliklinik
7. Perlengkapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Sebagian besar areal tersebut digunakan untuk perkebunan tebu, dan sebagian areal dijadikan sebagai tempat berbagai sarana dan prasarana, sebagian areal tersebut untuk mendukung kelancaran produksi tebu dan produksi gula.
D. KEADAAN TANAH DAN IKLIM
PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh memiliki beberapa jenis tanah, yaitu Aluvial/Inceptiol 148 ha (1.29%), Kambisol/Inceptiol 2591 ha (22.54%), Mediterian/Alfisol 5441 ha (47.33%), Grumosol/Vertisol 683 ha (5.94%), Podsolik/Ultisol 168 ha (1.45%), Asosiasi 2465 ha (21.44%). Topografi landai bergelombang dengan ketinggian 3 – 50 meter di atas permukaan laut (dpl).
PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh atau sering disebut PG Jatitujuh memiliki tekstur tanah lempung berliat sampai liat berat, pH tanah berkisar 4.6 – 5.5 serta rendahnya kandungan hara dan bahan organik. Selain itu, tanahnya memiliki kepekaan terhadap erosi cukup besar dan respon yang baik terhadap terhadap pemupukan. Wilayah PG Jatitujuh termasuk tipe iklim C dan D dengan rata-rata curah hujan tahunan 1600 mm dengan suhu udara rata-rata 27 – 28C.

• Suhu minimum : 26.4 C pada bulan April
• Suhu maksimum : 28.7 C pada bulan Oktober
• Kelembaban udara maksimum : 83.6 % pada bulan Januari
• Kelembaban udara minimum : 63.3 % pada bulan September
• Kecepatan angin maksimum : 8.8 km/jam pada bulan Maret
• Kecepatan angin minimum : 2.0 km/jam pada bulan April

E. STRUKTUR ORGANISASI
Struktur organisansi merupakan suatu komponen yang dapat menjelaskan kedudukan (pemisahan tanggung jawab dan wewenang) dan hubungan antar bagian satu dengan yang lain. Diharapkan akan timbul kerjasama dan sinergi yang baik dalam menjalankan visi dan misi perusahaan.
PG Jatitujuh dipimpin oleh seorang General Manager (GM) yang bertanggung jawab kepada Direksi PT Rajawali II dan dibantu oleh beberapa Kepala Bagian, yaitu :
1. Kepala Bagian Tanaman, yang bertanggung jawab kepada GM dibidang tanaman. Tugas-tugasnya mencakup:
• Mengkoordinasikan penyusunan areal tanaman untuk tahun yang akan datang
• Mengadakan pengawasan dan evaluasi pembiayaan pada bidang tanaman termasuk tebang angkut
• Merencanakan kebun-kebun percobaan dan penelitian
2. Kepala Bagian Instalasi, yang bertanggung jawab dalam pengoperasian alat, bangunan atau teknik sipil, dan mesin yang digunakan dalam proses produksi.
3. Kepala Bagian Pabrikasi, yang bertanggung jawab kepada GM dalam bidang pabrikasi. Tugas-tugasnya yaitu:
• Mengkoordinasikan kegiatan di bidang pabrikasi
• Peningkatan efisiensi proses
• Menjaga kelangsungan proses produksi
• Membawahi manajemen IPAL PG jatitujuh
4. Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan (TU & K). Tugas-tugasnya berupa:
• Mengkoordinasikan dan memimpin kegiatan pengelolaan anggaran dan biaya produksi, kegiatan pembelian dan penjualan
• Mengawasi hasil produksi di gudang gula
5. Kepala Bagian SDM dan Umum bertanggung jawab mengkoordinasikan dan memimpin kegiatan pengelolaan sumber daya manusia (Tenaga Kerja), serta administrasi dan hubungan dengan masyarakat.
Diagram struktur organisasi perusahaan di PG Jatitujuh dapat dilihat pada Lampiran 2.
F. KETENAGAKERJAAN
Berdasarkan masa kerja, karyawan PG Jatitujuh diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu Karyawan Tetap atau Staff, Karyawan Bulanan atau Non Staff, Karyawan Musimam, dan Karyawan Harian. Berdasarkan SK Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 15/BW/PK/1994 tentang tenaga pabrik gula, pada pasal 3 menjelaskan bahwa berdasarkan sifat hubungan kerja dengan perusahaan karyawan di pabrik gula dibagi menjadi dua bagian, yaitu karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Karyawan tetap adalah karyawan yang mempunyai hubungan dengan perusahaan dalam jangka waktu tidak tertentu, dengan masa percobaan tiga bulanan sedangkan karyawan tidak tetap adalah karyawan yang mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan untuk jangka waktu tertentu, dengan pemilihan dan penempatan karyawan dengan pertimbangan pendidikan, pengalaman, dan keadaan mental serta pertimbangan usia. Sumber tenaga kerja PG Jatitujuh sebagian besar berasal dari Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka.
Jumlah total tenaga kerja PG Jatitujuh yang tercatat pada tahun 2010 adalah sebanyak 5678 orang. Jumlah tersebut terdiri atas tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Data jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data tenaga kerja PG Jatitujuh tahun 2010
Status Tenaga Kerja Jumlah Tenaga Kerja
Tenaga Kerja Tetap (Staf) 47
KNS (Karyawan Non Staf) 427
PKWT(Perjanjian Karyawan Waktu Tertentu) atau karyawan kontrak 704
Tenaga Tebang 4500
TOTAL 5678

Tenaga kerja di PG Jatitujuh dan unit usaha lain di bawah PT PG Rajawali II memiliki serikat pekerja yang tergabung dalam SP-BUN (Serikat Pekerja Perkebunan) PT PG Rajawali II. Serikat pekerja tersebut terdaftar di Departemen Tenaga Kerja Daerah Tingkat II Kabupaten Cirebon. Segala hal yang mengatur ketenagakerjaan untuk tenaga kerja tetap diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, sedangkan untuk tenaga kerja tidak tetap diatur dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).












III. KEADAAN UMUM PRODUKSI
A. GAMBARAN UMUM PABRIK DAN PRODUK
Pabrik Gula Jatitujuh merupakan pabrik yang mempunyai kapasitas giling terbesar diantara empat pabrik gula lainnya yang terdapat di PT PG Rajawali II, yaitu PG Subang, PG Sindang Laut, PG Tersana Baru, dan PG Karangsuwung. Proses produksi mulai dari pemerahan tebu hingga menjadi gula kristal yang langsung dikemas dalam kemasan karung 50 kg dan kemasan gula dalam 1 kg. Kondisi Pabrik Gula Jatitujuh secara umum hingga saat ini (2010) sebagai berikut:

Mulai beroperasi : tahun 1980
Kapasitas design awal : 4000 TCD
Kapasitas Giling Inclusif saat ini : 4500 TCD
Kapasitas Giling Exclusif saat ini : 5000 TCD
Proses : Sulfitasi
Hasil Olah : SHS 1 A







Produk utama PG Jatitjujh ini berupa kristal gula dalam bentuk gula SHS (Super High Sugar). Gula merupakan salah satu produk yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat yang digunakan sebagai pemanis alami. Hasil pengolahan tanaman pertanian berupa tebu yang diproses melalui proses sulfitasi menjadi kristal gula. Produk diversifikasi yang dikembangkan oleh PG Jatitujuh sampai tahun 2008 berupa usaha dibidang hortikultura. Tanaman hortikultura yang dibudidayakan antara lain buah mangga, jeruk, nangka, buah naga, jarak pagar dan tanaman semusim (cabe, terong, dan tanaman obat-obatan). Bidang ini bertujuan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif untuk tanaman tebu. Pada tahun 2010 PG Jatitujuh tidak memproduksi tanaman hortikultura lagi dan hanya fokus pada pengolahan tanaman tebu. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan produktivitas dari tanaman tebu dan produksi gula.
B. BAHAN BAKU DAN BAHAN PENUNJANG PRODUKSI
Bahan baku utama proses pembuatan gula kristal adalah tanaman tebu yang dibudidayakan melalui perkebunan seperti pada Gambar 2. Tanaman tebu (Saccharum officinarium) merupakan tanaman perkebunan semusim atau disebut tanaman tropika yang digolongkan ke dalam famili rumput-rumputan dari Amdropogonae. Tanaman tebu ini memiliki karakteristik yang khas, yaitu memiliki kemampuan menghasilkan kandungan gula ± 10 % berupa sukrosa yang tersimpan di bagian batang tanamanan (Saccharum officinarium linn).



Gambar 2. Tanaman tebu dan perkebunan di PG Jatitujuh
Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra. Klasifikasi Ilmiah tanaman tebu sebagai berikut :
Kingdom: Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Saccharum L.


Tanaman tebu dipanen saat kadar gula yang kandungannya mencapai optimal, yaitu ketika berumur 12 bulan. Tanaman tebu yang masak ketika menunjukan indikasi daun mengering dan berhenti tumbuh. Hal ini terjadi karena kadar gula semakin meningkat dan kadar air dalam batang tebu semakin berkurang. Komposisi kandungan tebu dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Komposisi kandungan tebu
Komponen Komposisi (%)
Sukrosa 11-19
Gula pereduksi 0.5-1.5
Senyawa organic 0.15-0.5
Asam organic 0.15
Serat 16-19
Zat warna 6-9
Air 65-75
Sumber: Soemarno (1977).
Secara umum, tebu terdiri atas nira dan serabut atau ampas (zat padat yang tidak larut). Di dalam nira mengandung brik yaitu zat padat yang dapat larut. Brik ini terdiri atas gula (sukrosa), bukan gula, dan air. Parameter yang digunakan pada tanaman tebu adalah kadar sukrosa yang terkandung di dalam niranya. Kadar sukrosa yang terkandung di dalam tebu berbeda-beda tergantung jenis tebu, keadaan tanaman, cara pemeliharaan, dan tingkat kemasakan tebu.
Tanaman tebu di PG Jatitujuh diproduksi di perkebunan dengan areal seluas 11921.56 Ha. Pemanenan dengan proses tebang angkut dilakukan di musim giling (sekitar bulan Mei-Oktober). Hasil pemanenan tebu dikirim ke pabrik yang ditampung di cane yard untuk siap dijadikan bahan baku utama proses pembuatan gula SHS di PG Jatitujuh.
Bahan penunjang atau bahan pembantu merupakan bahan yang digunakan untuk membantu proses produksi gula agar menghasilkan kristal gula SHS yang berkualitas baik. Bahan-bahan penunjang ini berfungsi menjaga kandungan sukrosa dalam nira agar tidak rusak selama proses produksi, menjaga nilai pH nira agar tetap setabil, memisahkan nira dari kotoran dan kontaminan yang terbawa dalam proses produksi, dan menggumpalkan kotoran dalam nira. Penggunaan bahan tambahan dilakukan di masing-masing stasiun di pabrikasi pada proses produksi gula seperti pada Gambar 3, yaitu penambahan di stasiun penggilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, dan pengolahan air (water treatment) untuk proses produksi.







(a) (b)







(c) (d)
Gambar 3. Bahan penunjang produksi : (a) Decolorizing, Dewatering Aid,dan Flowing Agent, (b) susu kapur, (c) gas SO2, dan (d) flokulan.
Bahan penunjang produksi di stasiun penggilingan tebu berupa Decolorizing of Raw Juice, Dewatering Aid of Bagasse, Flowing Agent of Raw Juice, dan air inhibisi. Penambahan Decolorizing of Raw Juice berfungsi untuk menurunkan nilai icumsa (< 100) agar nira jernih dan menghasilkan gula yang bersih dan putih. Penambahan Dewatering Aid of Bagasse digunakan untuk mengikat nira yang masih terkandung dalam ampas yang digiling. Penambahan Flowing Agent of Raw Juice digunakan sebagai penggumpal kotoran dalam nira sehingga kotoran dapat dipisahkan. Penambahan air inhibisi berfungsi untuk melarutkan nira yang masih terkandung dalam ampas. Penambahan bahan penunjang di stasiun pemurnian terdiri atas penambahan susu kapur Ca(OH)2 (hydrate lime), gas belerang (SO2), flokulan, dan koagulan. Penambahan susu kapur (hydrate lime) berfungsi sebagai penyeimbang nilai pH nira dengan meningkatkan nilai pH sekitar 9-9.5 pada proses pemurnian. Penambahan belerang (gas SO2) dilakukan pada nira mentah (NM) dan nira kental (NK) yang berfungsi untuk menurunkan pH agar tetap stabil. Belerang yang digunakan pada proses pembuatan gula adalah dalam bentuk gas SO2 yang dibuat dengan membakar belerang dan mengalirinya dengan udara kering. Gas SO2 (sulfit) ditambahkan pada stasiun pemurnian (proses sulfitasi I) dan akhir stasiun evaporasi (proses sulfitasi II). Pada proses sulfitasi I, gas sulfit ditambahkan pada nira mentah yang bertujuan untuk menetralkan pH nira mentah yang sebelumnya dinaikkan pada proses defekator pada defekator I. Pada proses ini pH diturunkan dari 9-9.5 menjadi 7. Gas sulfit juga dapat membantu dalam pengendapan dengan cara mengikat kelebihan kapur. Pada proses sulfitasi II, gas sulfit ditambahkan pada nira kental hasil keluaran dari badan evaporator yang berfungsi untuk merubah pH nira kental dari 7.2-5.5. Penambahan gas sulfit ini juga bertujuan untuk memucatkan warna nira kental (bleaching) sehingga gula yang dihasilkan lebih putih sesuai dengan standar gula yang baik. Penambahan flokulan pada proses pemurnian dilakukan untuk menggumpalkan flok atau kotoran yang ada dalam nira encer, sedangkan penambahan koagulan berfungsi sebagai pengikat flok atau kotoran dalam nira dan mengendapkan kotoran di dalam door clarifier. Flokulan mampu menarik dan mengikat kotoran atau partikel-partikel halus yang ada dalam nira dan merubah bentuk kotoran tersebut menjadi flok yang berukuran besar sehingga mudah dipisahkan. Penambahan phospat tidak dilakukan pada stasiun pemurnian dikarenakan kandungan phospat sudah cukup tinggi pada tanah perkebunan tebu dan terserap ke dalam batang tebu. Hal ini memudahkan PG jatitujuh dalam penanganan di stasiun pemurnian. Phospat merupakan salah satu zat yang berfungsi untuk membantu proses pengendapan kotoran yang terdapat pada nira mentah sehingga dapat menurunkan warna nira mentah. Phospat yang tercampur dengan Ca(OH)2 akan membentuk Ca3(PO4)2 yang berfungsi sebagai inti endapan dan mengikat flok-flok koloid yang terjadi dalam bentuk endapan. Bahan penunjang di stasiun penguapan menggunakan caustic soda untuk membersihkan badan penguapan dan melepaskan kerak-kerak hasil penguapan (CaCO3) di badan penguapan (Evaporator). Pada penanganan air (water treatment) untuk proses produksi dilakukan penambahan bahan penunjang berupa tawas dan zat pengendap atau flokulan. Penambahan tawas dilakukan untuk menjernihkan air yang berasal dari water basin dan penambahan tawas dilakukan sebelum air masuk ke dalam bak clarifier, sedangkan penambahan flokulan dilakukan pada bak clarifier yang berfungsi untuk mengendapkan kotoran dalam air yang sudah dijernihkan dan jenis flokulan yang digunakan berupa Polyalacon MF-1012. C. SARANA PENUNJANG (UTILITY), MESIN, DAN PERALATAN PRODUKSI 1. Sarana Penunjang Produksi Sarana Penunjang (Utility) merupakan peralatan atau mesin yang berfungsi sebagai fasilitas atau alat pembantu proses produksi. Peran sarana penunjang ini sangat penting dan berpengaruh cukup besar terhadap pelaksanaan proses produksi. Sarana penunjang secara umum tidak berhubungan langsung dengan jalannya aliran proses. Sarana penunjang yang ada di PG Jatitujuh terdiri atas boiler atau ketel (pembangkit tenaga uap), stasiun penyediaan dan penanganan air (water treatment plant/WTP), bengkel (warehouse), sentra listrik (power house), dan teknik sipil. a. Boiler atau Ketel (Pembangkit Tenaga Uap) Pembuatan gula dari tebu memerlukan jumlah uap yang sangat besar untuk pembangkit mesin uap, turbin uap, dan proses di pabrikasi. Cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan memanfaatkan kalor dari uap yaitu dengan memakai pembangkit tenaga listrik ataupun mekanik dan memakai uap bekasnya untuk pemanasan dalam proses produksi atau disebut boiler (ditunjukan Gambar 4). Boiler adalah bejana tertutup dimana panas pembakaran dialirkan ke air sampai terbentuk air panas atau steam. Air panas atau steam pada tekanan tertentu kemudian digunakan untuk mengalirkan panas ke suatu proses. Air adalah media yang berguna dan murah untuk mengalirkan panas ke suatu proses. Jika air dididihkan sampai menjadi steam, volumnya akan meningkat sekitar 1600 kali, menghasilkan tenaga yang menyerupai bubuk mesiu yang mudah meledak, sehingga boiler merupakan peralatan yang harus dikelola dan dijaga dengan sangat baik (UNEP, 2006). Gambar 4. Boiler/ketel yang digunakan PG Jatitujuh Boiler merupakan seperangkat alat konversi energi, dari energi panas menjadi energi tekanan dengan memanfaatkan perubahan wujud zat cair (fluida) menjadi uap. Air yang telah memenuhi standar boiler melalui proses demineralisasi (water treatment) sebagai material inputan dengan proses pemanasan, yang memanfaatkan bahan bakar berupa batu bara dan solar (sebagai proses awal) ditambah dengan suplai udara dengan komposisi yang tepat (kandungan oksigen dalam Excess air 5-6%) sebagai hasil proses pembakaran dalam furnace (tungku pembakaran). Kemudian air akan mengalami perubahan wujud dari zat cair menjadi uap (steam) sebagai output, dengan tekanan kerja 3.1Mpa – 3.7 Mpa untuk menggerakkan turbin pada industri (Sutedja, 1989). Panas dapat diperoleh dari bahan bakar organik (ampas/bagasse) ataupun minyak (Residu/IDO). Uap yang dihasilkan oleh boiler digunakan untuk memberi kalor dan tenaga kepada turbin atau pembangkit tenaga. Penggunaan uap memiliki bebrapa keunggulan dibandingkan menggunakan pembangkit tenaga lain, yaitu: 1) Pada saat mengembun, uap menyerahkan kalornya pada suhu tetap 2) Uap memiliki isi kalor yang tinggi 3) Uap diproduksi dari air, murah dan mudah didapat 4) Uap relatif bersih, tanpa rasa dan bau 5) Kalor dalam uap dapat dimanfaatkan berulang-ulang 6) Uap dapat digunakan untuk pembangkit tenaga lebih dahulu kemudian dapat dipakai kembali untuk pemanasan 7) Uap mudah diatur dan selalu siap didistribusikan Pembangkit tenaga yang digunakan di PG Jatitujuh berupa boiler/ketel jenis pipa air dan memanfaatkan tenaga uap dari tiga boiler. Dua jenis boiler (Boiler I dan Boiler II) berasal dari Perancis. Komponen dan spesifikasi Boiler III ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komponen dan spesifikasi boiler I dan boiler II Komponen Spesifikasi Nama Boiler Drum’s FCB (Fives Cail Babock) Pengirim Perancis Pemasangan 1978 Jenis Boiler Pipa air Panjang total 7715 mm Tebal plat 36 mm Diameter luar/ dalam 1596 / 1524 mm Tekanan perencanaan 30 bar Tekanan kerja 28 bar Volume 15303 m3 Luas permukaan 1674 m2 Pengeringan/pemisahan uap Cyclon dan Seruker Selain boiler I dan Boiler II, digunakan juga boiler yang baru (Boiler III) berasal dari Jepang. Boiler ini memiliki kapasitas yang lebih tinggi dan uap yang dihasilkan juga relatif lebih banyak. Komponen dan spesifikasi Boiler III ditunjukan pada Tabel 4. Tabel 4. Komponen dan spesifikasi boiler III Komponen Spesifikasi Jenis boiler Pipa air Pengirim Marubeni Corporation- Japan Pabrik pembuat Hitachi Babcock Pabrik pembuat pipa boiler Nippon Kokan Tahun pemasangan 1985 Tekanan perencanaan 31 bar Tekanan operasi mormal 26 bar Temperatur uap dengan • Pembakaran Ampas 350oC • Pembakaran Minyak 330oC Temperatur air masuk 105oC Temperatur udara masuk ke air heater 40oC Produksi uap pada operasi MRC 55000 kg/jam Temperatur steam boiler standar adalah 350oC dan dalam pelaksanaannya dapat mencapai suhu sekitar 300oC (sudah kering). Kapasitas masing-masing boiler mencapai 55 ton uap/jam. Pemanas yang digunakan berasal dari pembakaran ampas tebu (bagasse) dan minyak residu (IDO/International Diesel Oil). Penggunaan bahan bakar ampas tebu ini mencapai 100 % setelah proses produksi berjalan, sedangkan penggunaan minyak residu hanya sedikit sekali dan tidak digunakan ketika proses pembakaran berjalan dengan baik. Penggunaan minyak residu juga pada saat terjadi kerusakan (trouble) pada salah satu alat yang tidak berfungsi dan penggunaan minyak residu dilakukan hanya di awal masa giling untuk memancing pembakaran. Penggunaan bahan bakar untuk boiler secara ukuran ideal mencapai 24100 kg/jam per boiler untuk ampas tebu dan minyak residu mencapai 4200 kg/jam per boiler. Karakterisasi bahan bakar yang dapat digunakan untuk pengisi boiler atau ketel berupa ampas tebu adalah memiliki kadar air 50 % dan nilai pembakaran sekitar 1850 Kkal/kg, sedangkan untuk minyak residu nilai pembakaranya sekitar 9700 Kkal/liter. Efisiensi nilai pembakaran rendah untuk ampas mencapai 79 % dan minyak residu mencapai 89 %. Temperatur gas yang keluar dari economizer untuk ampas tebu adalah 240oC dan minyak residu 216oC. Air pengisi atau umpan pipa boiler untuk pengupan menggunakan air soften yang berasal dari Water Treatment Plant (WTP) dan air kondensat yang berasal dari proses di pabrikasi (misalnya hasil evaporator). Penggunaan air kondensat lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan menggunakan air soften. Penggunaan air soften memerlukan waktu lama dalam pemanasan dan biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Air kondensat adalah air recycle yang masih memiliki suhu cukup tinggi sehingga penggunaannya untuk pengisi boiler lebih mudah dan efisien. Penggunaan air kondensat ataupun air soften ini harus memenuhi syarat agar tidak mempengaruhi boiler maupun proses penguapan. Syarat untuk air lunak (soften) harus memiliki pH 7-9 dan hardeness < 1 ppm, sedangkan syarat air kondensat harus memiliki suhu > 80oC, pH sekitar 7 sampai 9, tidak mengandung gula, dan conductivity < 150 µ/cm2. Air yang terdapat di dalam boiler memiliki pH 9.5- 11, conductivity 250 µ/cm2, dan kandungan phospat 10-30 %.
b. Penyediaan dan Penanganan Air (Water Treatment Plant/ WTP)
Ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan proses produksi gula. Hampir seluruh stasiun yang ada di pabrikasi membutuhkan air untuk kelancaran produksi. Penyediaan dan penanganan air di PG Jatitujuh ditangani langsung di bagian WTP yang terletak tepat di samping pabrik (di samping stasiun Boiler). Water Treatment Plant (Gambar 5) menangani pengolahan air dari sungai, air jatuhan (air kondensor), pendinginan air (stasiun pendingin), dan air kondensat. Sumber air di WTP berasal dari sungai Cimanuk yang ditampung di water basin. Penambahan air juga dilakukan dari air yang disediakan untuk kebun dan disalurkan ke water basin ketika terjadi kekurangan air.






