Penyimpangan Iklim di Indonesia

Rizaldi Boer Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB Jl. Raya Pajajaran, Bogor 16144, Phone: 0251-376817/313709, E-mail: rboer@fmipa.ipb.ac.id 1. Pendahuluan Kondisi iklim yang menyimpang dari normal seringkali menimbulkan dampak yang negatif. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya penyimpangan iklim di Indonesia ialah fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation). Kejadian El-Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau kekeringan sedangkan La-Nina berasosiasi dengan kejadian banjir. Kondisi ini dapat memicu terjadinya berbagai kejadian yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, kemarau panjang yang terjadi pada tahun El-Nino 1997 telah menimbulkan kejadian kebakaran hutan yang hebat di berbagai wilayah Indonesia dan mewabahnya penyakit deman berdarah pada beberapa daerah tertentu. Dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat berlangsungnya fenomena ENSO juga sangat besar baik di tingkat global maupun di tingkat nasional. Seperti kejadian El-Nino 1982/83, total kerugian yang ditimbulkan pada tingkat global mencapai 8 miliar US dolar (NOAA, 1994). Untuk Indonesia, kerugian mencapai 500 juta US dolar. Pada tahun El-Nino 1997, total kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di sektor kehutanan diperkirakan mencapai 2.4 trilliun rupiah atau sekitar 275 juta US$ (meliputi kerusakan hutan produksi, hutan tanaman industri, sumberdaya genetik, hutan rekreasi, fungsi ekologi, keanekaragaman hayati dan hutan lindung). Di sektor pertanian kerugian mencapai 797 milliar rupiah (sekitar 90 juta US$) dan di sektor perhubungan mencapai 91.4 miliar rupiah (10 juta US$) yaitu akibat terganggunya jalur penerbangan oleh tebalnya asap dari kebakaran hutan. Upaya untuk mengantisipasi atau menekan dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini sudah banyak dilakukan. Namun demikian, upaya yang dilakukan umumnya tidak bersifat mencegah atau mengurangi dampak negatif yang akan ditimbulkan (preventif) tetapi lebih bersifat memperbaiki dampak yang sudah terjadi (kuratif). Dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi fenomena ENSO, langkah-langkah umum yang dapat dilakukan diantaranya ialah melakukan pemetaan daerah-daerah yang sensitif terhadap fenomena ENSO, meningkatkan kemampuan peramalan sehingga langkah-langkah antisipasi dapat dilakukan lebih awal, khususnya pada daerah-daerah yang rawan dan menerapkan teknologi budidaya yang dapat menekan risiko terkena dampak kejadian. Tulisan ini membahas secara singkat faktor yang menentukan keragaman iklim, khususnya hujan di Indonesia dan pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan pewilayahan dampak penyimpangan iklim. 2. Sumber Daya Iklim di Indonesia 2.1. Keragaman Hujan di Indonesia Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannnya sangat tinggi baik menurut waktu maupun menurut tempat. Oleh karena itu kajian tentang iklim lebih banyak diarahkan pada hujan. Berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga (Boerema, 1938), yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson (Gambar 1). Gambar 1. Tipe hujan di Indonesia Tipe Monsoon dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu Tipe A dan Tipe B. Kedua tipe memiliki pola yang sama akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Tipe A memiliki musim kemarau yang lebih panjang (mencakup wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara) dan secara keseuluruhan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B (Jawa, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan). Oleh karena itu, daerah tipe A lebih sering mengalami kekeringan dibanding daerah tipe B. Secara umum keragaman hujan musim kemarau (April-September) lebih besar dibanding musim hujan (Oktober-Maret). Sebagian besar wilayah Indonesia bagian Selatan didominasi oleh Tipe A dan B. Pengaruh angin musim