(a) (b)






(c) (d)
Gambar 5. Water treatment : (a) stasiun pendingin, (b) pompa, (c) clarifier, dan (d) water basin
Air sungai Cimanuk yang ditampung di water basin dipompa ke bak clarifier menggunakan pompa dengan kapasitas 60 liter per menit. Air yang dipompakan ke bak clarifier dicampur dengan air tawas yang sudah disiapkan sebelumnya di stasiun pendingin. Tawas yang ditambahkan sebanyak 1.5 kw per 8 jam dan ketika air semakin keruh penambahan tawas akan bertambah hingga mencapai penambahan maksimum 2 kw per 8 jam. Penambahan air tawas berfungsi untuk menjernihkan air sungai yang relatif keruh. Proses selanjutnya adalah penambahan flokulan sebagai zat pengikat dan mengendapkan lumpur (flok) yang terkandung dalam air tersebut. Jenis flokulan yang digunakan berupa polyalacon MF-1012 yang dicairkan terlebih dahulu seperti tawas. Proses pemutaran dan pengendapan air memisahkan air bersih dengan air endapan (lumpur). Air bersih dipompakan oleh pompa clarifier untuk diproses dan ditampung di gravel filter, sedangkan endapan lumpur disalurkan ke bak kontrol agar dapat dikendalikan dan dilakukan penambahan susu kapur untuk meningkatkan nilai pH. Limbah cair berupa endapan lumpur selanjutnya disalurkan ke IPAL untuk diproses melalui beberapa perlakuan.
Air bersih yang ditampung di gravel filter terbagi ke dalam tiga tangki berisi pasir silikon dari jepang. Fungsi pasir silikon ini untuk menyaring air agar lebih bersih dan jernih. Air hasil penyaringan dipompakan lagi oleh pompa plan tadel ke tangki filter dan tangki soften. Tangki filter tempat penampungan air hasil saringan memiliki kapasitas 500 m3 dan air yang tertampung akan dislurkan ke dalam pabrik untuk memenuhi kebutuhan air dalam proses produksi. Tangki soften terdiri atas dua tangki yang memiliki kapasitas berbeda, yaitu tangki yang berkapasitas 300 m3 dan tangki dengan kapasitas 250 m3. Air dalam tangki soften digunakan sebagai air cadangan untuk bahan pengisi atau pengumpan boiler. Tangki penampung air dan cooling tower ditunjukan pada Gambar 6.

(a) (b)
Gambar 6. (a) Tangki penampung air dan (b) cooling tower
Penanganaan air di WTP juga dilakukan terhadap air jatuhan (air kondensor) dari pabrik dan air kondensat yang masing-masing memiliki suhu cukup tinggi. Perlakuan yang dilakukan adalah proses stabilisasi suhu dan pH (rata-rata 6.5) dalam air tersebut. Proses pendinginan air yang masih memiliki suhu panas di stasiun pendingin. Air yang bersuhu tinggi (35-38oC) tersebut disalurkan ke cooling tower untuk didinginkan menggunakan baling-baling dan penyaringan. Mesin baling-baling yang saat ini digunakan ada lima mesin buatan Perancis. Air hasil pendinginan di cooling tower disalurkan kembali ke pabrik dengan bantuan empat pompa injeksi.
c. Bengkel (Warehouse)
Bengkel (warehouse) merupakan salah satu stasiun untuk memperbaiki atau membuat peralatan, mesin, ataupun fasilitas lain yang mendukung proses produksi di pabrikasi, mekanisasi, ataupun kendaraan transport perusahaan. PG Jatitujuh memiliki tiga bengkel, yaitu Besali (Bengkel Insatalasi), bengkel mekanisasi (workshop), dan bengkel kendaraan (Transportasi) ditunjukan pada Gambar 7.






Gambar 7. (a) Besali, (b) bengkel kendaraan, dan (c) workshop
Besali merupakan bengkel induk yang dikelola oleh bagian instalasi dan memiliki fasilitas untuk perbaikan paling lengkap. Fasilitas Besali yang biasa digunakan mencakup scrapper, bor, gerinda, mesin las, mesin bubut, dan alat-alat lain yang menunjang dalam perbaikan. Bengkel mekanisasi (workshop) adalah bengkel yang dikhususkan untuk menangani perbaikan alat-alat berat untuk perkebunan seperti loader, trailer, tractor, dan alat berat lainnya, sedangkan bengkel kendaran menangani perbaikan kendaraan dan angkutan yang digunakan untuk transportasi ataupun pengangkutan tebu dan gula.
d. Sentral Listrik (Power House)
Listrik sentral (pada Gambar 8) atau Power House merupakan sentral pembangkit tenaga listrik yang berperan memasok kebutuhan tenaga listrik pada mesin motor listrik dan instalasi listrik lainnya yang ada di pabrikasi. Selain tenaga uap, listrik juga menjadi sumber tenaga utama dalam proses produksi gula di pabrik. Sebagian besar sumber listrik diperoleh dari alternator penggerak listrik yang digerakkan oleh turbin uap. PG Jatitujuh memiliki tiga turbin sebagai generator, dua buah alternator yang dipasang secara pararel dengan merek CEM (Cie Elektro Mecanique) keluaran daya 4375 kW pada 6000 Volt, dengan turbin uap digerakkan oleh uap baru menghasilkan tenaga 3000 kW pada tiap alternator. Putaran setiap turbin uap sebesar 9000 rpm melewati reducer sehingga berkurang menjadi sesuai dengan kebutuhan alternator, yaitu 1500 rpm. Saat ini generator pararel ini digunakan sebagai tenaga cadangan.







(a) (b) (c)
Gambar 8. (a) Power house, (b) turbin alternator, dan (c) genset
Penggunaan utama alternator sebagai turbin uap adalah berasal dari generator yang baru dengan merk Alternator DK buatan India tahun 2008. Output daya yang dikeluarkan sebesar 7500 kW pada voltage (AC) 6000 V dan Current (AC) sebesar 722 A. Penggunaan alternator ini lebih efektif dan penggunaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan generator pararel yang sebelumnya digunakan. Kebutuhan tenaga listrik pada saat giling mencapai 9000 kW, sehingga dibutuhkan tenaga listrik tambahan, yang berasal dari PLN dan tenaga genset. Tenaga genset yang digunakan terdiri atas tiga mesin genset yang memiliki daya berbeda yaitu 1000 kW, 750 kW, dan 500 kW. Selain penyuplai tenaga listrik, pada stasiun ini juga terdapat sistem pembagian listrik. Listrik yang telah dihasilkan alternator akan ditransfer ke trafo-trafo untuk pembagian setiap stasiun yang membutuhkan. Energi listrik yang dihasilkan dari power house digunakan untuk menggerakkan pompa, motor listrik, penerangan, dan lain-lain di pabrik maupun di kantor.
e. Bagian Teknik Sipil
Bagian Teknik Sipil (Gambar 9) merupakan bagian yang menangani segala macam tentang perbaikan tata ruang pabrik, perbaikan fasilitas dan sarana umum di lingkungan pabrik, perbaikan jalan, perbaikan bangunan, tata taman di lingkungan perusahaan, perbaikan-perbaikan kontruksi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan teknik sipil. Bagian teknik sipil ini berada di bawah manajemen bagian instalasi perusahaan.





Gambar 9. Bagian teknik sipil PG Jatitujuh
2. Mesin dan Peralatan Produksi Gula
Mesin dan peralatan produksi gula merupakan sarana berupa perkakas yang paling dibutuhkan dalam pelaksanaan produksi. Mesin dan peralatan ini digunakan dalam proses mulai dari input bahan baku hingga output berupa produk jadi (gula SHS). Penggunaan mesin dan peralatan ini sangat membantu manusia sebagai pekerja pabrik dalam menyelesaikan suatu rangkaian proses produksi. PG Jatitujuh menggunakan berbagai mesin dan peralatan dalam menjalankan proses produksi gula. Mesin dan peralatan tersebut dikelompokkan berdasarkan fungsi dan stasiun dalam setiap proses produksi seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis mesin dan peralatan proses produksi gula di setiap stasiun
No. Stasiun Mesin dan Peralatan
1. Pendahuluan • Meja Tebu (Cane Table)
• Cane Carrier
• Pisau Tebu (Cane Cutter)
• Unigrator
• Leveler
• Belt Conveyor
2. Penggilingan • Gilingan (4-three roller Mills)
• Turbin Gilingan
• Hidrolik Gilingan (Hydraulic Mills)
• Elektromotor Gilingan
• Intermediate Carrier
• Cush-Cush Elevator
• Pengumpan Ampas
3. Pemurnian • Timbangan Nira Mentah
• Tangki Penampung Nira Mentah
• Tangki Penampung Nira Kental
• Pompa-Pompa Penggerak
• Pemanas Nira (Heater)
• Defekator
• Bejana Sulfitasi (Sulfitator)
• Profloc Tower



Tabel 5. Jenis mesin dan peralatan proses produksi gula di setiap stasiun (Lanjutan)

No. Stasiun Mesin dan Peralatan
• Bejana Pengendap (Door Clarifier)
• Rotary Vacuum Filter (RVF)
• Bagacillo Mixer
• Juice Syrup Purification
4. Penguapan (Evaporasi) • Evaporator
• Kondensor
• Pompa-Pompa
5. Pemasakan • Penangkap Nira (Verchliker)
• Pan Masakan
• Palung Pendingin
6. Putaran (Sentrifugasi) • Penangkap Nira (Verchliker)
• Low Grade Centrifugal (LGC)
• High Grade Centrifugal (HGC)
• Talang Goyang
7. Pengeringan dan Pengemasan • Sugar Elevator Conveyor
• Rotary Dryer and Cooler
• Blower
• Cyclone Separator
• Penampung Leburan (Sugar Malter)
• Vibrating Screen
• Belt Conveyor I
• Magnetic Drum
• Dry Sugar Bucket Elevator
• Sugar Conveyor to Hooper
• Sugar Hooper
• Weighting and Bagging Machine
• Sugar Carrier
• Belt conveyor II

D. PROSES PRODUKSI GULA
Proses produksi gula di PG Jatitujuh ini menggunakan proses sulfitasi alkalis dan menghasilkan gula SHS. Produksi gula dilakukan setiap tahun antara bulan Mei sampai bulan Oktober (sekitar 3-5 bulan/tahun) dan sering disebut masa giling. Data rendemen gula yang berasal dari penggilingan tebu di tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 3. Proses produksi gula ini mencakup beberapa tahap sesuai stasiun prosesnya, yaitu : Stasiun Pendahuluan (Emplasement), Stasiun Pengilingan, Stasiun Pemurnian, Stasiun Penguapan (Evaporation), Stasiun Pemasakan (Kristalisasi), Stasiun Putaran (Centrifugation), Stasiun Pengeringan (Sugar Dryer), dan Stasiun Pengemasan dan Penggudangan. Alur proses produksi gula di PG Jatitujuh dapat dilihat pada Lampiran 4.
1. Stasiun Pendahuluan (Emplasement)
Stasiun Pendahuluan merupakan setasiun awal yang berfungsi sebagai tempat stok dan supply tebu dari proses penggilingan atau produksi gula. Cane yard di PG Jatitujuh memiliki kapasitas 5500-6000 ton/hari dengan sistem penjadwalan FIFO (first in first out). Perkiraan waktu pengangkutan tebu sampai ke cane yard berbeda-beda tergantung jarak tempuh dari tempat penebangan di lahan ke pabrik. Kelancaran pengangkutan tebu ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pekerja, jarak, cuaca, dan medan. Pengangkutan tebu ini terbagi ke dalam lima kelompok sesuai pembagian wilayah dan waktu tempuh seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Pembagian wilayah angkutan tebangan tebu
Kelompok Wilayah Jangkauan (waktu)
1 Wilayah I 1 jam
2 Wilayah II 1.5 jam
3 Wilayah III 2 jam
4 Wilayah IV 2.5 jam
5 Wilayah V 3 jam

Stasiun ini terdiri atas beberapa tahapan proses (Gambar 10) yaitu penimbangan tebu, pemeriksaan kualitas dan pengambilan sampel tebu, stok tebu di cane yard, dan input tebu melalui cane table (Table supplay cane). Proses penimbangan dilakukan ketika truk pengangkut tebu dari kebun sampai di gerbang cane yard. Penimbangan menggunakan timbangan skala besar dan pencatatan timbangan menggunakan aplikasi software (delphi). Proses penimbangan di gerbang masuk (gerbang selatan) dilakukan untuk mendapatkan nilai bruto (berat kotor) yaitu berat total truk dan tebu yang diangkut. Rata-rata nilai bruto untuk truk biasa sekitar 90-95 Kw, sedangkan nilai bruto untuk truk besar pabrik (trailer) mencapai sekitar 170 Kw. Selain penimbangan bruto di gerbang selatan, dilakukan penimbangan tara (berat truk) di gerbang utara. Rata-rata nilai tara untuk truk biasa sekitar 3 ton, sedangkan nilai tara dari truk besar pabrik sekitar 9-12 ton. Hasil dari penimbangan bruto dan tara ini digunakan untuk mendapatkan nilai berat bersih tebu yang diangkut setiap kali penimbangan. Perhitungan dilakukan dengan mengurangi nilai bruto dengan tara menghasilkan nilai netto (berat bersih).











Gambar 10. (a) Pemeriksaan kualitas, (b) penimbangan, (c) sampel tebu, dan (d) Lab.Index
Pemeriksaan tebu yang diangkut dilakukan setelah proses penimbangan awal (bruto). Pemeriksaan ini dilaksanakan oleh mandor MSB (Manis, Segar, dan Bersih) yang bertugas menilai dan memberi cap kualitas mutu. Pemberian cap dilakukan pada lembaran bukti tebang angkut yang dipegang oleh pengemudi truk. Tingkat kualitas tebu akan menentukan upah penebang dan ketika kualitas tebu kurang baik (kotor) akan dikenakan potongan dari upah yang seharusnya. Potongan dikenakan Rp 200 per kwintal tebu yang telah diangkut. Berdasarkan kualitas tebu hasil tebangan, tebu yang masuk dikalsifikasikan menjadi tujuh, yaitu : bersih, tali, pucuk, sogolan, klentek, tebu bakar, dan amparan. Setelah pengecekan kualitas tebu yang diangkut, proses berikutnya dilakukan pengambilan sampel tebu untuk dianalisis di laboratorium index. Analisis ini untuk mendapatkan nilai pol dan brix nira yang dihasilkan dari tebu sampel. Nilai pol dan brix ini digunakan untuk mengetahui nilai rendemen gula yang dihasilkan dari tebu tersebut.










Gambar 11. (a) Stok tebu di cane yard, (b) input tebu di table supplay cane
Tebu yang masih ada di dalam truk selanjutnya diangkat dengan menggunakan hilo seperti ditunjukan pada Gambar 11. Selain menggunakan hilo, pengangkatan tebu dari truk juga dilakukan dengan menggunakan mesin grabber dan tripper. Hasil pengangkatan diangkut dan dirapihkan dengan grabe louder atau cane stacker untuk ditata di cane yard sebagai stok tebu siap giling. Tebu di cane yard yang sudah siap untuk diproses didorong oleh grabe louder untuk umpan di cane table. Proses pemasukan umpan tebu siap giling ini dilakuakan dengan bantuan mesin-mesin yang ada di table supplay cane. Tebu-tebu yang sudah masuk diangkut oleh cane carrier untuk dipotong-potong menggunakan cane cutter dan diratakan oleh leveler. Setelah tebu berukuran lebih kecil, proses selanjutnya adalah penghancuran dengan menggunakan unigrator agar tebu berukuran lebih kecil lagi dan mudah digiling. Unigrator merupakan mesin pencacah bahan atau size reduction equipment yang berfungsi mencacah tebu menjadi serpihan yang kecil.
2. Stasiun Pengilingan
Stasiun penggilingan (Gambar 12) merupakan tempat berjalannya proses penggilingan tebu hasil dari unigrator untuk diambil dan diperah niranya. Proses penggilingan bertujuan memisahkan nira dengan ampas tebu dan meminimumkan kehilangan kandungan gula yang masih tersimpan dalam ampas. Di PG Jatitujuh penggilingan dilakukan dengan menggunakan empat gilingan (4-three roller mills), yaitu gilingan I, gilingan II, gilingan III, dan gilingan IV dengan kapasitas giling 4500-5000 TCD. Proses penggilingan ini dibantu oleh mesin giling yang terdiri atas turbin gilingan, hidrolik gilingan, dan elektromotor gilingan. Sistem kerja gilingan berjalan sesuai aliran ampas dan nira yang digiling.



Gambar 12. Penggilingan tebu
Tebu-tebu hasil cacahan dari unigrator diperah di gilingan I menghasilkan nira dan ampas gilingan I. Nira disalurkan melalui cush-cush elevator untuk dibawa ke pemurnian, sedangkan ampas gilingan I dicampur dengan air dan nira hasil gilingan III untuk diperah kembali di gilingan II. Nira hasil gilingan II disalurkan ke cush-cush elevator, sedangkan ampas gilingan II dicampur kembali dengan air inhibisi dan nira hasil gilingan IV untuk diperah kembali di gilingan III. Nira hasil gilingan III disalurkan ke cush-cush elevator dan disalurkan ke gilingan II sebagai campuran, sedangkan ampas gilingan III dicampur kembali dengan air inhibisi tanpa dicampur dengan nira untuk diproses selanjutnya ke gilingan IV. Ampas dari gilingan IV langsung dibawa oleh belt conveyor ke stasiun boiler dan penampungan bagasse, sedangkan nira hasil gilingan IV disalurkan ke gilingan III sebagai campuran. Walaupun tebu telah diperah berulang kali, namun masih ada kadar gula yang tertinggal dalam ampas dan tidak dapat keluar lagi dari ampas hanya dengan pemerasan. Hal ini dikarenakan pada nira yang memiliki kadar cairan 45-50% sulit untuk dikeluarkan.
Penambahan air inhibisi berfungsi untuk melarutkan nira yang masih terkandung dalam ampas. Bahan tambahan lain di stasiun penggilingan ini berupa Decolorizing of Raw Juice yang berfungsi untuk menurunkan nilai icumsa (< 100) agar nira jernih dan menghasilkan gula yang bersih dan putih, Dewatering Aid of Bagasse yang digunakan untuk mengikat nira yang masih terkandung dalam ampas yang digiling, dan Flowing Agent of Raw Juice digunakan sebagai penggumpal kotoran dalam nira sehingga kotoran dapat dipisahkan.
3. Stasiun Pemurnian
Stasiun pemurnian ini merupakan tempat berlangsungnya proses pemurnian nira hasil pemerahan di stasiun penggilingan. Proses pemurnian bertujuan untuk memisahkan kotoran dari nira sehingga menghasilkan nira bersih dan jernih. Proses pemurnian di PG Jatitujuh menggunakan proses sulfitasi alkalis dengan bantuan bahan tambahan berupa susu kapur hydrate lime atau Ca(OH)2, gas SO2, koagulan, dan flokulan. Proses yang berlangsung di stasiun pemurnian ini mencakup beberapa tahapan proses, yaitu penimbangan nira mentah, pemanasan nira mentah I, penambahan kapur dan gas SO2, pemanasan nira mentah II, pengendapan, dan pemanasan nira mentah III.
a. Penimbangan Nira Mentah
Proses penimbangan nira mentah dilakukan dengan menimbang nira mentah (Gambar 13) dari hasil proses penggilingan. Penimbangan nira mentah ini menggunakan boulogne yang berfungsi untuk mengetahui berat nira mentah yang diperoleh dari berat tebu giling. Kapasitas timbangan boulogne mencapai 5 ton per menit atau sama dengan 300 ton per jam. Rata-rata nira mentah yang masuk timbangan boulogne sekitar 42 Kw setiap penimbangan setara dengan 1500-2000 Kw per jam. Setelah penimbangan, nira ditampung dalam tangki nira mentah dan ditambahkan susu kapur (pre liming) sebagai peningkat nilai pH nira mentah (dari 5 menjadi sekitar 6.2). Hal ini dilakukan agar nira tidak rusak pada saat proses pemanasan nira mentah I.





Gambar 13. Timbangan nira mentah (Boulogne)
b. Pemanasan Nira Mentah I
Proses pemanasan nira mentah berfungsi untuk membersihkan nira dari kontaminan bakteri yang terkandung dalam nira. Proses pemanasan nira dilakukan di dalam heater I dengan suhu 70-75oC sehingga dapat membunuh bakteri yang menyebabkan kerusakan sukrosa. Pemanasan ini juga bertujuan untuk mempercepat reaksi yang akan berlangsung pada tahap selanjutnya.
c. Penambahan Kapur dan Gas SO2
Proses penambahan kapur dilakukan di static mixer setelah nira mentah dilarutkan pada defekator. Penambahan kapur ini berfungsi untuk meningkatkan pH nira menjadi 8.5-9 (proses sackarate). Peningkatan pH nira ini berfungsi agar nira tidak bersifat asam, karena ketika nira asam atau suhu terlalu tinggi akan menyebabkan kadar sukrosa dalam nira tereduksi menjadi glukosa dan fruktosa. Peningkatan nilai pH nira juga akan menyebabkan kerusakan pada nira mentah dan mengakibatkan warna gula yang dihasilkan menjadi kecoklatan (browning). Hal ini tidak diinginkan dalam proses pembuatan gula. Penambahan susu kapur juga berfungsi mengikat kotoran yang masih tercampur dengan nira.
Penambahan gas SO2 pada proses sulfitasi merupakan salah satu proses penetralan nira dalam kondisi alkalis sehingga pH akhir sulfitasi menjadi 7.2. Gas SO2 dihembuskan dari bawah agar reaksi berjalan sempurna dan menghasilkan pH yang setabil untuk proses selanjutnya.
d. Pemanasan Nira Mentah II
Proses pemanasan nira mentah yang ke dua dilakukan untuk meningkatkan kemurnian nira agar pada proses selanjutnya dapat diproses dengan mudah. Proses pemanasan nira mentah dimulai dengan nira dari tangki sulfitasi dipompa dan disalurkan ke heater II, kemudian dinaikkan suhunya menjadi 95-100oC.
e. Pengendapan
Proses selanjutnya adalah pengendapan kotoran yang terkandung dalam nira. Nira hasil pemanasan II ditambahkan koagulan cair 80 ppm dan flokulan dari profloc tower, selanjutnya ditampung dalam flash tank (Gambar 14a) untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan. Penambahan flokulan untuk mengikat kotoran kecil hasil absorpsi senyawa bukan gula oleh senyawa CaSO3 menjadi flok-flok yang besar sehingga mudah diendapkan. Penambahan flokulan dilakukan di tiga titik setelah nira melewati flash tank. Nira dan flokulan yang sudah tercampur dialirkan ke dalam bejana pengendap (door clarifier) untuk diendapkan. Nira jernih akan terpisah dan berada di bagian atas, sedangkan nira kotor mengendap di bawah dan disalurkan ke rotary vacuum filter (RVF) ditunjukan pada Gambar 14b. Nira kotor ini akan diproses kembali dengan penambahan air dan penyerapan nira oleh RVF. Sisa proses vacuum di RVF menghasilkan limbah padat berupa blotong, sedangkan nira bersih hasil penyerapan di RVF akan diolah kembali di bagian awal stasiun pemurnian.







Gambar 14. (a) Door clarifier dan (b) rotary vacuum filter (RVF)
f. Pemanasan Nira Mentah III
Proses selanjutnya adalah pemanasan nira mentah III (Gambar 15) yang memanaskan nira jernih hasil pengendapan di door clarifier. Sebelum masuk ke stasiun penguapan nira dipanaskan terlebih dahulu pada heater III dengan suhu 110oC. Proses pemanasan ini bertujuan agar nira langsung menguap sehingga dapat mengurangi beban evaporator.






Gambar 15. Pemanasan nira mentah
4. Stasiun Penguapan (Evaporation)
Stasiun penguapan merupakan tempat berlangsungnya proses penguapan nira hasil dari proses pemurnian. Proses penguapan merupakan proses mengurangi kadar air nira dengan cara memberi panas sehingga diperoleh nira dengan kekentalan tertentu. Nira encer dari heater III di stasiun pemurnian yang memiliki brix 12-14% dikentalkan sampai mencapai nilai brix 60-64% menggunakan badan penguap atau evaporator dan menguapkan air sekitar 60%. Proses penguapan di PG Jatitujuh menggunakan enam evaporator atau badan penguap. Evaporator yang beroperasi hanya menggunakan lima badan penguap dan dua diantaranya bekerja pararel, sehingga secara fungsi proses penguapan menggunkan empat evaporator. Sistem yang diterapkan pada stasiun penguapan ini adalah quadruple effect yaitu evaporator I dan evaporator II adalah paralel. Evaporator pararel ini memanfaatkan uap yang berasal dari uap sisa stasiun gilingan. Operasi evaporator III, IV, V, dan VI bekerja secara seri yaitu uap yang masuk dalam badan penguap berasal dari badan penguap sebelumnya.




Gambar 16. (a) Badan penguap dan (b) JSP (Juice Sugar Purification)
Pengoperasian badan penguap I dan badan penguap II menggunakan uap sisa dari hasil stasiun penggilingan dengan tekanan 1.2-1.5 bar. Suhu nira encer yang masuk badan penguapan pertama mencapai 100oC. Uap nira dari badan penguap I dan badan penguap II digunakan untuk penguapan di badan penguap III. Uap nira dari badan penguap III digunakan untuk penguapan di badan penguap IV. Uap nira dari badan penguap IV digunakan untuk penguapan di badan penguap terakhir. Proses penguapan badan penguap terakhir (badan penguap V atau VI) adalah vacuum dengan suhu 75-80oC. Penguapan ini bertujuan menjaga agar sukrosa yang terkandung dalam nira tidak rusak. Pengisian nira ke dalam badan penguap hanya mencapai sepertiga tinggi pipa pemanas. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya nira berlebih dan nira terbawa uap akibat tinggi pengisian melebihi sepertiga badan penguap. Nira kental yang dihasilkan badan penguap terakhir dibawa ke tangki sulfitasi II. Nira hasil dari badan penguap terakhir hanya dilewatkan melalui tangki sulfitasi II dan disalurkan ke tangki nira kental atau JSP (Juice Sugar Purification) sebagai nira yang siap masak di stasiun pemasakan.
5. Stasiun Pemasakan (Kristalisasi)
Stasiun pemasakan merupakan tempat proses pemasakan atau kristalisasi nira kental menjadi gula. Tahapan prosesnya berawal dari nira yang dikentalkan di stasiun penguapan (ditunjukan pada Gambar 17), kemudian diproses di pan masakan untuk dikristalisasi menjadi kristal gula. Proses ini bertujuan untuk merubah larutan sukrosa dalam nira kental menjadi kristal gula. Proses pemasakan dilakukan secara bertingkat dengan kondisi vacuum 60-64 cmHg pada suhu 70-75oC. Pengondisian vacuum dan suhu ini dilakukan agar gula tidak rusak dan mencegah terjadinya karamelisasi. Proses pembentukan kristal gula dilakukan di dalam pan masakan yang menghasilkan gula SHS, bibit (stroop) yang digunakan untuk pan masakan berikutnya, umpan (magma) yang digunakan untuk pan masakan sebelumnya, dan klare.









Gambar 17. Stasiun pemasakan
Proses pemasakan (Gambar 18) di PG Jatitujuh ini menggunakan proses masakan pan A, proses masakan C, dan proses masakan D. Proses masakan ini menggunakan pan masakan yang terdiri atas tiga pan masakan A (A1, A2, A6), satu pan masakan C, satu pan masakan C/D yang dapat digunakan untuk membuat bibit C atau D dengan penambahan FCS sebagai inti kristal dalam pengkristalan, dan satu pan masakan D.


























Gambar 18. Diagram alir proses kristalisasi gula

a. Proses Masakan A
Proses masakan A ini mengolah nira kental yang ada di peti penampungan secara bertahap masuk ke dalam pan pemasakan A, magma dari proses masakan C, dan campuran nira leburan dengan klare A sampai volume 450 HL. Magma C yang diumpan ke dalam pan masakan A berfungsi sebagai inti kristal yang digunakan untuk menarik pembentukan kristal dengan pelekatan sukrosa. Nira leburan yang dicampurkan dengan klare berasal dari krikil gula atau gula sisa yang dihasilkan oleh proses pengeringan gula. Proses pemasakan A dilakukan sampai nilai brix masakan A sekitar 92-94%.
Hasil masakan A disalurkan ke palung pendingin A dan diteruskan masuk ke putaran A. Dari putaran A ini menghasilkan stroop A dan gula kristal A, kemudian ditambahkan air sehingga menjadi magma A. Stroop A merupakan sisa pemasakan yang masih banyak mengandung gula, sehingga akan dijadikan bibit di pan masakan C. Magma A sebagai umpan masuk ke putaran SHS dan diproses melalui pemisahan menghasilkan gula SHS (Super High Sugar) dan klare A. Gula SHS yang dihasilkan merupakan produk utama yang sudah siap dikeringkan dan dikemas, sedangkan klare A masih mengandung air dan gula sehingga diproses kembali sebagai bahan di pan masakan A. Proses masakan A ini memiliki nilai HK (Harkat Kemurnian) minimal 84%.

b. Proses Masakan C
Proses pemasakan C merupakan proses yang mengolah stroop A sebagai bibit gula dan magma D II dari masakan D sebagai umpan pemasakn. Selain itu, bibit untuk masakan C dapat juga berasal dari seed C yang dibuat di pan masakan C/D dengan penambahan FCS sebagai inti kristal. Proses kristalisai di masakan C dilakukan sampai nilai brix kristal gula sekitar 94-96% dengan nilai HK (Harkat Kemurnian) minimal 76%. Hasil masakan C disalurkan ke palung pendingin C, lalu dibawa ke putaran C dan diproses menghasilkan stroop C dan magma C. Stroop C digunakan untuk bahan masakan D, sedangkan magma C digunakan untuk umpan masakan A.

c. Proses Masakan D
Proses pemasakn D merupakan rangkaian proses yang cukup panjang dalam pemasakan gula. Bahan yang diproses dalam pemasakan D ini adalah stroop C dan klare D. Selain itu, umpan atau bibit masakan D dapat diperoleh dari seed D hasil masakan di pan C/D. Pemasakan D dilakukan sampai nilai brix masakan D sekitar 98% dan menunjukan kristal gula yang cukup baik. Hasil masakan D memiliki nilai HK (Harkat Kemurnian) minimal 60% dan disalurkan ke palung pendingin D. Selanjutnya masuk ke dalam putaran D I, kemudian diproses menghasilkan tetes dan kristal gula D I. Tetes (molasses) yang dihasilkan akan disalurkan ke tangki tetes (kapasitas 3500 m3/tangki), sedangkan kristal gula D I akan ditambahkan air sehingga menjadi magma D I. Magma D I ini akan dialirkan ke putaran D II sebagai umpan dan diproses menghasilkan klare D dan magma D II yang akan digunakan sebagai bahan masakan C.
6. Stasiun Putaran (Centrifugation)
Stasiun putaran (Gambar 19) merupakan tempat proses pemutaran gula yang masih basah. Pemutaran gula berfungsi untuk memisahkan kristal gula dan sisa terlarutnya. Di PG Jatitujuh ini proses pemutaran menggunakan mesin putaran yang terdiri atas satu mesin putaran DI, dua putaran DII, dua putaran C, empat putaran AI, dua putaran SHS, dan satu putaran BMA. Sistem kerja putaran yang digunakan dibedakan menjadi dua jenis yaitu HGC (High Grade Centrifuge) dan LGC (Low Grade Centrifuge). HGC ini memiliki sistem discontinue, sedangkan LGC memiliki sistem continue dalam pengoperasiannya.
a. Putaran Gula Produksi (Putaran SHS)
Putaran gula produksi merupakan mesin putaran yang memisahkan gula produk dengan larutannya yaitu terdiri atas putaran SHS dan putaran BMA. Bahan gula yang diproses di putaran ini berasal dari gula hasil masakan A dan diproses menghasilkan gula SHS. Sebelum gula masuk ke putaran SHS, diproses terlebih dahulu di putaran A I. Sistem kerja putaran pada putaran SHS ini termasuk kedalam HGC (High Grade Centrifuge) yang memiliki kualitas kerja putaran cukup tinggi dan sistem tidak kontinyu. Putaran SHS akan menghasilkan gula SHS sebagai produk dan klare A yang akan diproses kembali pada masakan A. Sistem kerja putaran BMA juga termasuk menggunakan sistem HGC (High Grade Centrifuge) dan memiliki kecepatan putar 1100-1200 rpm, namun pada putaran BMA ini langsung menghasilkan gula produk tanpa harus diputar terlebih dahulu pada putaran A I.







(a) (b)
Gambar 19. (a) Mesin putaran SHS dan (b) putaran BMA
b. Putaran A I
Proses putaran di putaran A I ini menangani pemutaran nira kental hasil masakan A, kemudian diproses menghasilkan stroop A dan kristal gula A. Kristal gula A ini yang akan masuk ke putaran SHS untuk diputar menjadi produk gula SHS. Sistem kerja putaran pada putaran A I merupakan HGC (High Grade Centrifuge) dan memiliki kecepatan putar 700-900 rpm.
c. Putaran C
Proses pada putaran C (Gambar 20a) akan menghasilkan produk yang berupa stroop C dan kristal gula C. Kristal gula C ini diolah kembali menjadi magma C sebagai inti kristal untuk masakan A, sedangkan stroop C akan masuk pada pan masakan D. Sistem kerja putaran pada putaran A I termasuk LGC (Low Grade Centrifuge) yaitu memiliki kemampuan tingkat putaran rendah dan kontinyu.
d. Putaran D
Proses pada putaran D (Gambar 20b) terdiri atas putaran D I dan putaran D II yang berperan sebagai pemisah gula D dan tetes (molasses). Putaran D I menghasilkan gula D I dan tetes yang akan disalurkan pada tangki tetes. Gula D I yang dihasilkan diputar kembali pada putaran D II, sehingga menghasilkan klare D (bahan masakan D) dan magma D II (bahan masakan C). Sistem putaran D termasuk low grade centrifuge yang bekerja dengan tingkat putaran rendah dan kontinyu.