Australia salama musim hujan sangat jelas pada wilayah ini. Tipe lokal disebut juga sebagai tipe C yang mempunyai pola berbeda dengan tipe A dan B. Daerah yang memiliki tipe ini ialag daerah bagian timur ekuator Indonesia (seperti Maluku dan Sorong). Musim kemarau pada daerah tipe ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan di daerah tipe iklim ini lebih besar dari tipe A dan B. Tipe ekuatorial juga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tipe D dan E. Tipe D mencakup daerah di wilayah pantai barat Sumatra Utara sedangkan tipe E mencakup daerah di wilayah pantai barat Sumatra Selatan. Pada daerah ini musim kemarau tidak begitu jelas. Panjang musim hujan di Indonesia sangat beragam yaitu antara (10-110) hari dan (280-300) hari, sehingga tinggi hujan musim hujan juga sangat beragam yaitu dari 640 mm sampai 4115 mm. Panjang musim kemarau beragam antara 50 dan 350 hari. Daerah Indonesia bagian timur memiliki musim kemarau yang lebih panjang. Daerah yang memiliki musim kemarau terpanjang ialah Lombok Timur (antara 300 dan 350 hari), yang kedua terpanjang ialah Lombok Utara (260 hari) dan ketiga terpanjang Sumba bagian Timur dan Flores, sebagian wilayah Jawa Timur (Pasuruan dan Probolingo) dan sebagian wilayah Jawa Barat, yaitu Subang dan Indramayu (250 hari). Yang terpendek ialah sebagian besar wilayah Jawa Barat bagian Selatan, Jawa tengah dan pantai bagian timur pulau Sumatra. Curah hujan musim kemarau umumnya berkisar antara 250 mm dan 500 mm. Akan tetapi di sebagian daerah Indonesia seperti pantai Timur Jawa Barat, Pantai Selatan Jawa Tengah, Lampung Tangah dan Lampung Utara, Sumbawa, Lombok Barat dan pantai bagian Selatan Irian Jaya, curah hujan musim kemaraunya relatif lebih tinggi yaitu antara 500 mm dan 750 mm. 2.2. Faktor yang Mempengaruhi Keragaman Hujan di Indonesia Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh kawasan laut pasifik. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Selain itu karena posisi bumi relatif terhadap matahari perpindah dari 23.5 LS ke 23.5 sepanjang tahun, maka aktifitas moonson juga ikut berperanan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam sehingga sistem golakan lokal juga cukup dominan. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon tropis. Semua aktifitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktifitas atau sistem tersebut tidak sama dan dapat berubah dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003). Hal ini menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal (Gambar 2). Pengamatan terhadap tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 oC di atas normal. Gambar 2. Persen daerah yang curah hujan di bawah normal (panah hitam menunjukkan tahun bukan El-Nino) Kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Menurut Tjasyono (1997) pengaruh El-nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistim moonson, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal. Selain itu, pengaruh El-Nino lebih kuat terhadap hujan pada musim kemarau dari pada hujan pada musim hujan (Gambar 3). Berbeda dengan tahun El Nino, tahun La-Nina seringkali dicirikan oleh meningkatnya curah hujan di Indonesia. Pengaruhnya juga lebih kuat pada hujan musim kemarau dari pada musim hujan (Gambar 3). Pengaruhnya pada peningkatan curah hujan pada musim hujan tidak begitu jelas. Secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Nino dapat mencapai 80 mm per bulan sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Gambar 3. Rata-rata curah hujan di beberapa stasiun di Jawa dan Bali pada tahun normal, El-Nino dan La-Nina untuk musim hujan (Nov-Feb), musim kering I (Mar-Jun) dan musim kering II (Jul-Okt). Sumber: (Las et al., 1999) 3. Monitoring dan Pewilayahan Dampak Fenomena ENSO di Indonesia Pewilayahan dampak fenomena ENSO di Indonesia dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan meteorologi, hidrologi dan agronomi. Pendekatan