(a) (b)
Gambar 20. (a) Mesin putaran C dan (b) putaran D
7. Stasiun Pengeringan (Sugar Dryer)
Gula SHS hasil proses putaran masih mengandung kadar air yang cukup tinggi, sehingga perlu diproses kembali melalui proses pengeringan di stasiun pengeringan gula (sugar dryer) yang ditunjukan pada Gambar 21. Gula basah dari stasiun putaran (talang goyang) diangkut oleh sugar elevator conveyor dan disalurkan ke dalam rotary dryer and cooler (RDC) untuk diproses. RDC ini memiliki kapasitas 400 Kw per jam dengan kemampuan mengeringkan dan mendinginkan gula basah dengan menggunakan 12 pipa dryer (6 silinder pengering dan 6 silinder pendingin). Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan udara pengering dengan suhu 40-80oC. Proses pengeringan dilakukan dengan blower yang berperan menghembuskan udara panas ke pipa dryer dan pipa-pipa tersebut diputar hingga gula menjadi kering. Pada proses pengeringan ini menghasilkan debu gula dan krikil gula. Debu gula disedot keluar menggunakan cyclone separator yaitu disemprot menggunakan air sehingga debu terikat air dan jatuh ke dalam tangki leburan. Sedangkan krikil dan gula halus yang tersisa ditampung dan diproses ke dalam sugar malter yang terdiri atas tiga tingkat ayakan dengan dua jenis saringan. Selanjutnya akan diproses kembali untuk bahan masakan di peti leburan dan klare.






Gambar 21. Stasiun pengeringan gula (sugar dryer)
Gula yang telah dikeringkan dan didinginkan ini diproses oleh vibrating screen agar gula produk yang berukuran seragam, gula kasar, dan gula halus dapat terpisah. Gula kasar dan gula halus akan masuk ke peti leburan dan akan diproses kembali pada masakan A, sedangkan produk gula SHS yang sudah jadi dibawa oleh belt conveyor I ke dry sugar bucket elevator untuk dipindahkan ke penampung gula secara vertikal. Selanjutnya gula kering dibagi ke hooper kiri, tengah, dan kanan oleh sugar conveyor to hooper. Gula ditampung di sugar hooper dengan kapasitas 180 ton yang terbagi dalam tiga bagian badan sebelum dilakukan penimbangan. Gula yang akan ditimbang diperiksa terlebih dahulu menggunakan magnetic drum untuk memisahkan dan menangkap logam-logam kecil yang terbawa oleh produk gula.
8. Stasiun Pengemasan dan Penggudangan
Gula yang sudah bersih ditimbang menggunakan weighting and bagging machine yaitu mesin yang otomatis memasukkan gula ke karung (per 50 kg) yang sudah dilapisi plastik dan menjahit karung gula yang telah disi oleh gula produk SHS. Gula yang sudah dikemas dibawa oleh sugar carrier sampai ke belt conveyor II dan dilanjutkan untuk disimpan di gudang gula.
Produk gula SHS I yang sudah dikemas dan siap dipasarkan diberi merek (brand) Gula Kepala Putih (GKP) I seperti pada Gambar 22. Kemasan gula ini menggunakan karung plastik yang dilapisi inner bag yaitu berupa plastik tipis yang transparan. Lapisan plastik ini berfungsi agar uap air tidak masuk ke dalam karung dan menjaga gula agar tetap kering dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, gula dapat lebih tahan lama dalam penyimpanannya di gudang.









Gambar 22. Kemasan gula karung GKP I dan plastik 1 kg (Ragula)
Gula dikemas dalam kemasan karung 50 kg agar mempermudah dalam penyusunan dan penumpukannya dalam gudang. Kemasan karung ini diberikan kode produksi menurut periode produksi, bulan, tahun, dan shift produksi agar jumlah gula yang diproduksi pada periode tersebut dapat diketahui. Selain itu, mempermudah pengaturan letak penyimpanan dan keluarnya gula yang akan di pasarkan. Gula yang masuk ke gudang akan dihitung secara manual oleh operator dan melalui penghitung otomatis sehingga dapat diketahui berapa jumlah karung gula yang masuk ke gudang setiap periode.
Selain gula dikemas dalam karung seberat 50 kg, di PG Jatitujuh ini juga memproduksi gula dengan kemasan plastik 1 kg yang diproduksi sesuai dengan permintaan. Gula dalam kemasan plastik 1 kg ini diberi merek Ragula (Rajawali Gula) dengan kemasan yang didisain menarik. Ragula dikemas lagi dalam kemasan kardus yang berisi 24 gula kemasan plastik 1 kg yang setara dengan 24 kg.





Gambar 23. Kondisi gudang gula PG Jatitujuh
Gudang gula di PG. Jatitujuh (Gambar 23) memiliki kapasitas sekitar 250000 karung atau 125000 kwintal. Sistem penggudangan dilakukan dengan cara penumpukan setinggi 45 baris dimana masing-masing baris berisi 320 karung, sehingga masing-masing tumpukan berisi 14000-14400 karung gula. Pengeluaran gula dari gudang menggunakan sistem FIFO (First In First Out) yaitu gula yang masuk gudang lebih dulu akan dikeluarkan terlebih dahulu. Gula produksi ini akan didistribusikan di daerah Cirebon, Kuningan, Bandung, dan sekitarnya.











IV. MANAJEMEN LINGKUNGAN INDUSTRI
A. MANAJEMEN LINGKUNGAN INDUSTRI DI PG JATITUJUH
Manajemen lingkungan industri merupakan aspek manajemen sebuah industri atau perusahan dalam penanganan dan pengendalian terhadap dampak-dampak lingkungan yang terjadi di sekitar industri. Manajeman lingkungan dalam sebuah industri mengelola berbagai aspek yang cukup kompleks terkait lingkungan hidup, yaitu mencakup sistem manajemen lingkungan, jenis dan penanganan limbah, pemanfaatan limbah, hasil samping produksi (by product), produksi bersih, dan Corporate Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD).
Penerapan manajemen lingkungan industri di PG Jatitujuh sudah dilakukan dengan baik walaupun belum mencapai target secara sempurna. Salah satu aspek penting dalam penanganan lingkungan hidup di PG Jatitujuh ini terwujud dalam beberapa aspek pengendalian lingkungan. Sistem manajemen lingkungan (SML) industri merupakan salah satu aspek yang sangat disadari penting oleh PG Jatitujuh untuk menciptkan lingkungan pabrik gula yang ramah lingkungan dan kondusif. Walaupun dalam pelaksanaannya belum diterapkan secara sempurna dan sistematis, namun penanganan lingkungan hidup ini sedang diarahkan untuk menjadi sebuah manajeman lingkungan industri yang sesuai ISO-14000 dan peraturan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tentang pengendalian lingkungan industri gula.
International Organization For Standardization (ISO) merupakan salah satu standar internasional tentang manajemen lingkungan dan keamanan operasional. Bentuk standar pengelolaan lingkungan ini terwujud dalam ISO-14000 dan secara sepesifik menangani sistem manajemen lingkungan adalah ISO-14001. Sistem manajemen lingkungan berdasarkan ISO-14001 merupakan suatu sistem yang mengorganisasikan kebijakan lingkungan, perencanaan, implementasi, pemeriksaan, tindakan koreksi dan tinjauan manajemen perusahaan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan sehingga tercapai perbaikan lingkungan yang bersifat terus menerus atau berkesinambungan. Sebagai upaya mewujudkan hal tersebut, PG Jatitujuh telah menerapkan sedikitnya berbagai bentuk pengelolaan dan pengendalian lingkungan yang diarahkan menjadi realisasi sistem manajemen lingkungan yang sempurna. Salah satu realisasi yang nyata diterapkan PG Jatitujuh, yaitu adanya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan pengorganisasian pengendalian pencemaran lingkungan hidup (PPLH) yang melibatkan semua bagian yang ada dalam perusahaan.
Sistem manajemen lingkungan di PG Jatitujuh yang masih dalam tahap pembentukan dan penyempurnaan ini tergamabar dalam realisasi sesuai aspek yang ditetapkan ISO-14001 sebagai berikut :
1. Kebijakan Lingkungan
Kebijakan lingkungan secara umum sudah diatur di tingkat nasional oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tentang pengendalian pencemaran lingkungan dan urusan pengendalian pencemaran agroindustri. Kebijakan lingkungan ini juga diatur di tingkat provisnsi oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat dan di tingkat kabupaten diatur oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Majalengka. Kebijakan lingkungan secara khusus yang diterapkan di PG Jatitujuh sudah ada, namun masih belum sempurna dijalankan secara sadar oleh semua bagian yang ada di perusahaan. Realisasi kebijakan lingkungan ini terwujud ke dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup (PPLH) yang ditangani oleh semua bagian perusahaan yang ada di PG Jatitujuh (Instalasi, Pabrikasi, Tanaman, TU & K, SDM & Humas) dan dikepalai oleh masing-masing kepala seksi (Kasie) di bagian masing-masing.

2. Perencanaan
Perencanaan lingkungan hidup di industri ini mencakup beberapa aspek lingkungan dan persyaratan peraturan yang disesuaikan dengan kebijakan lingkungan. Selain itu, perencanaan ini memiliki ketentuan tujuan dan target pencapaian serta program lingkungan hidup. Perencanaan program pengelolaan lingkungan hidup di PG Jatitujuh ini masih belum tersusun secara sistematis seperti Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Bentuk perencanaan dicanangkan secara terpisah sesuai bagian penanganan dan pengelolaannya, yaitu perencanaan pengelolaan limbah cair (dilaksanakan oleh manajemen IPAL), rencana pengelolaan limbah padat, rencana pengelolaan limbah gas, rencana pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), perencanaan penghijauan dan pembangunan sarana lingkungan luar pabrik oleh bagian tanaman, perencanaan inhouse keeping oleh bagian pabrikasi, dan perencanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) oleh bagian SDM & Humas.
3. Implementasi
Pelaksanaan (implementation) sistem manajemen lingkungan mencakup struktur organisasi sebagai penanggung jawab, pembagian wewenang dan deskripsi kerja, bentuk pelatihan (training), komunikasi, dokumentasi, kontrol dan tanggap darurat. Di PG Jatitujuh ini secara pelaksanaan sudah mendekati kesesuaian dengan ketentuan dan memenuhi poin penting tersebut. Secara umum pelaksanaan pengorganisasian pengelolaan lingkungan hidup sudah terbentuk dalam Pengelolaan Pencemaran Lingkungan Hidup (PPLH) PG Jatitujuh dan melibatkan semua elemen bagian yang ada di perusahaan. Begitupun pembagian wewenang dan tugas kerja sudah terbentuk serta terbagi sesuai bidang dan tanggung jawab masing-masing. Struktur organisasi dan pembagian wewenang PPLH dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pelatihan dilaksanakan sebagai wujud peningkatan kualitas, kesadaran, dan kompetensi karyawan. Bentuk pelatihan dilaksanakan sesuai bidang dan pengelolaan yang ditangani karyawan, sedangkan untuk seluruh karyawan seacara umum dilakukan pelatihan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pelatihan tentang pengelolaan lingkungan hidup juga dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak lain, namun pelatihan hanya dilaksanakan oleh beberapa karyawan yang terkait.
Komunikasi dilaksanakan secara internal dan eksternal perusahaan terkait sistem manajemen lingkungan. Komunikasi secara internal dilakukan dengan seluruh bagian yang ada di perusahaan dalam bentuk penjelasan, pengarahan, dan penyuluhan kepada karyawan. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesadaran tentang lingkungan hidup dan meminimalisir terjadinya kesenjangan antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Komunikasi eksternal dilakukan dengan pihak luar dalam bentuk kerjasama, pengawasan (audit), dan pelaporan. Bentuk komunikasi ini terwujud dalam penyuluhan, pemantauan, dan pengawasan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), BPLHD Jawa Barat, BLH Kabupaten Majalengka, dan konsultan lingkungan hidup. Selain itu, dilakukan komunikasi eksternal dalam bentuk kerjasama dengan pihak ke tiga tentang jual beli (Limbah B3, sarana penanganan lingkungan, dan lain-lain).
Dokumentasi dilakukan untuk membuat dan menyimpan arsip-arsip untuk keperluan administratif perusahaan yang terkait tentang pengelolaan lingkungan di PG Jatitujuh. Tugas ini dilaksanakan oleh bagian Pabrikasi dan SDM & Humas.
Kontrol atau pengendalian lingkungan dilakukan secara berkala seperti yang dilakukan pada pengujian limbah cair yaitu dilakukan setiap 20 hari sekali dalam masa giling. Pengendalian lingkungan juga dilakuakan di dalam pabrik setiap sebelum, sesudah, dan pada masa giling dalam bentuk inhouse keeping, pengujian kebisingan, pengujian emisi cerobong boiler dan udara ambien. Pelakasanaan tanggap darurat dilakukan dengan memasang dan memeberlakukan SOP tentang pencegahan dan penanganan dampak lingkungan yang dapat terjadi.
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan pengelolaan lingkungan di PG Jatitujuh ini dalam bentuk pemeriksaan dan pengujian limbah cair, limbah padat, limbah gas (emisi cerobong dan udara ambien), limbah B3, dan kebisingan. Pengujian dan pemeriksaan ini dilakukan oleh pihak luar yang terkait dengan kerjasama seperti Balai Hiperkes dan Keselamatan Keja Bandung (BHKKB), Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (P3SDA), dan Balai Pengujian Mutu Konstruksi dan Lingkungan (BPMKL) Jawa Barat. Hasil pemeriksaan dan pengujian ini digunakan untuk pelaporan yang diajukan kepada Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), BPLHD Jawa Barat, BLH Kabupaten Majalengka. Tindak lanjut pelaporan ini sangat berpengaruh terhadap Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER I Bidang Lingkungan).
5. Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi tentang pengelolaan lingkungan ini langsung dilakukan dan diaudit oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Tindakan koreksi dilakukan dengan menyesuaikan pelaporan bulanan dengan tinjauan langsung dari KLH di PG Jatitujuh. Hasil koreksi ini akan ditindaklanjuti oleh PG Jatitujuh dengan memperbaiki kekurangan yang ada di pelaporan dan tinjauan langsung bulan sebelumnya. Hasil koreksi ini akan dinilai oleh KLH dengan memberi predikat atau ststus pengelolaan lingkungan industri. Status lingkungan industri ini terdiri atas empat predikat, yaitu hitam untuk indutri yang belum menerapkan manajemen lingkungan industri (MLI), merah untuk industri yang baru dan sudah menerapkan MLI, biru untuk industri yang sudah taat aturan sesuai MLI, dan hijau untuk industri yang sudah menerapkan MLI secara sempurna dan terintegrasi. Status lingkungan untuk PG Jatitujuh ini masih berwarna merah yang menunjukan industri yang baru menerapkan MLI.
6. Tinjauan Manajemen Perusahaan
Tinjauan manajemen perusahaan ini dilakukan agar seluruh elemen yang ada diperusahan bekerjasama dan terintegrasi dalam pengelolaan lingkungan di PG Jatitujuh. Tinjauan langsung dilakukan oleh direksi PT PG Rajawali II dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH).
B. JENIS LIMBAH DI PG JATITUJUH
Pabrik Gula Jatitujuh merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian (agroindustri) menjadi produk jadi berupa gula SHS. Proses produksi gula tidak terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by product) yang dihasilkan selama proses berjalan. Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik (persentasenya kecil). Hal ini terkait dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan adalah bahan-bahan organik. Limbah yang dihasilkan di Pabrik Gula Jatitujuh terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah gas, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
C. PENANGANAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH CAIR
Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses produksi dalam bentuk zat cairan. Limbah cair di PG Jatitujuh dihasilkan secara langsung dengan kegiatan produksi atau tidak langsung berhubungan langsung seperti limbah domestik. Limbah cair ini merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik gula khsusnya PG Jatitujuh. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh tahapan proses produksi membutuhkan air untuk pencucian mesin atau peralatan produksi. Beberapa stasiun produksi gula membutuhkan air sebagai bahan tambahan dalam proses produksi, sehingga menghasilkan air sisa atau air buangan dan menjadi limbah cair.
1. Macam dan Sumber Limbah Cair
Limbah cair yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Jatitujuh ini berupa tetes (molasses), air buangan pabrik, air kondensat, air jatuhan (air kondensor), dan air limbah domestik. Tetes merupakan salah satu limbah produksi gula yang dihasilkan dari proses kristalisai di putaran D I. Berasal dari nira kental yang diproses di pan masakan D mengasilkan kristal gula, kemudian diputar di putaran D I dan menyisakan cairan kental berwarna kecoklatan yang disebut molasses. Tetes yang dihasilkan dari setiap tebu yang digiling di PG Jatitujuh ini sekitar 3-5% dengan nilai brix 87-91 %, nilai pol 21-29%, dan nilai kemurnian (HK) 30-32%. Tetes yang dihasilkan di stasiun putaran ini disalurkan langsung ke tangki penampung tetes. Tangki tetes di PG Jatitujuh (Gambar 24) ini berjumlah tiga tangki dengan kapasitas masing-masing 3500 m3. Sifat fisik tetes ini menyerupai cairan gula merah yang kental, berwarna kecoklatan, dan berbau gula yang dibakar. Tetes dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan MSG (monosodium glutamate), pembuatan alkohol, bahan pembuatan pakan ikan, dan spirtus di PSA Palimanan.





Gambar 24. Molasses dan tangki penampungnya
Macam limbah cair lain yang dihasilkan dari produksi gula ini adalah air buangan pabrik. Setiap setasiun menghasilkan air buangan berupa limbah cair yang berasal dari sisa pencucian mesin atau sisa kotoran pelumas, nira, ampas, dan bahan-bahan lainnya di masing-masing stasiun. Sumber limbah cair buangan pabrik ini didasarkan pada pembagian stasiun yang ada dalam pabrik. Limbah cair buangan ini disalurkan melalui irigasi yang sudah dibuat khusus untuk limbah cair buangan pabrik dengan bak kontrol yang tersebar di masing-masing stasiun. Bak kontrol (Gambar 25) ini digunakan untuk pemantauan aliran limbah dan pengendalian ketika terjadi penyumbatan limbah cair. Limbah cair buangan yang dihasilkan di stasiun penggilingan berupa sisa pembersihan oli pelumas mesin penggiling, sisa penyemprotan ampas, sisa nira yang terbuang atau bocor, dan sisa bahan-bahan tambahan kimia (dewatering). Di stasiun pemurnian menghasilkan limbah cair buangan berupa sisa pembersihan blotong, pembersihan ampas lembut sisa penyaringan, dan nira yang berceceran. Limbah cair buangan dari stasiun penguapan berupa sisa air pembersihan nira, kerak nira, dan caustic soda. Di stasiun putaran dihasilkan limbah cair buangan berupa sisa tetes yang berlebih, kebocoran timbangan tetes, dan gula ceceran yang telah dibersihkan dengan air. Sumber lain limbah cair buangan berasal dari stasiun boiler yang berupa air buangan dari endapan air di bagasse house yang meresap ketika turun hujan. Di stasiun pemasakan, intensitas menghasilkan limbah cair buangan relatif sangat jarang. Menghasilkan limbah ketika ada kesalahan atau kebocoran nira di peti penampungan. Seluruh limbah cair buangan pabrik ini disalurkan melalui irigasi dan disalurkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk diolah kembali.







(a)





(b)
Gambar 25. (a) Limbah cair buangan pabrik dan (b) bak kontrol
Air kondensat (Gambar 26a) merupakan salah satu limbah cair yang dapat dimanfaatkan kemabali secara langsung dan melalui proses terlebih dahulu. Air kondensat ini berasal dari sisa proses air evaporasi di stasiun penguapan dan air kondensat ini memiliki suhu 70-80oC dengan pH 6-7. Air kondensat disalurkan ke tangki penampung untuk dikontrol suhu, pH, dan kandungan nira yang ada di dalamnya. Setelah memenuhi syarat sesuai standar pH, kandungan nira, dan suhu, air kondensat akan dimanfaatkan kembali sebagai pengisi boiler. Limbah cair yang dihasilkan berupa air jatuhan dari kondensor yang bersuhu 47oC dan memiliki pH 6-7. Air kondensor (Gambar 26a) ini dipompa masuk ke dalam instalasi water treatment dan dipompa dengan menggunakan 4 pompa ke cooling tower untuk didinginkan. Proses pendinginan dilakukan dengan mengalirkan air ke dalam 6 buah cooling fan yang berada pada cooling tower agar suhunya turun sampai 10 point menjadi 37oC dengan pH 6. Air yang telah dingin kemudian dipompakan kembali sebagai air injeksi pada kondensor untuk keperluan proses evaporasi dan proses pemasakan.





(a)




(b) (c)
Gambar 26. (a) Air kondensat, (b) air kondensor, dan (c) tangki penampungnya
Limbah cair di PG Jatitujuh juga dapat dihasilkan dari air limbah domestik rumah tangga yang ada di perusahan dan pabrik. Jumlah air limbah domestik ini sangat sedikit dibandingkan limbah cair lainnya.
Secara keseluruhan penyaluran air limbah pabrik di PG Jatitujuh ini telah tertata dan tersalurkan dengan baik melalui irigasi dan bak kontrol yang sudah ada. Layout saluran buangan air limbah pabrik dapat dilihat pada Lampiran 6.
2. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Penanganan dan pengolahan limbah cair pabrik di PG Jatitujuh difokuskan langsung di Unit Pengolahan Limbah Cair (UPLC) atau sekarang diganti dengan nama Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berdiri sejak tahun 2007 (ditunjukan pada Gambar 27). Semua limbah cair buangan pabrik dari seluruh stasiun yang ada di pabrikasi dan hasil sisa proses produksi disalurkan ke IPAL untuk dilakukan pengolahan lanjutan. Pengolahan limbah cair dilakukan melalui beberapa tahapan dan perlakuan agar menghasilkan air limbah yang aman untuk lingkungan sesuai baku mutu air limbah. Skema tata ruang dan alur penanganan air limbah di IPAL ini dapat dilihat pada Lampiran 7.







Gambar 27. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PG Jatitujuh
Tahapan proses penanganan dan pengolahan air limbah buangan pabrik di IPAL ini sebagai berikut :
a. Penanganan di Bak Penangkap Pasir dan Minyak (oli)
Air limbah dari seluruh saluran irigasi buangan pabrik ini langsung dibawa ke bak penangkap pasir untuk dilakukan penyaringan kandungan pasir dan mengendapkannya. Setelah dilakukan penyaringan pasir, air limbah diproses kembali di bak penangkap minyak biasanya berupa sisa oli pelumas buangan pabrik (Gambar 28). Di bak ini dilakukan penyaringan minyak dan oli dikumpulkan untuk ditampung di drum penampung minyak yang disimpan di bawah kanopi. Hal ini dilakukan agar minyak sisa buangan di dalam drum ini tidak terkena panas dan menghindari timbulnya gas metan dan H2S yang bisa mengakibatkan ledakan.



Gambar 28. (a) Bak penangkap minyak, (b) bak penangkap pasir,
(c) drum penampung minyak
b. Penanganan di Bak Equalisasi
Setelah proses penangkapan pasir dan minyak, air limbah dipompakan ke atas dan masuk ke pipa saluran inlet untuk diteruskan ke bak equalisasi (Gambar 29b) dengan kapasitas 400 m3. Sebelum air limbah masuk ke bak equalisasi, air limbah disalurkan ke penyaringan ampas dan kotoran (Gambar 29a) agar sisa kotoran atau ampas dalam air limbah dapat ditangkap lalu dibuang. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu proses pengolahan air limbah di bak pengolahan berikutnya. Air limbah yang telah tersaring diproses di bak equalisasi untuk ditampung, diberi aerasi dari rumah blower aerasi, dan diendapkan. Air limbah di bak equalisasi ini memiliki suhu rata-rata 35oC dengan pH sekitar 8-9, sedangkan suhu maksimum yang masuk ke IPAL ini maksimum 40 oC.






(a) (b)
Gambar 29. (a) Penyaringan dan (b) bak equalisasi
c. Pengolahan di Bak Koagulasi-Flokulasi (Fisiko-kimia)
Air limbah yang telah ditampung di bak equalisasi disalurkan ke bak koagulasi-flokulasi (Gambar 30b) untuk diproses. Air yang masuk ke bak ini diukur melalui inlet flow meter(Gambar 30a) dengan rata-rata air yang masuk sekitar 25-30 m3 per jam dan pH sekitar 8-8.5. Bak koagulasi-flokulasi memiliki kapasitas 36 m3 dan terbagi kedalam tiga bagian yang dipisahkan dengan sekat dan masing-masing bagian memiliki kapasitas 12 m3 serta perlakuan yang berbeda. Air limbah di bak ini diproses dengan beberapa perlakuan yaitu dengan pengadukan (diputar) dan penambahan tiga jenis bahan tambahan (Gambar 30c). Penambahan dengan menggunakan caustic soda di saluran awal bak koagulasi-flokulasi yang berfungsi sebagai pengatur kandungan pH air limbah. Penambahan lainnya juga dilakuakan dengan menggunakan koagulan yang berfungsi sebagai pembentuk flok kotoran air limbah. Penambahan juga dialakuakan dengan menambahkan polimer yang berfungsi untuk mengikat flok-flok yang sudah terbentuk. Lumpur-lumpur flok (Gambar 30d) ini akan disalurkan melalui pompa lumpur flogulasi untuk disalurkan ke sludge holding tank dan selanjutnya ditampung di sludge drying bed. Air limbah yang sudah dibersihkan dari flok-flok lumpur disalurkan ke primary clarifier.
















Gambar 30. (a) Inlet flow meter, (b) bak koagulasi-flokulasi, (c) bahan tambahan, dan (d) pembuangan Flok
d. Pengolahan Air Limbah di Primary Clarifier
Selanjutnya air limbah dari bak koagulasi-flokulasi diproses lagi masuk ke primary clarifier (Gambar 31a) yang memiliki kapasitas 55.3 m3 dengan suhu ideal sekitar 32oC dan nilai pH sekitar 7.5. Pengolahan air limbah dilakukan dengan mengaduk secara sentrifugal dan dilakukan penambahan flokulan sama seperti di clarifier WTP (polyalacon MF-1012) sebagai zat yang digunakan untuk menyetabilkan pH dan zat-zat berbahya yang terkandung di dalam air limbah. Sisa kotoran dan zat-zat buangan akan disalurkan ke sludge holding tank (Gambar 31b) dan selanjutnya ditampung pada sludge drying bed. Setelah diproses, air limbah akan disalurkan ke bak biological treatment.




Gambar 31. (a) Primary clarifier dan (b) sludge holding tank
e. Bak Biological Treatment
Proses pengolahan air limbah di bak biologi (Gambar 32) dengan kapasitas 1040 m3 ini dilakukan beberapa perlakuan dan beberapa penambahan bahan bantuan. Air limbah yang masuk ke bak biologi ini idealnnya memiliki suhu sekitar 32oC dan pH 7.48 dengan kandungan lumpur aktif endapan SV 30 sama dengan 120-150. Proses pengolahan air limbah di bak biologi ini berupa penambahan air dari WTP untuk membantu mikroba dalam bak biologi agar bisa fit. Selain itu, dilakukan pemeliharaan dan pemberian nutrisi dengan menggunakan 200 gram urea, 100 gram PSP (diamnfaatkan kandungan phospornya), dan 100 gram gula. Nutrisi-nutrisi ini diberikan setiap jam agar mikroba tetap hidup dan fit. Ketika air limbah yang masuk ke dalam bak biologi ini tidak sesuai standar pengolahan (pH, suhu, kandungan nira, dan bahan-bahan lain), akan mengakibatkan mikroba menjadi tidak sehat atau sakit. Mikroba yang sakit akan melindungi diri dan akan mengeluarkan lendir, menimbulkan banyak busa, dan muncul bau tidak enak berupa H2S. Perlakuan yang dilakukan IPAL PG Jatitujuh saat kondisi bak biologi seperti ini adalah dengan membuang air (menguras) setinggi satu meter dari ketinggian bak biologi dan diisi kembali dengan air dari WTP serta penambahan bibit mikroba. Hal ini dilakukan agar stabilitas air limbah outlet yang akan dibuang tetap terjaga, begitupun dengan stabilitas mikroba yang ada di bak biologi. Hasil pengolahan di bak biologi ini akan diproses di secondary clarifier.










(a) (b)
Gambar 32. (a) Bak biological treatment dan (b) sludge drying bed
f. Pengolahan Air Limbah di Secondary Clarifier
Pengolahan air limbah di secondary clarifier (Gambar 33a) ini merupakan treatment pengolahan yang terakhir sebelum air limbah dibuang ke lingkungan. Secondary clarifier memiliki kapasitas 23 m3 dan air yang masuk ke clarifier ini idealnya memiliki pH sekitar 7.4. Air limbah diendapkan lagi dan diproses melaluai sedimentasi sebelum air limbah dibuang, kemudian menghasilkan endapan lumpur yang disalurkan ke sludge holding tank dan selanjutnya ditampung pada sludge drying bed.
g. Pembuangan Air Limbah Hasil Olahan
Air limbah yang bersih akan disalurkan ke bak kontrol melalui pipa outlet (Gambar 33b) dan dilakukan pengukuran dengan menggunakan outlet flow meter. Hal tersebut untuk mengetahui debit air limbah olahan (fluen) yang dibuang ke lingkungan dan rata-rata debit air limbah ini sekitar 17-21 m3 per jam setara dengan sekitar 400 m3 per hari dan jumlah total debit per 16 hari rata-rata sekitar 7995.7 m3. Pembuangan dari pipa outlet disalurkan ke saluran air yang sudah ada untuk diteruskan ke arah kebun (Gambar 33c), selanjutnya akan ditampung di saluran pencampuran limbah serta rawa (kolam) Ranca Bugang untuk dimanfaatkan kembali sebagai perairan tanaman tebu. Idealnya hasil proses pengolahan air limbah ini berwarna jernih dengan pH sekitar 7-7.5 sesuai baku mutu air limbah buangan industri yaitu antara pH 6-9.








(a) (b) (c)
Gambar 33. (a) Secondary clarifier, (b) bak kontrol outlet, dan (c) pembuangan air limbah
Penanganan dan pengolahan air limbah ini tidak terlepas dari pemeriksaan dan pengujian kondisi air limbah setiap periode tertentu. Hal ini merupakan salah satu tindakan pengendalian terhadap dampak cemaran yang akan diakibatkan oleh air limbah tersebut. Pengujian dan pemeriksaan dilakukan dengan dua macam perlakuan, yaitu pengujian atau analisis yang dilakukan oleh IPAL PG Jatitujuh dan pengujian dilakukan oleh pihak luar yang terkait (terakreditasi). Hal ini tidak dilakukan sendiri karena keterbatasan alat uji dan mendukung keaslian data hasil analisis. Pengujian oleh pihak luar akan memperkuat keakuratan dan kepercayaan data yang diperoleh untuk dilaporkan ke KLH dan dinas terkait.
D. PENANGANAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH PADAT
Limbah padat merupakan limbah yang berupa padatan sisa dihasilkan dari suatu proses produksi termasuk produksi gula. Limbah padat pabrik pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat dimanfaatkan kembali secara langsung atau tidak langsung (by product) dan limbah padat yang tidak dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Hampir semua pabrik gula termasuk PG Jatitujuh tidak terlepas dari limbah padat yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu. Hal ini terjadi karena bahan baku menggunakan bahan pertanian yang kaya serat dan serabut berupa tanaman tebu.


Gambar 34. Diagram alir penanganan dan pemanfaatan limbah padat
Di PG Jatitujuh proses produksi gula menghasilkan beberapa limbah padat yaitu ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, sisa pucuk dan daun tebu, kerak nira atau gula, dan limbah domestik.
1. Ampas Tebu (Bagasse)
Ampas tebu atau disebut bagasse merupakan hasil sisa penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan. Bagasse berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur dan merupakan limbah padat yang paling besar dihasilkan dari proses pembuatan gula. Bagasse ini juga merupakan salah satu hasil samping (by product) dari penggilingan tebu yang berupa limbah termanfaatkan. Rendemen bagasse mencapai sekitar 30-40 % dari tebu yang masuk ke penggilingan. Bagasse yang dihasilkan langsung dikirim ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai umpan pembakaran, yaitu hampir mencapai 100% termanfaatkan dari total bagasse yang dihasilkan. Bagasse yang berlebih dan belum termanfaatkan sebagai umpan boiler disalurkan ke bagasse house seperti Gambar 35.












Gambar 35. Bagasse house
Pemanfaatan bagasse di PG Jatitujuh ini cukup beragam, namun sebagian besar bagasse digunakan sebagai bahan bakar utama boiler. Pemanfaatan lain bagasse yaitu sebagai bahan baku pada industri kertas, pembuatan papan partikel, kanvas rem, biobriket, dan media pertumbuhan jamur. Pemanfaatan bagasse di PG Jatitujuh di tahun 2010 sesuai data pada Tabel 7.
Tabel 7. Pemanfaatan bagasse periode 2010
Bulan Jumlah Ampas (Ku) Sebagai Bahan Bakar Boiler (Ku) Persediaan (Ku) Jumlah Ampas Keluar (Ku) Sisa Persediaan (Ku)
Desember 2009 - - 55838 0 55838
2010
Januari - - 55838 - 55838
Februari - - 55838 - 55838
Maret - - 55838 1040 54798
April - - 54798 ¬- 54798
Mei 167314 189154 -21480 - 32958
Juni 448523 377263 71260 - 71260
Total 1040 104218

2. Blotong
Blotong (Gambar 36a) merupakan hasil samping penyerapan nira dalam flok dan kotoran sisa endapan oleh rotary vacuum filter (sesuai Gambar 36b) dari proses pengendapan di door clarifier pada proses pemurnian. Sifat fisis blotong ini berupa padatan halus yang bercampur bagacillo dan menyerupai tanah, berwarna hitam, namun lebih ringan.









(a) (b)
Gambar 36. (a) Blotong dan (b) rotary vacuum filter (RVF)
Blotong yang dihasilkan PG Jatitujuh ini dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik dengan merek Lipo Granul (limbah produksi), sebagai campuran pupuk kompos, dan sebagai pupuk alami yang langsung dimanfaatkan untuk tanaman tebu dikebun dan disebar ke lahan secara menyeluruh. Data pemanfaatan blotong di PG Jatitujuh ditunjukan pada Tabel 8.

Tabel 8. Data pemanfaatan blotong di periode Mei-Juni 2010
Bulan Jumlah Blotong (Ku) Wilayah Pengiriman Blotong
Divisi Barat Divisi Timur Puslit Agro
Desember 2009 - - - -
2010
Mei 14173.6 3351 10822.6 0
Juni 50161 1991 22335.5 25834.5
Jumlah 64334.6 5342 33158.1 25834.5

3. Abu Ketel
Abu ketel (Gambar 37) merupakan sisa bagasse umpan boiler yang tidak terbakar sempurna ataupun yang terbakar sempurna. Ada dua macam abu ketel yang dihasilkan pada pembakaran boiler yaitu abu halus yang mengendap turun ke bawah cerobong boiler karena terbawa air hasil semprotan wet dust collector dan abu kasar yang tersisa di bawah boiler hasil pembakaran bagasse.






(a) (b)
Gambar 37. (a) Abu ketel dan (b) pemanfaatnnya
Abu halus dari cerobong yang tebawa air ini dibawa keluar menuju tempat penampungan dan dipisahkan antara air yang berwarna hitam dan abu. Air hitam bekas abu disalurkan ke bak kontrol dan saluran irigasi untuk diteruskan ke IPAL, sedangkan gumpalan abu dimanfaatkan untuk campuran pembuatan pupuk yang berfungsi sebagai pelepas unsur fospor ke tanah. Berbeda dengan abu halus, abu kasar disebar langsung ke lahan perkebunan atau dibuang ke jalan-jalan kebun bahkan dimanfaatkan untuk urugan tanah kritis bekas kolam air yang ada di kebun. Data pemanfaatan abu ketel di PG Jatitujuh periode Mei-Juni 2010 ditunjukan pada Tabel 9.
Tabel 9. Data pemanfaatan abu ketel
Bulan Jumlah Abu Ketel (Ku) Wilayah Pengiriman Abu Ketel
Urugan Tanah Kritis
Desember 2009 - -
2010
Mei 550.7 550.7
Juni 2239.4 2239.4
Jumlah 2790.1 2790.1





4. Sisa Pucuk dan Daun Tebu
Sisa pucuk dan daun tebu (Gambar 38a) yang ada di cane yard banyak tertinggal dan menghambat mobilitas grabbe louder atau pengangkut tebu lainnya. Selain itu sisa pucuk dan daun ini merupakan limbah yang cukup mengganggu proses penggilingan ketika terbawa masuk ke mesin penggilingan, kemudian hasilnya akan berpengaruh pada rendemen gula di akhir produksi. Pemanfaatan pucuk dan daun ini sebelum tahun 2008 dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Selain itu, untuk pucuk dan daun yang kering langsung dibuang atau dibakar.
5. Kerak Nira atau Gula
Kerak nira (Gambar 38b) atau gula merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pencucian badan penguap (evaporator) dan heater, timbangan tetes, badan boiler, pipa putaran, palung pendingin, dan tempat penampungan lainnya seperti door clarifier dan JSP. Kerak-kerak ini berasal dari pembersihan ketika selesai masa giling (maintenance). Hasil pembersihan ini dikumpulkan dan ditampung untuk dibuang dan jumlah kerak ini jumlahnya tidak terlalu banyak.
6. Limbah Domestik Padat
Limbah padat domestik (Gambar 38c) merupakan limbah yang berasal dari kegiatan rumah tangga perusahaan dan produksi di pabrik. Limbah domestik ini berupa kertas, plastik, karung, bahan organik, logam, dan lain-lain. Penanganan limbah padat domestik di PG Jatitujuh ini dilakukan dengan sederhana yaitu dilakukan pengumpulan dan ditampung untuk dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan akhir. Logam dan sejenisnya ditangani dengan cara pengumpulan dan penampungan di gudang atau bengkel.