meteorologi ialah pendekatan dimana pewilayahan dampak dilakukan berdasarkan besar penyimpangan iklim dari nilai normal (nilai anomali). Pendekatan hidrologis sama dengan meteorologis tetapi unsur yang digunakan ialah unsur hidrologis seperti tinggi muka air waduk, debit sungai, penurunan muka air tanah dan lain-lain. Sedangkan pendekatan agronomis, pewilayahan dampak didasarkan pada besar anomali produksi atau hasil, atau data kerusakan lainnya seperti pengeringan daun sebelum waktunya, besarnya wilayah kebakaran hutan dll. Sub-bab berikut menguraikan secara singkat tentang monitoring dan metode yang dapat digunakan untuk pewilayahan dampak fenomena ENSO dengan ke tiga pendekatan disebut di atas. 3.1. Pendekatan Meteorologis Unsur iklim yang dimonitor pada banyak daerah umumnya curah hujan. Monitoring unsur iklim ini dilakukan oleh banyak instansi seperti Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertanian. Namun pengelolaan data tetap dikoordinir oleh BMG (Badan Geofisika dan Meteorologi). Saat ini diperkirakan ada sekitar 5,000 penakar hujan di Indonesia. Idealnya, wilayah Indonesia memerlukan penakar hujan sekitar 20,000 penakar (Ardiningsih et al., 2000). Dari total 5000 penakar, sebagian terbesar tersebar di pulau Jawa yaitu sekitar 11 penakar per 100 km2, sedangkan di pulau lainnya kurang dari 2 penakar per 100 km2 (Tabel 1). Tabel 1. Kerapatan jaringan penakar hujan di Indonesia No Lokasi Kerapatan (Stasiun/100 km2) 1 Jawa 11.6 2 Sumatera 0.87 3 Kalimantan 0.18 4 Sulawesi 0.67 5 Irian Jaya 0.05 6 Maluku 0.46 7 Pulau Lainnya 0.67-1.14 Sumber: Sribimawati et al. (1999) Untuk melakukan penilaian awal apakah suatu daerah peka terhadap kejadian ENSO dapat dilakukan secara kualitatif dengan menanyakan kepada petani atau masyarakat suatu daerah tentang kondisi iklim pada waktu terjadi ENSO. Apabila masyarakat/petani mengatakan bahwa pada tahun-tahun El-Nino (misalnya 1982, 1994 dan 1997) tersebut terjadi kemarau panjang yang menyimpang dari kondisi normal, ada indikasi bahwa daerah tersebut peka terhadap kejadian ENSO. Maka langkah selanjutnya ialah melakukan evaluasi terhadap data hujan yang ada di daerah tersebut. Boer (2002a) menyajikan dua cara untuk mengevaluasi tingkat kerawanan/kepekaan daerah tersebut terhadap kejadian ENSO. Cara pertama ialah dengan melihat kondisi hujan menurut fase SOI (Indek Osilasi Selatan). Indek Osilasi Selatan merupakan indek yang menggambarkan perbedaan tekanan udara dekat permukaan laut di kawasan Tahiti (PTahiti) dan Darwin (PDarwin). Adapun rumusnya ialah: Adakalanya faktor pengali 10 dalam persamaan di atas tidak digunakan. Biro Meteorologi Australia menggunakan rumus di atas dalam menghitung SOI. Selanjutnya nilai SOI dikelompokkan menjadi 5 fase yaitu (Stone et al., 1996): 1. Fase 1: konstan negatif (Constantly Negative) 2. Fase 2: konstan positive (Constantly Positive) 3. Fase 3: menurun cepat (Rapidly falling) 4. Fase 4: meningkat cepat (Rapidly rising) 5. Fase 5: mendekati nol (Near Zero) Kondisi El-Nino biasanya digambarkan oleh fase konstan negatif dan fase menurun cepat (Fase 1+3), sedangkan La-Nina oleh fase konstant positif dan fase meningkat cepat (Fase 2+4), dan kondisi normal oleh fase mendekati nol (Fase 5). Untuk menentukan apakah data SOI pada suatu bulan tertentu itu memiliki fase 1, 2, 3, 4 atau 5 ditentukan berdasarkan nilai perbedaan antara nilai SOI pada bulan tersebut (M2) dengan nilai SOI pada bulan sebelumnya (M1). Apabila nilai perbedaan M2-M1 jatuh pada kolom rapidly rising berarti bulan tersebut dikategorikan fase 4 (Gambar 4). Selanjutnya disusun peluang terlampaui tingkat hujan tertentu pada ke lima fase tersebut. Apabila terlihat perbedaan yang jelas antara grafik peluang pada kondisi El-Nino (fase 1+3), La-Nina (fase 2+4) dan normal (fase 5), berarti wilayah tersebut peka terhadap fenomena ENSO. Sebagai contoh, grafik garis pada Gambar 5 menunjukkan bahwa peluang untuk