(a) (b) (c)
Gambar 38. Pucuk atau daun tebu, kerak nira, dan limbah domestik padat

E. PENANGANAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)
Limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3) merupakan limbah yang berbahaya bagi lingkungan dan memiliki kandungan racun. Limbah B3 ini merupakan hasil sisa penggunaan bahan-bahan yang ada pada mesin-mesin pabrikasi dan alat berat yang digunakan di PG jatitujuh.
1. Sumber dan Macam Limbah B3
Limbah B3 ini berupa aki bekas, oli bekas, filter oil buangan, dan sisa bahan-bahan kimia berbahaya. Sumber utama aki bekas berasal dari penggunaan mesin-mesin mekanisasi, kendaran angkut dan transport, dan instalasi listrik. Oli bekas dan filter oil buangan banyak dihasilkan oleh alat-alat berat, traktor, genset, dan sisa mesin milling di stasiun penggilingan, sedangkan sisa bahan-bahan kimia berasal laboratorium kimia, quality control, dan bahan-bahan kimia tambahan produksi (jumlahnya relatif sangat sedikit). Pencemaran limbah ini ketika terjadi kebocoran aki atau terjadi ceceran oli bekas.
2. Penanganan dan TPS Limbah B3
Penanganan terhadap limbah B3 dilakukan dengan beberapa perlakuan tergantung jenis limbah B3. Penanganan oli bekas dan filter oil buangan yang berceceran atau terpisah dengan cara mengumpulkannya melalui irigasi dan penangkapan oli. Kemudian ditampung pada drum penampung oli bekas dan disimpan pada penyimpanan sementara (TPS) atau di PG Jatitujuh disebut gudang acu dan oli bekas seperti pada Gambar 39. Begitupun dengan aki bekas ditangani langsung dengan mengumpulkan dan menyimpannya dengan surat izin langsung dari KLH. Surat izin juga disahkan untuk pemanfaatan atau pemakaian kembali oli bekas atau aki yang ada di gudang (TPS). PG Jatitujuh sudah memiliki Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 839 Tahun 2008 tentang Izin Pemanfaatan serta Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 390 Tahun 2009 tentang Izin Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun kepada PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh. Pemanfaatan Limbah B3 ini dalam bentuk penjualan kepada pihak luar yang terkait dalam bentuk Hazardous Waste Manifest. Kegiatan pemanfaatan dan penyimpanan Limbah B3 ini tercatat rapih dalam pembukuan di lembar kegiatan pemanfaatan limbah B3 dan lembar kegiatan penyimpanan limbah B3. Selain itu, dilakukan juga pencatatan terhadap neraca limbah B3 dan log book limbah B3.









Gambar 39. Limbah B3 dan tempat penyimpanan sementara (TPS)
Penyimpanan limbah B3 di PG Jatitujuh dilakukan di gudang penyimpanan (TPS) dengan tata ruang yang sudah disesuaikan dengan ketetapan dan peraturan dari KLH. Kelengkapan TPS ini mencakup penyimanan oli bekas, aki bekas, dan filter oli bekas dilakukan penyimpanan di atas palet, drum air bersih, kotak P3K, SOP tanggap darurat, alat pemadam kebakaran ringan (APAR), log book, bak penampung ceceran oli, dan sekat pemisah antara limbah B3 padat dan cair. Layout situasi dan kondisi gudang penyimpanan limbah B3 (TPS) di PG Jatitujuh ditunjukan pada Lampiran 8.
F. PENANGANAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH UDARA
Limbah udara merupakan limbah berupa gas yang dihasilkan oleh suatu industri dalam memproduksi tenaga seperti tenaga uap untuk energi dalam menjalankan mesin produksi. Di PG Jatitujuh produksi gula dibantu oleh tenaga boiler yang menggunakan bahan bakar bagasse dan menghasilkan asap berupa emisi udara (Gambar 40). Selain boiler digunakan juga genset sebagai pembangkit tenaga, namun penggunaannya sangat jarang sehingga emisi udara yang dihasilkan dari genset relatif sangat sedikit. Sebagai upaya penekanan emisi karbon, PG jatitujuh menggunakan hampir 100% bahan bakar boiler dari bagasse. Juga dilakukan beberapa perlakuan berupa penyaluran bagasse secara teratur dan tidak terlalu penuh, pemberian rongga agar okseigen yang masuk cukup, pengambilan dan pembersihan abu ketel secara teratur, serta pengopersian penangkap debu abu ketel dilakukan dengan baik.






Gambar 40. Sumber emisi udara (cerobong boiler)
Pada dasarnya emisi yang dihasilkan oleh PG Jatitujuh ini tidak terlalu berbahya karena menggunakan bahan bakar organik. Limbah gas secara penyebaran dan pencemarannya yang dihasilkan oleh PG Jatitujuh terdiri atas udara emisi cerobong boiler, udara ambien, dan udara lingkungan kerja (dalam pabrik). Penanganan limbah gas ini dengan melakukan pengontrolan dan pengujian kualitas emisi udara setiap periode tertentu.
1. Pengujian Kualitas Udara Emisi Cerobong
Pemantauan dan pengujian emisi udara cerobong (Gambar 41a) ini merupakan salah satu upaya mengendalikan emisi yang dikeluarkan oleh cerobong boiler. Pengujiaan dilakukan pada masing-masing boiler, yaitu cerobong boiler I, II dan III. Pengujian dilakukan dengan menganalisis parameter yang ada dalam emisi udara yang terdiri atas partikulat (debu), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), hidrogen klorida (HCl), gas klorin (Cl2), ammonia (NH3), hidrogen florida (HF), dan opasitas. Baku mutu yang digunakan adalah baku mutu udara emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap dengan bahan bakar minyak berdasarkan Peraturan Mentri Negara Lingkungan Hidup, No.07 tahun 2007. Data hasil analisis kualitas udara emisi cerobong boiler ditunjukan oleh Tabel 10.

Tabel 10. Data hasil analisis kualitas udara emisi cerobong
No. Parameter Satuan Hasil Analisis Udara Emisi Baku Mutu Metode
Boiler I Boiler II Boiler III
1. Debu mg/m3 18.00 24.62 23.12 300 Gravimetric
2. SO2 mg/m3 19.95 21.39 26.10 600 Turbidimetri
3. NO2 mg/m3 34.45 58.29 42.00 800 Kolorimetri
4. HCl mg/m3 0.081 0.096 0.091 5 Mercury Tiosianat
5. Cl2 mg/m3 0.056 0.081 0.067 5 Tritimetri
6. NH3 mg/m3 0.041 0.062 0.051 1 Indophenol
7. HF mg/m3 0.032 0.038 0.043 8 Kolorimetri
8. Opasitas % 20 15 20 30 Visual
Keterangan : Hasil analisis dari Laboratorium pengujian Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bandung, Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi (No.72/LP/BHKKB/VII/2009)
Hasil analisis kualitas udara emisi cerobong ini secara umum menunjukan bahwa udara emisi cerobong boiler I, II, dan III masih dibawah baku mutu udara emisi.
2. Pengujian Kualitas Udara Ambien
Udara ambien (Gambar 41b) merupakan udara bebas di permukaan bumi lapisan troposfir yang berada di sekitar lingkungan pabrik termasuk lingkungan PG Jatitujuh. Kualitas udara ambien merupakan tahap awal memahami dan menentukan dampak negatif cemaran udara terhadap lingkungan. Pengujian udara ambien di PG Jatitujuh dilakukan untuk mendapatkan analisis kualitas udara ambien di sekitar pabrik. Lokasi pengambilan sampel udara dilakukan di bagian sebelah utara pabrik (down wind) dan sebelah selatan pabrik (up wind). Parameter yang dianalisis terdiri atas nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), ammonia (NH3), hidrogen sulfida (H2S), dan debu (TSP). Selain itu parameter juga menggunakan kondisi cuaca saat pengujian yang mencakup suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, arah angin, dan cuaca. Baku mutu udara ambien berdasarkan Peraturan Pemerintah No.41 tahun 1999. Baku mutu untuk ammonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) ambien berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 660.31/SK/694-BKPMD/82. Data hasil analisis kualitas udara ambien di PG Jatitujuh di periode Juli 2009 ditunjukan pada Tabel 11.
Tabel 11. Data analisis kualitas udara ambien
Parameter Satuan Hasil Analisis Baku Mutu Metode
Down Wind Up Wind
1. Nitrogen Dioksida (NO2) µg/Nm3 29.87 38.73 150 IKM-1 / Griess Saltzman
2. Sulfur Dioksida (SO2) µg/Nm3 35.92 63.33 365 IKM-2 / Pararosanilin
3. Karbon Monolsida (CO) µg/Nm3 700.25 682.79 10000 Iodin Pentoksida
4. Ammonia (NH3) Ppm 0.240 0.260 2 IKM-3 / Indophenol
5. Hidrogen Sulfida (H2S) µg/Nm3 5.39 4.79 24 IKM-4 / Methylen Blue
6. Debu (TSP) µg/Nm3 151.79 149.55 230 IKM-6 / Gravimetric
Kondisi Cuaca :
-Suhu Udara oC 30.4-33.5 30.5-33.1 Direct Reading
-Kelembaban % 48-56 50-58 Direct Reading
-Kecepatan Angin m/dt 0.2-2.1 0.4-2.1 Direct Reading
-Arah Angin - Ke Timur Laut & Utara Ke Timur Laut & Utara -
-Cuaca - Cerah Cerah -
Keterangan : Hasil analisis dari Laboratorium pengujian Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bandung, Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi (No.72/LP/BHKKB/VII/2009)
Hasil pengujian kualitas udara ambien tersebut menunjukan bahwa secara umum udara ambien yang diambil dari sebelah utara dan selatan pabrik masih dibawah baku mutu udara ambien. Hal ini artinya bahwa udara di lingkungan sekitar pabrik tidak terlalu berpengaruh dengan adanya cemaran udara emisi cerobong boiler.
3. Pengujian Kualitas Udara Lingkungan Kerja
Udara lingkungan kerja (Gambar 41c) merupakan udara yang ada di dalam pabrik dan sekitar lingkungan mesin-mesin yang ada di stasiun pabrik. Pengambilan sampel udara lingkungan diambil dari raung produksi (area evaporasi) dengan parameter yang digunakan sama seperti udara ambien, kecuali kondisi cuaca yang diukur hanya suhu udara dan kelembaban. Pada analisis udara lingkungan kerja ini menggunakan standar maksimum berupa Nilai Ambang Batas (NAB) Udara di Tempat Kerja berdasarkan Surat Edaran Mentri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997. Data hasil analisis kualitas udara lingkungan kerja pada periode Juli 2009 ditunjukan pada Tabel 12.
Tabel 12. Data analisis kualitas udara lingkungan kerja
Parameter Satuan Hasil Analisis NAB Metode
Nitrogen Dioksida (NO2) µg/Nm3 33.48 5600 IKM-1 / Griess Saltzman
Sulfur Dioksida (SO2) µg/Nm3 59.92 5200 IKM-2 / Pararosanilin
Karbon Monolsida (CO) µg/Nm3 862.24 29000 Iodin Pentoksida
Ammonia (NH3) µg/Nm3 35.58 17000 IKM-3 / Indophenol
Hidrogen Sulfida (H2S) µg/Nm3 8.53 14000 IKM-4 / Methylen Blue
Debu (TSP) µg/Nm3 320.95 10000 IKM-6 / Gravimetric
Kondisi Cuaca :
-Suhu Udara oC 33.5 Direct Reading
-Kelembaban % 50 Direct Reading
Keterangan : Hasil analisis dari Laboratorium pengujian Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bandung, Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi (No.72/LP/BHKKB/VII/2009)
Data analisis kualitas udara lingkungan kerja tersebut menunjukan bahwa semua parameter yang digunakan menghasilkan nilai dibawah Nilai Ambang Batas (NAB), sehingga menunjukan bahwa pencemaran emisi udara terhadap udara lingkungan kerja relatif rendah dan tidak berbahaya.






(a) (b) (c)
Gambar 41. (a) Pengujian udara emisi, (b) udara ambien, dan (c) udara lingkungan kerja

G. KEBISINGAN
Kebisingan merupakan salah satu bentuk kondisi timbulnya suara bising yang mengganggu pendengaran dan menghambat komunikasi antara pekerja yang berasal dari mesin boiler, mesin yang ada di power house, atau mesin-mesin lain yang ada di pabrik. Penanganan kebisingan dilakukan dengan memfasilitasi pekerja di pabrik dengan menggunakan penutup telinga sebagai bentuk upaya menjaga keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu, upaya mengatasi kebisingan diluar lingkungan pabrik dengan cara menanam pohon pelindung yang berfungsi sebagai peredam kebisingan. Pengendalian dan pengontrolan kebisingan dilakukan dengan pengujian kebisingan yang dilakukan di berbagai lokasi di dalam pabrik dan diluar pabrik. Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan untuk di tempat kerja berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. : Kep-51/MEN/1999, sedangkan Nilai Ambang Batas untuk kebisingan diluar (ambien) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. : 660.31/SK-BKPMD/1982. Data hasil pengujian kebisingan yang dilakukan di PG Jatitujuh pada periode Juli 2009 sesuai Tabel 13.
Tabel 13. Data hasil pengujian kebisingan**
No. Lokasi Satuan Hasil Pengukuran
NAB
Di dalam R. Produksi :
1 Stasiun Gilingan dBA 92.4 85
2 Turbin Gilingan dBA 97.4 85
3 Pemurnian dBA 93.7 85
4 Stasiun Penguapan dan Pemasakan dBA 91.6 85
5 Area Evaporator dBA 92.1 85
6 Area Masakan Gula dBA 91.6 85
7 Power House/ Sentral Listrik dBA 100.2 85
8 Bagging dBA 88.9 85
9 Pengepakan Gula dBA 82.6 85
10 Gudang Gula dBA 64.1 85
11 Stasiun Pengolahan Air dBA 92.8 85
12 Boiler 1 dBA 98.8 85
13 Boiler 2 dBA 94.1 85
14 Boiler 3 dBA 93.2 85
Di Luar Pabrik :
15 Sebelah Barat Daya dBA 59.2 85
16 Sebelah Timur Laut dBA 59.6 85
Keterangan :* Metode Direct Readingdan Peralatan Sound Level Meter
**Hasil analisis dari Laboratorium pengujian Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bandung, Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi (No.72/LP/BHKKB/VII/2009)

H. PENERAPAN PRODUKSI BERSIH (Cleaning Production)
Produksi bersih (Cleaner Production) merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat pencegahan dan terpadu. Di PG Jatitujuh sudah dilakukan beberapa upaya dalam mencapai produksi bersih, walaupun masih terpisah dan belum terbentuk secara sistematis. Beberapa upaya yang dilakukan PG Jatitujuh dalam mengoptimalkan kemampuan pabrik, meminimalisir timbulnya limbah, dan menekan terjadinya loss dilakukan dengan menerapkan kebijakan penggunaan bahan baku, bahan penolong, dan bahan kemasan, inhouse keeping (goodhouse keeping), internal measure, dan kebijakan penggunaan bahan bakar.
1. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penolong, dan Bahan Kemasan
Di PG Jatitujuh penggunaan bahan baku berupa tebu yang sudah siap giling dilakukan pemantauan dan pengontrolan, agar tebu yang digunakan berkualitas dan menghasilkan rendemen yang baik. Penggunaan bahan penolong atau bahan penunjang produksi juga dilakukan pengontrolan terhadap kualitas dan kandungan bahan kimianya. Hal ini dilakukan oleh bagian laboratorium Quality Control (QC) yang ada di pabrikasi PG Jatitujuh. Pengendalian kualitas bahan penunjang ini dilakukan setiap periode tertentu sebelum bahan penunjang digunakan. Selain itu, pengontrolan dan pemantauan dilakukan pada bahan pengemas yang berupa pemeriksaan terhadap bahan kemasan gula yang akan digunakan. Kemasan gula ini menggunakan karung plastik yang dilapisi inner bag yaitu berupa plastik tipis yang transparan. Lapisan plastik ini berfungsi agar uap air tidak masuk ke dalam karung dan menjaga gula agar tetap kering dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, gula dikemas dalam kemasan plastik 1 kg ini diberi merek Ragula (Rajawali Gula) dengan kemasan yang didisain menarik.
2. Inhouse Keeping (goodhouse keeping)
Inhouse keeping merupakan salah satu upaya yang dilakukan PG jatitujuh dalam mengendalikan terjadinya kebocoran, tumpahan, dan perwatan alat atau mesin produksi yang dapat menjadi penghambat dalam proses produksi. Selain itu, inhouse keeping difokuskan pada upaya pemisahan limbah polutan dan non polutan serta dilakukan juga penyempurnaan kinerja IPAL di PG Jatitujuh. Langkah yang dilakukan PG Jatitujuh berupa perbaikan beberapa bagian di pabrikasi dan di IPAL yang ditunjukan pada Tabel 14.
Tabel 14. Inhouse keeping PG Jatitujuh pada periode 2008-2009
No. Uraian Tahun 2008 Tahun 2009
Upaya Pemisahan Limbah Polutan dan Non Polutan
1. Air Inhibisi Gilingan Menampung air ex pendingin turbin-turbin Gilingan, haglund, metal dan reducer untuk dimanfaatkan sebagai air imbibisi gilingan dan air lebihannya dibuang menjadi satu ke arah IPAL Membuat saluran baru overflow dari tangki air penampung Inhibisi kemudian dipompa untuk dikembalikan / di recycle ke kolam water basin
2. Air Pendingin ex Pompa Vacuum Evaporator & Masakan Air ex pendingin pompa vacuum sebagian dialirkan ke saluran air jatuhan kondensor dan sebagian masih ke jalur IPAL • Menampung air pendingin ex pompa vacuum
• Memasang pompa untuk mengembalikan ex air pendingin ke kolam water basin untuk di recycle
3. Air Pendingin Moyang D
Ex air pendingin masih dialirkan ke arah IPAL Air pendingin dari moyang D disalurkan ke saluran air jatuhan kondensor masakan
4. Saluran Air Panas dari Kondenspot Pipa-Pipa Uap Saluran masih bergabung ke arah IPAL Merubah jalur ke arah saluran air permukaan di stasiun pemurnian
5. Air Pendingin Pompa Vacuum RVF dan Air Pendingin ex RSB (belerang) Sebagian sudah dikembalikan ke water basin, sebagian masih ke IPAL Penggantian pipa saluran dengan yang lebih besar sehingga semua air dikembalikan ke water basin

No. Uraian Tahun 2008 Tahun 2009
Penyempurnaan Kinerja IPAL
1. Outlet Flow Meter • Belum mewakili pencatatan debit air outlet IPAL
• Flowmeter terpasang pada salah satu saluran dari 2 buah pipa outlet yang ada
• Memasang pompa dan memindahkan flowmeter di outlet bak kontrol sehingga debit air limbah hasil olahan dapat tercatat semua
• Sebagai tambahan telah dibuatkan pencatatan debit air outlet IPAL secara manual
2. Air Lebihan Kondensor Masakan Debit air lebihan kondensor masakan belum tercatat Telah dibuatkan alat pengukur / pencatat debit secara manual
3. Buangan Lebihan Air Panas • Dibuang ke saluran kedap air sebagai pendingin
• Debit lebihan air panas belum tercatat Telah dibuatkan alat pengukur debit secara manual
4. Bak Penangkap Minyak Dari Saluran Outlet Power House / Ruang Diesel Belum ada
Telah dibuatkan bak penangkap minyak


Kegiatan inhouse keeping (Gambar 42) ini dilakukan setiap awal periode giling di PG Jatitujuh yang ditangani oleh bagian pabrikasi dan IPAL. Berbagai perbaikan dilakukan untuk memastikan bahwa saat masa giling tidak terjadi masalah dan kegiatan produksi akan lebih efektif dan efisien. Selain itu, limbah yang dihasilkan dari proses produksi bisa diminimalisir dan terjadinya loss bisa dihindari.









Gambar 42. Inhouse keeping
3. Internal Measure
Internal measure merupakan upaya yang dilakukan PG Jatitujuh agar proses produksi sedikit menghasilkan limbah dan bahan-bahan lain terbuang ke lingkungan sekitar. Internal measure ini bertujuan melakukan penghematan dalam proses produksi, yaitu dilakukan dengan memanfaatkan kembali utilitas material produksi yang sudah digunakan sebelumnya. Sehingga efisiensi produksi dan modal produksi dapat ditekan agar menghasilkan rendemen yang optimal. Beberpa upaya internal measure yang dilakukan oleh PG Jatitujuh adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan kembali air kondensat sebagai air pengisi boiler
2. Penggunaan blotong dan abu ketel sebagai bahan pembuaan atau bahan campuran pupuk dan pupuk alami untuk di kebun.
3. Penggunaan kembali bagasse (ampas tebu) sebagai bahan pengumpan dan bahan bakar boiler.
4. Penggunaan uap bekas dari evaporator dan heater untuk proses pemanasan nira
5. Pemanfaatan nira resapan dari blotong yang diproses di rotary vacuum filter (RVF) untuk diproses ulang bersama nira mentah dipemurnian.
6. Pemanfaatan dan penggunaan kembali tetes (molasses) hasil dari proses putaran untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan spirtus dan alkohol di PSA Palimanan.
7. Pemanfaatan kembali gula krikil dan gula halus hasil sisa pengeringan di sugar dryer untuk dicampur dengan nira leburan dan klare di stasiun pemasakan.
8. Pemanfaatan kembali limbah B3 yang masih layak digunakan seperti aki bekas, oli bekas, dan filter oli buangan.
4. Penggunaan Bahan Bakar
Penggunaan bahan bakar sebagai umpan boiler di PG Jatitujuh ini dilakukan dengan penggunaan bahan bakar organik agar emisi udara yang dihasilkan dapat diminimalisir. Pemanas yang digunakan adalah berasal dari pembakaran ampas tebu (bagasse) dan minyak residu (IDO/International Diesel Oil). Bahan bakar boiler berupa ampas tebu (bagasse) yang langsung dipasok dari stasiun penggilingan dan stok di bagasse house. Penggunaan bahan bakar ampas tebu ini mencapai 100 % setelah proses produksi berjalan, sedangkan penggunaan minyak residu hanya sedikit sekali dan tidak digunakan ketika proses pembakaran berjalan dengan baik. Penggunaan kadang-kadang saat terjadi kerusakan (trouble) pada salah satu alat yang tidak berfungsi dan penggunaan minyak residu juga dilakukan hanya di awal masa giling untuk memancing pembakaran.
I. PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan)
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) merupakan salah satu bentuk corporate social responsibility (CSR) atau community development (CD) yang dilakukan oleh PG Jatitujuh. Sebagai wujud dan langkah PG Jatitujuh untuk menjaga hubungan baik dengan lingkungan masyarakat disekitar perusahaan. Bentuk kegiatan ini terkemas dalam suatu program yang dinamakan PKBL. Program ini merupakan program pemerintah melalui BUMN termasuk PG Jatitujuh dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sosial untuk ikut serta bertanggung jawab dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya di bidang perekonomian, dengan meningkatkan lapangan pekerjaan, kesempatan usaha dan menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan pendanaan usaha mikro, kecil dan koperasi yang sumber dananya berasal dari penyisihan laba BUMN setelah pajak sebesar 1-3% setiap tahun. Kegiatan PKBL PG Jatitujuh yang dilaksanakan yaitu : pemberian pinjaman lunak kepada masyarakat sekitar pabrik, perbaikan (pengaspalan) jalan desa sekitar, perbaikan jembatan desa (pengaspalan dan pengecoran), pemberian buku wajib untuk sekolah dasar (SD), perbaikan bangunan sekolah, pemberian bantuan perlengkapan sekolah, dan pemberian beasiswa pendidikan.





V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENANGANAN LIMBAH CAIR
Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses produksi dalam bentuk zat cairan. Limbah cair di PG Jatitujuh dihasilkan secara langsung dengan kegiatan produksi atau tidak langsung berhubungan langsung seperti limbah domestik. Limbah cair ini merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik gula khususnya PG Jatitujuh.
Sumber utama air limbah adalah air pendingin pada kondensor barometik, air proses dari pencucian pada penghilangan warna, pencucian endapan saringan tekan, dan air cuci lantai atau alat, mempunyai laju alir lebih rendah tetapi mempunyai nilai BOD yang tinggi (sampai 5000 mg/L) dan padatan tersuspensi yang kadar organiknya relatif rendah. Air limbah yang terkumpul mempunyai BOD yang berkisar dari 300 sampai 2000 mg/L dan TSS dari 200 sampai 800 mg/L, tergantung pada faktor proses produksi yang terjadi di dalam pabrik khususnya pada proses pemurnian gula. Limbah cair pabrik gula pada umumnya tidak mengandung limbah berbahaya atau beracun. Operasi pemurnian yang hanya menghasilkan gula cair membangkitkan laju alir separuhnya, akan tetapi kadar BOD dua kali pabrik gula kristal. Di Indonesia produksi gula bersifat musiman, yaitu 5 sampai 6 bulan dalam setahun. Adapun parameter utama untuk pabrik penggilingan tebu dan pemurnian gula, adalah BOD dan COD. Parameter sekunder adalah TSS, dan pH, temperatur, nitrogen, minyak dan lemak, sulfida dan padatan keseluruhan (Isyuniarto, 2007).
1. Pengolahan Air Limbah di IPAL
Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel tercampur, serta membunuh organisme patogen. Selain itu, diperlukan juga tambahan pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat terdegradasi agar konsentrasi yang ada menjadi rendah (Sugiharto, 1987).
Pengolahan air limbah di IPAL secara umum memiliki beberapa tahapan proses sesuai dengan pengendalian dan pencemaran industri pada umumnya, yaitu terdiri atas Pre/Primary Treatment, Secondary Treatment, Tertiary/Advanced Treatment, Sludge Treatment and Disposal, dan In-Plant Treatment. Masing-masing tahapan proses pengolahan air limbah ini memiliki tujuan secara khusus dan antara satu dengan yang lainnya berkaitan. Tujuan dari treatment-treatment tersebut adalah :
• Primeri : Menyiapkan karakteristik limbah agar sesuai untuk penanganan sekunder
• Sekunder : Degradasi atau detoksifikasi limbah secara biologis
• Tersier : Penurunan lebih lanjut polutan yang belum terdegradasi pada tahap sekunder
• Sludge : Stabilisasi sludge untuk disposal yang aman.
Menurut Sugiharto (1987), secara garis besar pengolahan air limbah dapat dikelompokan menjadi 6 (enam) bagian, yaitu : pengolahan pendahuluan (Pre Treatment), pengolahan pertama (Primary Treatment), pengolahan kedua (Secondary Treatment), pengolahan ketiga (Tertiary Treatment), pembunuhan kuman (Desinfection), dan pembuangan lanjutan (Ultimate Disposal).
Beberapa kegiatan yang biasanya digunakan dalam pengolahan air limbah dan tujuan yang dilaksanakan sesuai penjelasan yang tercantum dalam Tabel 15.




Tabel 15. Jenis kegiatan dan tujuan pengolahan air limbah
No. Jenis Kegiatan Tujuan Pengolahan
1. Penyaringan Untuk menghilangkan zat padat
2. Perajangan Memotong benda yang berada di dalam air limbah
3. Bak penangkap pasir Menghilangkan pasir dan koral
4. Bak penagkap lemak Memisahkan benda terapung
5. Tangki ekualisasi Melunakan air limbah
6. Netralisasi Menetralkan asam atau basa
7. Pengendapan atau pengapungan Menghilangkan benda tercampur
8. Reaktor lumpur aktif/aerasi Menghilangkan bahan organik
9. Karbon aktif Menghilangkan bau, benda yang tidak dapat diuraikan
10. Pengendapan kimiawi Untuk mengendapkan fosfat
11. Nitrifikasi/denitrifikasi Menghilangkan nitrat secara biologis
12. Air stripping Menghilangkan amoniak
13. Pertukaran ion Menghilangkan jenis zat tertentu
14. Saringan pasir Menghilangkan partikel padat yang lebih kecil
15. Osmosis/elektrodialisis Menghilangkan zat terlarut
16. Desinfeksi Membunuh mikroorganisme
Sumber : Sugiharto (1987)
2. Pengujian dan Analisis Air Limbah
Parameter utama limbah yang dihasilkan produksi gula di PG Jatitujuh yaitu berupa BOD dan COD. Biochemical Oksygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biokimia merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air untuk memecah atau mendegradasi ataupun mengoksidasi bahan organik yang ada di dalam limbah.
Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen di dalam air, dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerob. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbon dioksida, air dan reaksi oksidasi dapat dituliskan sebagai berikut:
CnHaObNc + ( n + a/4 – b/2 – 3c/4 ) O2 nCO2 + ( a/2 – 3c/2 ) + H2O + cNH3
Atas dasar reaksi tersebut, yang memerlukan kira-kira 2 hari dimana 50% reaksi telah tercapai, 5 hari supaya 75 % dan 20 hari supaya 100% tercapai maka pemeriksaan BOD dapat dipergunakan untuk memperkirakan beban pencemaran zat organis. Parameter utama lainnya adalah Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam 1 liter sampel air. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat – zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mokrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Pengoksidasian K2Cr2O7 (Kalium bichromat) digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidizing agent). Oksidasi terhadap bahan buangan organik akan mengikuti reaksi berikut:
CaHbOc + Cr2O7 2- + H+ CO2 + H2O + Cr 3+
Katalis
Reaksi tersebut memerlukan pemanasan dan penambahan katalisator perak sulfat (Ag2SO3) untuk mempercepat reaksi.
Pengujian dan analisis air limbah yang dilakukan oleh internal IPAL sebagai upaya pengontrolan mencakup beberapa pemeriksaan sebagai berikut :

a. Pengukuran pH dan Suhu Air Limbah
Pengukuran pH dan suhu dilakukan dengan menggunakan air limbah contoh (sampel) yang sama, yaitu berasal dari bak equalisasi, bak koagulasi-flokulasi (bagkian I dan IV), bak biological treatment, bak kontrol outlet, dan inlet air limbah. Pengambilan dan pengukuran sampel air limbah ini dilakukan setiap jam setiap hari (24 jam penuh) dengan menggunakan pH-meter untuk pengukuran pH dan termometer untuk pengukuran suhu. Pengukuran juga dilakukan pada air kondensat, air kondensor, air abu ketel, dan air limbah campuran. Hasil pengukuran di bulan Mei 2010 tertanggal 16-31 Mei menunjukan bahwa nilai pH rata-rata di Outlet IPAL mencapai 7.09.
b. Pengukuran Debit Air Limbah
Pengukuran debit ini dilakukan guna mengukur jumlah air limbah yang masuk ke IPAL (inlet) ataupun yang keluar IPAL (outlet). Debit air limbah merupakan laju aliran air limbah dalam bentuk volume air yang melewati suatu penampang melintang dengan satuan m3 per jam atau per hari. Rata-rata debit air yang keluar dari outlet IPAL sekitar 17-21 m3 per jam atau setara dengan 450-600 m3 per hari, sedangkan rata-rata debit air yang masuk dari inlet IPAL sekitar 25-35 m3 per jam. Hasil pemantauan debit limbah cair yang lebih jelas di PG Jatitujuh ini dapat dilihat pada Lampiran 8.
c. Analisi DO (Disolved Oxygen)
Disolved oxygen (DO) merupakan kadar oksigen yang terkandung dalam air limbah yang masuk ke IPAL. Pengujian DO ini merupakan indikator untuk membantu pengujian kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB). Pengujian DO ini akan lebih akurat dan mudah menggunakan DO-meter, namun karena alat pengukur tersebut jarang dan mahal sehingga di IPAL PG Jatitujuh ini masih menggunakan DO test. Di IPAL PG Jatitujuh ini memiliki standar nilai DO yang berkisar antara 1-2 mg per liter atau ppm dan nilai DO ini merupakan nilai yang berbanding terbalik dengan nilai BOD air limbah.
Pengujian dilakukan oleh pihak luar yang terkait dan terakreditasi ini bekerjasama dengan Balai Lingkungan Keairan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (P3SDA) Bandung. Pemeriksaan dan pengujian mutu limbah cair ini dilakukan setiap 20 hari sekali oleh P3SDA. Pemeriksaan dilakukan pada enam titik sampel, yaitu air limbah IPAL (inlet dan outlet), saluran pembuang kondensor, saluran pembuang kondensat, saluran rembesan abu, saluran limbah campuran, dan kolam (rawa) Ranca Bugang. Metode pengambilan contoh yang digunakan oleh P3SDA sesuai SNI 6989-57-2008. Hasil analisa pemeriksaan mutu limbah cair IPAL terdiri atas kadar maksimum limbah cair dan beban pencemaran maksimum limbah cair yang sesuai menurut SK Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999. Data hasil pemeriksaan mutu limbah cair periode Mei 2010 (16-31 Mei) untuk kadar maksimum limbah cair sesuai Tabel 16.