mendapatkan hujan paling mendekati normal (lebih besar dari nol) pada tahun El-Nino kurang dari 30% sedangkan pada tahun normal dan La-Nina lebih dari 60%. Jadi dengan demikian peluang untuk mendapatkan hujan di bawah normal (nilai anomali negatif) pada tahun El-Nino cukup besar yaitu lebih dari 70%. Apabila grafik ini dapat disusun untuk semua stasiun hujan, maka secara spasial akan dapat dilihat daerah mana yang sensitive dan mana yang kurang sensitive. Semakin mendekat ke tiga garis grafik tersebut, semakin kurang sensitif daerah tersebut terhadap kejadian ENSO, karena pada kondisi tersebut artinya peluang untuk mendapatkan tingkat anomali hujan tertentu antara tahun normal, El-Nino dan La-Nina tidak berbeda. Gambar 4. Fase SOI (Stone et al., 1996) Gambar 5. Peluang anomali hujan terlampaui pada tahun normal, El-Nino dan La-Nina Cara kedua ialah dengan memplotkan data anomali hujan dengan indeks ENSO, misalkan data anomaly suhu muka laut di kawasan pasifik dengan data anomaly hujan musim kemarau seperti yang terlihat pada Gambar 6. Dari hasil analisis apabila slope persamaan secara statistik besar dari nilai 0, artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut. Semakin besar nilai anomali suhu muka laut (semakin positif atau terjadi El-Nino), data anomaly hujan semakin negatif. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa apabila data anomaly suhu muka laut +2, maka data anomaly hujan sekitar –40 mm. Artinya apabila terjadi El-Nino dan anomaly suhu muka laut di kawasan laut pacific (daerah ENSO 3.4) sekitar +2oC, maka curah hujan musim kemarau diperkirakan akan turun 40 mm di bawah normal. Untuk menterjemahkan hasil analisis ke dalam peta, maka perlu dilakukan analisis tersebut terhadap semua stasiun hujan yang ada di wilayah atau daerah yang akan dipelajari. Misalkan ada 10 stasiun di wilayah tersebut. Semakin banyak stasiun dalam daerah tersebut memiliki nilai slope negatif, maka berarti pengaruh ENSO pada daerah tesebut semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Bila semakin sedikit jumlah stasiun yang memiliki slope negatif, berarti pengaruh ENSO di wilayah tersebut lemah (Gambar 7). Cara pemetaan yang lain ialah membuat garis isoline berdasarkan pada nilai slope dari persamaan hubungan antara anomali curah hujan bulanan (ACHBK) dan anomaly suhu muka laut (ASML) pada Nino3.4. Peta ini akan memperlihatkan sebaran wilayah dan perkiraan besar anomali hujan untuk setiap perubahan satu derajat anomali suhu muka laut. Gambar 6. Hubungan anomali curah hujan bulanan musim Kemarau di Flores, NTT dengan anomali suhu muka laut di kawasan pasifik (Nino 3.4; Boer et al., 1999) Gambar 7. Pengelompokkan wilayah Flores menurut kekuatan pengaruh ENSO terhadap hujan. Sumber: Boer et al. (1999). 3.2. Pendekatan Hidrologis Data hidrologi yang dimonitor di Indonesia diantaranya data debit sungai maximum, minimum, dan data tinggi muka air waduk atau dam. Dengan pendekatan yang sama seperti pendekatan meteorologis, peta penyebaran sungai dengan debit minimum yang berpotensi untuk mengarah kepada kejadian kekeringan atau debit maksimum yang berpotensi untuk mengarah kepada kejadian banjir dapat disusun. Berdasarkan data debit minimum dan maksimum dari 52 sungai yang tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Sabang sampai ke Merouke, terlihat bahwa jumlah sungai yang debit minimumnya berpotensi untuk menimbulkan masalah kekeringan meningkat demikian juga halnya jumlah sungai yang debit maksimumnya berpotensi menimbulkan masalah banjir (Gambar 8). Gambar 8 juga menunjukkan bahwa jumlah sungai dengan debit minimum berpotensi menimbulkan kekeringan dan debit maksimum yang berpotensi menimbulkan banjir meningkat tajam pada tahun El-Nino dan La-Nina, khususnya untuk El-Nino (1994, dan 1997) dan La-Nina (1995 dan 1998) yang kejadiannya berlangsung setelah tahun 1990-an. Kondisi ini menindikasikan bahwa kondisi daerah aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990an banyak yang sudah mengalami degradasi sehingga adanya penyimpangan iklim dalam bentuk penurunan atau peningkatan hujan jauh dari normal akan langsung menimbulkan penurunan atau peningkatan yang tajam dari debit minimum atau debit maksimum. Propinsi yang dinilai rawan terhadap kejadian kekeringan dan banjir pada tahun El-Nino dan La-Nina disajikan pada Tabel 2. Gambar 8. Persentase sungai dengan debit minimum atau maksimum yang berpotensi menimbulkan masalah kekeringan atau banjir (dari 52 data debit sungai seluruh Indonesia. Sumber: Loebies (2001). Table 2. Daerah berpotensi mengalami kekeringan atau banjir akibat menurunnya atau meningkatkan debit sungai minimum atau maksimum jauh dari normal pada tahun El-Nino dan La-Nina yang terjadi setelah tahun 1990. Tahun Propinsi Kekeringan 1994 Aceh, Jawa Barat dan Jawa Tengah, Bali, NTT dan NTB, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Papua. 1997 Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, NTT dan NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Maluku Banjir 1995 Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan NTB. 1998 Sulawesi Utara, NTT dan Maluku Sumber: Loebis (2001) Kajian lain yang dilakukan Las et al. (1999) menunjukkan juag bahwa volume air waduk di daerah Jawa mengalami penurunan yang cukup besar pada tahun El-Nino dibanding tahun normal, dan meningkat jauh dari normal pada tahun La-Nina khususnya volume air waduk pada musim kemarau (Gambar 9). Pola ini sejalan dengan perubahan tinggi hujan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Gambar 9. Rata-rata volume air di dua waduk utama di Jawa pada tahun normal, El-Nino dan la-Nina. Sumber: Las et al.. (1999) 3.3. Pendekatan Agronomis Pengamatan data kekeringan dan banjir di wilayah pertanian dimonitor oleh Pengamat Hama dan Penyakit dan data dikirim dan dikelola oleh Direktorat Perlindungan Tanaman. Data yang dimonitor ialah data luas tambah kekeringan dalam bentuk luas terkena ringan, sedang, berat dan Puso (Tabel 3), dan data luas tambah banjir dalam bentuk data luas terkena ringan sampai berat dan Puso (Tabel 4). Tabel 3. Pengertian terkena kekeringan dan Puso. Klasifikasi@ Gejala Terkena ringan (R) Apabila ujung daun padi kering Terkena sedang (S) Apabila ¼ daun dimulai pada bagian ujung kering Terkena Berat (B) Apabila1/4-2/3 daun dimulai pada bagian ujung kering Puso (P) Apabila semua bagian daun kering @Pertanaman yang terkena kekeringan masih mampu memberikan hasil sekitar 50% dari normal, sedangkan pada sawah Puso tidak ada hasil yang dapat dipanen. Sumber: Ditlin (2002a) Tabel 4. Kriteria yang digunakan untuk menilai kerusakan akibat banjir Klasifikasi@ Gejala Terkena ringan sampai berat (T) Umur tanaman < 2bulan, tergenang <3 hari Umur tanaman > 2bulan, tergenang tidak menunjukkan kerusakan fisik Puso (P) Umur tanaman < 2bulan, tergenang >3 hari dan menunjukkan kerusakan fisik Umur tanaman > 2 bulan tergenang sampai menunjukkan gejala kematian. @ Pertanaman yang terkena banjir masih mampu memberikan hasil sekitar 50% dari normal, sedangkan pada sawah Puso tidak ada hasil yang dapat dipanen. Sumber: Ditlin (2002b) Berdasarkan data luas terkena ringan sampai berat dan Puso tingkat kabupaten, Ditlin (2003a, b) telah menyusun peta rawan kekeringan dan banjir seluruh Indonesia dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Jazis et al. (1999). Pemetaan wilayah rawan kering dan banjir dalam pendekatan tersebut dilakukan berdasarkan data intensitas, frekuensi dan luas terkena. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kerawanan terhadap kekeringan dan banjir dapat dibagi menjadi enam kategori (Tabel 5). Diperoleh bahwa wilayah Jawa Barat merupakan daerah yang terawan baik terhadap kejadian kekeringan maupun banjir (Gambar 10 dan 11). Tabel 3. Selang nilai SS dan Index Kerawanan Indeks Kerawanan (PI) Perkiraan Kehilangan Produksi dintingkat kebupaten dalam 10 tahun akibat kekeringan atau banjir (ton) Sangat aman Tidak ada Aman Kurang dari 50,000 ton Agak aman Antara 50,000 dan 100,000 ton Agak rawan Antara 100,000 dan 150,000 ton Rawan Antara 150,000 dan 250,000 ton Sangat Rawan Lebih besar dari 250,000 ton Beberapa kabupaten di Jawa Barat yang secara konsisten tekena kekeringan cukup luas khususnya pada tahun-tahun El-Nino ialah kabupaten Indramayu, Bandung, Cilacap, Sukabumi, Tangerang, dan Tasik Malaya, sedangkan di Jawa Tengah ialah kabupaten Cilacap, Pati dan Sragen. Kehilangan produksi padi pada tahun EL-Nino di kabupaten-kabupaten ini meningkat tajam dari sekitar kurang dari 5000 ton menjadi lebih dari 50,000 ton (Gambar 12). Gambar 10. Sebaran wilayah rawan kekeringan menurut Kabupaten (Ditlin 2002a) Gambar 11. Sebaran wilayah rawan banjir menurut kabupaten (Ditlin, 2002b) Gambar 12. Kehilangan produksi padi per kabupaten di Jawa pada tahun El-Nino (1991 dan 1994) dan bukan El-Nino (1992, 1993). Sumber: Boer (2002b) Banyak teknik lain yang dapat digunakan dalam menilai tingkat kerawanan diantaranya penyusunan peta tingkat kerawanan terhadap kekeringan berdasarkan kejadian deret hari kering (data hari tidak hujan yang terjadi secara berturut-turut; Boer dan Las, 1997), neraca air atau lengas tanah (e.g. Turyanti, 1995; Suharsono et al., 1995; Setiawan, 2000), atau penggunaan teknologi satelit (Kushardono et al., 1999). 4. Peningkatan Kemampuan Adaptasi Untuk menurunkan dampak negatif akibat kejadian iklim ekstrim atau penyimpangan iklim, maka kemampuan adaptasi terhadap kejadian tersebut perlu dilakukan. Pengamatan terhadap data anomali produksi padi nasional dari tahun 1979-1997 menunjukkan bahwa penurunan produksi akibat iklim ekstrim (penyimpangan iklim) cendrung meningkat (Gambar 13). Hal ini ditunjukkan oleh semakin melebarnya perbedaan antara anomali produksi tahun-tahun ekstrim dengan tahun-tahun normal. Jadi teknologi budidaya tanaman padi pada saat ini umumnya masih diarahkan untuk peningkatan produktivitas bukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya iklim ekstrim, sehingga sistem produksi padi nasional menjadi rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Gambar 13. Anomali produksi padi nasional pada tahun normal dan tahun ekstrim (tahun ENSO dan nonENSO). Sumber: Boer dan Las (2002) dan Jones and Boer (2003). Upaya untuk mengatasi kehilangan produksi padi akibat kegagalan panen pada tahun ekstrim sudah dapat diupayakan dengan cara Meningkatkan areal perluasan pada daerah-daerah yang tidak rawan terhadap kejadian El-Nino seperti pada lahan rawa lebak mengurangi atau menghindari penanaman pada daerah yang rawan terhadap kejadian El-ENSO atau kalau akan diusahakan dipilih tanaman yang berumur pendek, varietas yang tahan kering atau pada daerah tersebut terdapat sumberdaya day air alternatif yang potensial seperti air tanah. Meningkatkan indeks penanaman sampai 300% (tiga kali tanam dalam setahun atau IP300), kususnya pada tahun La-Nina karena adanya peningkatan hujan yang cukup signifikan pada musim kemarau (lihat Gambar 3 dan 9). Meningkatkan pemahaman petani dan adopsi petani terhadap informasi ramalan iklim dan kemampuan mereka dalam memanfaatkannya untuk mengatur strategi pengelolaan tanaman. Badan Litbang Pertanian telah mencoba mengidentifikasi lahan yang potensial untuk pelaksanaan IP300 khususnya pada tahun berlagsungnya kejadian La-Nina dan perluasan areal tanam pada lahan rawa lebak pada tahun El-Nino (Las et al., 1999; Irianto et al. 2001; Alkusumah et al., 2001). Hasil kajian menunjukkan bahwa pada tahun basah (La-Nina) diperkirakan terdapat sekitar 3.248 ribu ha sawah irigasi yang dapat ditanami pada MK-II, sedangkan pada kondisi normal luasnya sekitar 1.250-1.500 ribu ha, terutama lahan sawah yang berada zona head (hulu) dan tengah (middle) di wilayah irigasi. Potensi daerah pertanaman padi untuk pelaksanaan IP padi 300 pada beberapa propinsi di Indonesia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Lahan Sawah Irigasi Potensial untuk Pengembangan IP Padi 300 Propinsi Luas Lahan Yang Sesuai (ha) El-Nino La-Nina Normal Jawa Barat 196.478 435.746 304.023 Jawa Tengah 148.097 279.595 230.434 D.I. Yogyakarta 15.705 23.835 19.140 Jawa Timur 208.861 377.502 268.574 Bali - 10.562 7.313 NTB 13.186 69.700 43.327 Sumatera Barat 56.161 70.928 71.689 Lampung 13.718 41.569 37.574 Sumber : Las et al. (1999), Irianto et al. (2001) Potensi perluasan areal penanaman padi di Lahan rawa lebak pada tahun El-Nino juga cukup potensial. Saat ini lahan rawa lebak yang telah dibuka untuk lahan pertanian sekitar 261.377 ha dari total lahan sekitar 14 juta ha yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Widajaya Adhi, 1986, Swamps-II, 1991). Dari hasil kajian yang dilakukan diperoleh bahwa pada kondisi normal luas lahan rawa lebak yang sesuai untuk dikembangkan padi sawah sekitar 564.177 ha yang terdiri dari lebak pematang, labak tengahan dan lebak dalam. Pada kondisi El-Nino luasnya meningkat menjadi 801.874 ha yang tersebar di Sumsel, Lampung, Riau dan Kalsel (Tabel 5). Tabel 5. Luas Lahan rawa Lebak Potensial Untuk Dikembangkan tanaman Padi Propinsi Luas Lahan Yang Sesuai (ha) Normal El-Nino Sumatera Selatan 200.411 368.685 Lampung 79.0113 113.603 Riau 131.768 137.945 Kalimantan Selatan 152.987 181.641 Total 564.177 801.874 Sumber: Alkusumah et al. (2001). Penanaman padi pada rawa lebak biasanya hanya satu kali yaitu pada musim kemarau saat muka air tanah turun. Pada saat El-Nino berlagsung, luas areal yang muka air tanahnya turun dan memenuhi syarat untuk penanaman padi semakin meluas. Upaya untuk meningkatkan kemampuan berbagai sektor terhadap kejadian iklim ekstrim harus segera dijadikan sebagai salah satu program nasional karena hal ini akan sangat diperlukan dalam meningkatkan ketahanan sektor terhadap kemungkinan terjadinya perubahan iklim global di masa yang akan datang. Pada kondisi iklim yang berubah diperkirakan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan meningkat. Hasil penelitian LAPAN menunjukkan bahwa pada kondisi konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dua kali lipat dari konsentrasi saat ini, diperkirakan frekuensi kejadian ENSO yang saat ini terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan meningkat menjadi sekali dalam 2-5 kurun dengan intensitas yang lebih kuat (Ratag et al., 1998). Kebijakan di atas sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan dana konvensi perubahan iklim untuk mendukung kegiatan di berbagai sektor pembangunan, khususnya pada sektor yang diperkirakan rentan terhadap kejadian iklim ekstrim dan perubahan iklim. Dalam pertemuan COP7-II di Bonn tanggal 16-27 Juli 2001 telah diadopsi keputusan yang terkait dengan masalah pendanaan (disebut sebagai Bonn Agreement) yaitu disediakannnya dana untuk negara berkembang dan Terkebelakang (Document FCCC/CP/2001/L.14) dalam mendukung pelaksanaan kegiatan adaptasi yang disebut dengan Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund). Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund) diperuntukkan untuk membantu negara berkembang untuk melaksanakan kegiatan adapatasi, alih teknologi, upaya penurunan emisi dan pelaksanaan upaya diversifikasi ekononomi. Ke tiga dana tersebut di atas akan dikelola oleh GEF (Global Environment Facility2). Negara-negara di bawah MEE beserta Canada, New Zealand, Norway dan Switzerland sudah menyatakan siap untuk memberikan sumbangan sebesar US$410 juta per tahun mulai tahun 2005 dan akan di review lagi pada tahun 2008. Di dalam kesepakatan Bonn lebih lanjut dinyatakan bahwa negara maju selain sepakat untuk membantu negara berkembang mencegah atau meminimumkan pengaruh merusak dari perubahan iklim, mereka juga akan membantu menyediakan informasi tahunan bagaimana mereka melaksanakan upaya tersebut di negara mereka. Disamping itu