Tabel 16. Kadar maksimum limbah cair*
No. Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan Air Limbah Metode Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kadar Maksimum
Inlet Outlet
1. BOD-5 mg/L 760 8.2 APHA 5210-B-2005 60
2. COD mg/L 2020 23 APHA 5210-C-2005 100
3. TSS mg/L 614 16 APHA 5210-D-2005 50
4. Minyak dan Lemak mg/L < 0.1 < 0.1 APHA 5210-B-2005 5
5. Sulfida (S) mg/L 0.48 < 0.04 APHA 4500.S-F-2005 0.5
6. Ph - 4.9 6.9 SNI 06-6989.11-2004 6.0-9.0
7. Debit L/detik 9.0 Perhitungan
8. Debit m3/bulan 23328 Perhitungan 40000
Keterangan : * Hasil pengujian Laboratorium Balai Lingkungan Keairan P3SDA
(Terakreditasi KAN, LP-217-IDN)
Pemeriksaan mutu limbah cair di IPAL PG Jatitujuh yang dilakukan P3SDA terhadap kadar maksimum limbah cair ini menggunakan tujuh parameter, yaitu BOD-5, Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), minyak dan lemak, sulfida (S), pH, dan debit air limbah.
Data tersebut menunjukan bahwa kadar maksimum limbah cair yang ditangani oleh IPAL PG Jatitujuh secara umum dapat dikatakan cukup baik untuk dapat dibuang (outlet) ke lingkungan sekitar. Hal ini ditunjukan pada nilai air limbah di inlet yang cukup tinggi, bahkan melebihi baku mutu yang sudah ditetapkan. Air limbah yang diolah menjadi air limbah siap dibuang melalui saluran outlet menghasilkan nilai parameter kadar maksimum limbah cair dibawah baku mutu limbah cair industri minyak kadar maksimum yang sudah ditetapkan, sehingga aman bagi lingkungan sekitar pabrik.
Pemeriksaan air limbah dilakukan pada saluran masuk (inlet) dan saluran keluar (outlet) IPAL dengan menggunakan standar baku mutu limbah cair industri minyak kadar maksimum sesuai SK Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999. Metode yang digunakan dalam pengujian parameter BOD-5, COD, TSS, dan minyak menggunakan APHA 5210 tahun 2005, sedangkan parameter sulfida menggunakan metode APHA 4500.S-F tahun 2005. Metode pengujian untuk pH menggunakan SNI 06-6989.11-2004 dan pengujian debit hanya dengan perhitungan biasa. Pengujian dan analisis kandungan beberapa parameter penting dalam penanganan air limbah yang dilakukan oleh pihak luar yang terkait mencakup beberapa parameter berikut :
a. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) adalah suatu analisa empiris yang dilakukan dengan pendekatan secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air limbah. Biochemical Oksygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biokimia merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air untuk memecah atau mendegradasi ataupun mengoksidasi bahan organik yang ada di dalam limbah. Semakin tinggi kandungan bahan organik dalam limbah cair maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk menguraikan senyawa organik tersebut, sedangkan BOD-5 adalah pengujian dan lama proses analisis BOD ini dilakukan selam lima hari.
b. Chemical Oxygen Demand (COD)
Berbeda dengan BOD, Chemical Oxygen Demand (COD) atau Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter sampel air limbah. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses makrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air limbah.
c. Total Suspended Solid (TSS)
Selain BOD dan COD, analisis juga dilakukan pada kandungan total padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri atas partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen seperti bahan-bahan organik tertentu, tanah liat dan lain-lain. Misalnya air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk tersuspensi.
d. Minyak dan Lemak
Parameter air limbah lainnya yang diperiksa di IPAL PG Jatitujuh adalah minyak dan lemak. Minyak/lemak merupakan bahan pencemar yang banyak ditemukan di berbagai perairan, salah satu sumber pencemarnnya adalah dari agroindustri. Minyak tidak larut dalam air sehingga minyak akan mengambang di atas permukaan air yang tercemar (air limbah). Semua jenis minyak mengandung senyawa volatile yang mudah menguap. Sekitar kurun waktu 3-7 hari sebanyak 25 % dari volume minyak akan menguap dan sisanya akan mengalami emulsifikasi. Selanjutnya emulsi minyak akan terdegradsi melalui oksidasi, baik secara fotooksidasi maupun oleh mikroba.
e. Sulfida (S) dan pH
Parameter sulfida (S) diperiksa untuk menguji kandungan sulfur yang terkandung dalam air limbah dan mengukur sulfur sebagai penyebab warna hitam dan berbau pada air limbah. Parameter pH dianalisis untuk mengukur kandungan keasaman air limbah. Biasanya limbah cair mempunyai pH yang rendah dan menunjukkan bahwa limbah tersebut mengandung asam-asam mineral atau asam organik yang cukup tinggi. Selain itu, kandungan gas CO2 yang dihasilkan dari penguraian zat organik oleh mikroorganisme di dalam air limbah, sehingga setelah berdifusi dengan air akan terbentuk asam karbonat yang bersifat asam.
Data hasil pemeriksaan mutu limbah cair beban pencemaran maksimum limbah cair di IPAL PG Jatitujuh ini ditunjukan pada Tabel 17.
Tabel 17. Beban pencemaran maksimum limbah cair**
No. Parameter Hasil Pengukuran Beban Pencemaran Baku Mutu Beban Pencemaran Maksimum
Kg/ton Produksi Kg/hari Kg/ton Produksi Kg/hari
1. BOD-5 0.02 6.38 0.30 80.00
2. COD 0.07 17.88 0.50 133.33
3. TSS 0.05 12.44 0.25 66.67
4. Minyak dan Lemak 0.00 0.00 0.03 6.67
5. Sulfida (S) 0.02 0.00 0.00 0.67
Keterangan :*Menggunakan metode perhitungan
**Hasil pengujian Laboratorium Balai Lingkungan Keairan P3SDA
(Terakreditasi KAN, LP-217-IDN)
Hasil analisis terhadap beban pencemaran maksimum limbah cair tersebut menunjukan bahwa parameter yang memiliki beban pencemaran adalah BOD, COD, TSS, minyak dan lemak, dan sulfida (S). Metode yang digunakan dalam pengukuran beban pencemaran maksimum ini menggunakan perhitungan biasa. Secara umum hasil pengukuran beban pencemaran di IPAL PG Jatitujuh menunjukan bahwa nilai beban pencemaran masih dibawah baku mutu beban pencemaran maksimum, baik dalam satuan kg per ton ataupun kg per hari. Secara khusus kandungan minyak atau lemak dan sulfida pada air limbah IPAL ini sangat rendah bahkan bernilai nol untuk minyak atau lemak.
Pengukuran dan pemeriksaan mutu limbah cair pabrik di PG Jatutujuh dilakukan juga pada air limbah saluran kondensor, air limbah saluran kondensat, air limbah rembesan abu, air limbah campuran, dan air limbah buangan akhir di kolam (rawa) Ranca Bugang. Data hasil pemeriksaan air limbah di PG Jatitujuh untuk periode Mei 2010 ditunjukan pada Tabel 18.
No. Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan Air Limbah
Condensor Condensat Rembesan Abu Campuran Kolam Ranca Bugang Baku Mutu Limbah Cair
1. BOD-5 mg/L 36 30 34 35 6.5 60
2. COD mg/L 97 78 92 94 17 100
3. TSS mg/L 48 22 48 46 30 50
4. Minyak dan Lemak mg/L < 0.1 < 0.1 < 0.1 < 0.1 < 0.1 5
5. Sulfida (S) mg/L < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.12 < 0.04 0.5
6. pH - 6.1 6.7 6.8 6.1 6.6 6.0-9.0
Tabel 18. Hasil pemeriksaan air limbah*
Keterangan : *Hasil pengujian Laboratorium Balai Lingkungan Keairan P3SDA
(Terakreditasi KAN, LP-217-IDN)
Berdasarkan data yang diperoleh dari analisis mutu limbah cair tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari lima sampel air limbah yang diambil secara umum masih dibawah nilia baku mutu limbah cair yang sudah ditetapkan. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa secara analisis dan pengukuran limbah cair yang ada di PG Jatitujuh aman untuk dibuang ke lingkungan.
B. PENANGANAN LIMBAH PADAT
Limbah padat adalah hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Limbah ini dapat dikatergorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat yang dapat didaur ulang dan limbah padat yang tidak bernilai ekonomis. Penanganan limbah padat yang tidak bernilai ekonomis dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan penimbunan pada areal tertentu, diproses lanjut kemudian dibuang, dan dibakar (Kristanto 2002).
Sedangkan menurut Sastrawijaya (2000), ada beberapa cara penanganan limbah padat agar tidak mencemari lingkungan, yaitu dapat dengan membuat sanitary landfill sebagai tempat pembuangan akhir limbah padat, membuat kompos dengan memanfaatkan limbah padat, pembakaran (inceneration), dan menjadikan limbah padat sebagai bahan bangunan.
Di PG Jatitujuh proses produksi gula menghasilkan beberapa limbah padat yang berupa ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, sisa pucuk dan daun tebu, kerak nira atau gula, dan limbah domestik. Limbah padat yang termasuk ke dalam limbah padat yang bernilai ekonomis dan dapat didaur ulang atau dimanfaatkan kemabli (by product) berupa ampas tebu (bagasse), blotong, dan kerak nira atau gula, sedangkan limbah padat yang tidak bernilai ekonomis berupa abu ketel, sisa pucuk dan daun tebu, dan limbah domestik. Secara umum limbah padat yang dihasilkan oleh PG Jatituhuh dapat termanfaatkan dengan baik melalui berabagai penanganan. Penaganan limbah yang termanfaatkan dilakukan dengan menggunakan kembali sebagai penunjang produksi ataupun sebagai penyubur lahan perkebunan tebu. Jenis limbah padat yang dihasilkan termasuk ke dalam bahan buangan padat organik.
Menurut Wardhana (2004), bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga akan sangat bijaksana apabila buangan yang termasuk ke dalam kelompok ini tidak dibuang ke air lingkungan karena akan mencemari dan meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam air. Bertambahnya populasi mikroorganisme ini tidak menutup kemungkinan untuk ikut berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Limbah padat organik sebaiknya dikumpulkan untuk diproses menjadi pupuk buatan (kompos) yang berguna bagitentu tanaman. Pembuatan kompos ini berarti mendaur ualang limbah organik yang saja akan berdampak positif bagi lingkungan hidup manusia.
Bagasse yang dihasilkan di PG Jatitujuh ini telah dianalisis kandungan yang ada di dalamnya, termasuk unsur makro dan unsur mikro dalam bagasse. Hasil analisis menunjukan bahwa mengandung pol sekitar 1.2 – 1.5 %, persesntase bahan kering (BK) mencapai sekitar 48 – ¬51.7 % dan kadar air ampas sebesar 51.4 %. Selain itu, analisis terhadap unsur makro dan unsur mikro menunjukan bahwa pada ampas mengandung kalium (K2O) sebesar 0.11 %, kandungan phospat (P2O5) sebesar 0.12 %, dan kadar nitrogen dalam ampas sebesar 0.244 %. Kandungan bagasse lain seperti pada Tabel 19.
Tabel 19. Komposisi bagasse
Analisis Kandungan (%)
Karbon (C) 47
Hidrogen (H) 6.5
Oksigen 44
Ash (Abu) 2.5
Sumber: Anonim (2008)
Di PG Jatitujuh blotong yang dihasilkan rata-rata sekitar sebanyak 3-4 % dari total tebu proses di stasiun pemurnian. Blotong masih memiliki kandungan gula yang ditunjukan oleh kadar pol sebesar 1.8-2.8 % dengan pH sekitar 6.42, kadar bahan kering (BK) sekitar 27-29%, dan kadar air sekitar 57.51- 71.99 %. Selain itu hasil analisis kandungan unsur yang ada di dalam blotong basah dan blotong kering menunjukan bahwa kandungan fospat (P2O5) sebesar 5.17 %, kadar kalium (K2O) sebesar 0.17 %, kandungan karbon (C) organik sekitar 13.86-24.15 %, kandungan unsur nitrogen (N) berkisar antara 0.65-1.96 %, dan perbandingan C/N berkisar antara 12.32-21.32 %. Kandungan unsur lain seperti pada Tabel 20.
Tabel 20. Kandungan logam blotong
Analisis Kandungan (%)
Kalium (K2O) 0.485
Natrium (Na2O) 0.082
Kalsium (Ca) 5.785
Magnesium (Mg) 0.419
Besi (Fe) 0.191
Mangan (Mn) 0.115
Sumber: Anonim (2009)
C. PENANGANAN LIMBAH B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Limbah yang mengandung bahan polutan dan bersifat berbahaya serta beracun dikenal dengan limbah B3, yaitu dinyatakan sebagai bahan dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya. Bila ditinjau secara kimiawi, bahan-bahan tersebut terdiri atas bahan kimia organik dan anorganik (Kristanto, 2002).
Limbah B3 ini merupakan hasil sisa penggunaan bahan-bahan yang ada pada mesin-mesin pabrikasi dan alat berat yang digunakan di PG Jatitujuh. Limbah B3 ini berupa aki bekas, oli bekas, filter oil buangan, dan sisa bahan-bahan kimia berbahaya. Sumber utama aki bekas berasal dari penggunaan mesin-mesin mekanisasi, kendaran angkut dan transport, dan instalasi listrik. Oli bekas dan filter oil buangan banyak dihasilkan oleh alat-alat berat, traktor, genset, dan sisa mesin milling di stasiun penggilingan, sedangkan sisa bahan-bahan kimia berasal laboratorium kimia, quality control, dan bahan-bahan kimia tambahan produksi (jumlahnya relatif sangat sedikit). Pencemaran limbah ini ketika terjadi kebocoran aki atau terjadi ceceran oli bekas. Masalah yang sering ditemui terkait bahan berbahaya dan beracun ini mencakup penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan transportasi, sehingga perlu adanya penanganan yang ekstra dengan pengamanan dan pengawasan yang ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Secara aturan penanganan limbah B3 di PG Jatitujuh ini telah ditetapkan pada Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No.390 Tahun 2009 tentang izin penyimpanan limbah berbahaya dan beracun. Pertimbangan keputusan tersebut berkaitan dengan pentingnya penanganan limbah B3 secara khusus. Pertimbangan tersebut menjelaskan bahwa limbah berbahaya dan beracun mempunyai potensi untuk menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan dengan baik, melalui perangkat perizinan, yang memuat ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh penanggung jawab kegiatan.
Mengingat pentingnya penanganan limbah B3 ini sesuai peraturan pemerintah Republik Indosnesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan tata cara penyimpanan memliliki ketentuan sebagai berikut :
1. Mengatur supaya seluruh limbah B3 disimpan menurut jenis dan karakteristiknya pada tempat yang sudah ditentukan.
2. Menghindari terjadinya tumpahan dan ceceran limbah B3 yang disimpan, khususnya dari jenis-jenis yang mudah terbakar atau meledak serta melakukan prosedur rumah tangga (housekeeping) yang baik.
3. Mencatat setiap perpindahan limbah B3 baik yang masuk ataupun yang keluar dari tempat penyimpanan limbah, sesuai dengan jenis dan jumlahnya dalam formulir kegiatan penyimpanan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Selaian itu, penanganan limbah B3 juga tidak boleh menyimpannya melebihi jangka waktu 180 hari, oleh karena itu harus segera diupayakan untuk dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut :
1. Dilakukan upaya 3R (Reuse, Recycle, Recovery) untuk keperluan sendiri sesuai sifat dan karakteristik limbah tersebut dengan mengacu pada peraturan yang berlaku.
2. Dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai bahan baku dan/atau pendukung kegiatan industri tertentu yang telah memiliki izin pemanfaatan dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau instansi yang berwenang.
3. Diangkut ke fasilitas pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang telah mempunyai izin dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
Penaganan limbah B3 secara tata letak dan bangunan tempat penyimpanan telah diatur dalam ketentuan sebagai berikut :
1. Rancang bangun dan luas penyimpanan sesuai dengan jenis, jumlah, dan karakteristik limbah B3 yang dimiliki :
i. Tempat penyimpanan berukuran 5 m x 8 m terletak di titik koordinat E: 180o14’234” dan S :06o35’766”.

ii. Layout tempat penyimpanan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
iii. Desain tempat penyimpanan disesuaikan dengan aturan yang telah ditetapkan.
2. Kondisi tempat penyimpanan tersebut pada poin (1) tidak dapat diubah ataupun dipindah tanpa seizin Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
3. Tidak diperkenankan menyimpan (sementara) limbah B3 di tempat lain selain tempat yang telah ditetapkan pada poin (1) dan berlokasi pada tempat yang telah ditetapkan.
D. PRODUKSI BERSIH (Cleaner Production)
Produksi bersih merupakan sebuah strategi pengolahan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan terus-menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (UNEP, 2003).
Di PG Jatitujuh sudah dilakukan beberapa upaya dalam mencapai produksi bersih, walaupun masih terpisah dan belum terbentuk secara sistematis. Beberapa upaya yang dialkukan PG Jatitujuh dalam mengoptimalkan kemampuan pabrik, meminimalisir timbulnya limbah, dan menekan terjadinya loss dilakukan dengan menerapkan kebijakan penggunaan bahan baku, bahan penolong, dan bahan kemasan, inhouse keeping (good housekeeping), internal measure, dan kebijakan penggunaan bahan bakar.
Menurut Indrasti dan Fauzi (2009), strategi produksi bersih diyakini sebagai upaya pengelolaan lingkungan yang dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dari aplikasi pendekatan end of pipe. Produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, mendukung prinsip environmental equality, mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penerapan daur ulang limbah, dan memperkuat daya saing produk di pasar internasional.
Definisi dan ruang lingkup produksi bersih menurut UNIDO (2002), menyatakan bahwa produksi bersih adalah strategi pengolahan lingkungan yang sifatnya mengarah pada pencegahan dan terpadu agar dapat diterapkan pada seluruh siklus produksi.
Menurut Indrasti dan Fauzi (2009), prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi bersih adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air, energi dan terbentuknya limbah pada sumbernya.
2. Menghindari pemakaian bahan baku berbahaya dan beracun, sehingga dapat mencegah terjadinya pencemaran serta resikonya terhadap lingkungan dan manusia.
3. Memahami analisis daur hidup produk.
4. Menerapkan pola manajemen di kalangan industri dan pemerintah yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan.
5. Mengaplikasikan teknologi ramah lingkungan, manajemen dan prosedur standar sesuai persyaratan yang telah ditetapkan.
6. Mengarah pada pengaturan sendiri (self regulation) dan peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat (negotiated regulatory approach).
Penerapan produksi bersih secara keilmuan yang sempurna dan menyeluruh belum diterapkan di PG Jatitujuh, tetapi aspek pengelolaan dan aplikasi sudah beberapa prinsip telah diterapkan. Hal tersebut menunjukan bahwa perlu adanya sebuah konsep produksi bersih yang diaplikasikan secara sempurna agar produksi gula di PG Jatitujuh dapat berjalan dengan kualitas baik dan limbah yang dihasilkan dapat diminimalisir.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Aspek manajemen lingkungan industri di PG Jatitujuh cukup kompleks yang mencakup sistem manajemen lingkungan yang terkait dengan peraturan lingkungan, kegiatan perencanaan, praktek dan implementasi program lingkungan untuk mengembangkan, menerapkan, mencapai, mengkaji dan memelihara lingkungan. Bentuk pengelolaan lingkungan di PG Jatitujuh dalam manajemen secara formal dilakukan dengan menerapkan beberapa penanganan limbah yang dihasilkan dari produksi gula. Pengelolaan limbah di PG Jatitujuh dilakukan berdasarkan jenis, sumber, karakteristik, dan nilai ekonomi limbah yang dihasilkan. Penanganan dilakukan dengan cara dan formulasi yang berbeda sesuai karakteristik dan tingkat pencemaran yang diakibatkan.
Jenis limbah yang ditangani di PG Jatitujuh berupa limbah cair, limbah padat, limbah gas, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Penanganan limbah ini ditangani langsung oleh badan atau organisasi yang melibatkan seluruh elemen yang ada di perusahaan yaitu berupa badan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup (PPLH) PG Jatitujuh. Limbah cair yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Jatitujuh ini berupa tetes (molasses), air buangan pabrik, air kondensat, air jatuhan (air kondensor), dan air limbah domestik. Penanganan air limbah secara umum ditangani oleh IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan untuk molassesI dimanfaatkan kembali nuntuk bahan pembuatan alkohol dan spirtus di PSA Palimanan. Limbah padat yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Jatitujuh berupa ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, sisa pucuk dan daun tebu, kerak nira atau gula, dan limbah domestik. Secara umum limbah padat yang dihasilkan oleh PG Jatituhuh dapat termanfaatkan dengan baik melalui berabagai penanganan. Penaganan limbah yang termanfaatkan dilakukan dengan menggunakan kembali sebagai penunjang produksi ataupun sebagai penyubur lahan perkebunan tebu. Jenis limbah padat yang dihasilkan termasuk ke dalam bahan buangan padat organik. Di PG Jatitujuh dihasilkan juga limbah B3 yang merupakan hasil sisa penggunaan bahan-bahan yang ada pada mesin-mesin pabrikasi dan alat berat. Limbah B3 ini berupa aki bekas, oli bekas, filter oil buangan, dan sisa bahan-bahan kimia berbahaya. Penanganan Limbah B3 di PG Jatitujuh sudah cukup baik sesuai peraturan pemerintah Republik Indosnesia tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Aspek manajemen lingkungan lain yang diatur di PG Jatitujuh adalah tentang dampak dan penanganan kebisingan, produksi bersih (Cleaner production), dan bentuk Corporate Socual Responsibelity (CSR) yang terkemas dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Strategi pengolahan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan terus-menerus pada proses produksi juga merupakan salah satu upaya mewujudkan manajemen lingkungan industri yang lebih baik dan terkemas dalam program produksi bersih. Manajemen lingkungan industri di PG Jatitujuh dijalankan sebagai upaya pengendalian lingkungan dan pemenuhan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan I Bidang Lingkungan).
B. SARAN
Berjalannya suatu pengendalian lingkungan hidup dalam suatu industri harus didukung dengan manajemen lingkungan yang baik dan sistematis, sehingga dihasilkan suatu kondisi lingkungan yang seimbang dan menunjang aktivitas produksi. Selain itu, penerapan manajemen lingkungan di PG Jatitujuh sebaiknya didasarkan pada kesadaran terhadap pentingnya lingkungan hidup dan peningkatan daya dukung dalam menjalankan semua aktivitas pengelolaan lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Komposisi Dari Blotong. http://www.risvank.com/2009/blotong.
Anonim. 2008. Potensi Ampas Tebu. http://malikhi.wordpress.com/2008/potensi-ampas -tebu.
Indrasti, N.S dan A.M. Fauzi. 2009. Produksi Bersih. IPB press. Bogor.
Isyuniarto, et.al. 2007. Proses Ozonisasi pada Limbah Cair Industri Gula. Pusat Teknologi Akselerator dan Bahan – BATAN.Yogyakarta
Kristanto, P. 2001. Ekologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Marison, J. ed all. on July 29. 1999. ISO 14001 Environmental Management System and Public Policy. Pdf Proceeding of Workshop Held, Oakland, California ( http://www.pacinst.org, diakses 1 Maret 2006).
Perkins, Henry C. 1974. Air Pollution. Mc-Graw-Hill Book Company. New York
Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Soemarno. 1977. Tanaman Tebu. Jurusan Tanah Laboratorium PPJP Jurusan tanah, Fakultas Pertanianp universitas Brawijaya. Malang.
Sutedja. 1989. Peralatan Industri jilid I. Bogor : TIN FATETA.
UNEP. 2003. Cleaner Production Assessment in Industries. Di dalam http://www.uneptie.ora/pc/cp understanding cp/cp industries.htm.
UNEP.2006. Boilers and Thermic Fluid Heaters . Di dalam http://www.energyefficiencyasia.org [akses berkala : 19 maret 2010]
UNIDO. 2002. What Is Cleaner Production. Di dalam http://www.unido.org/doc/5151.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran, Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta.












LAMPIRAN

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer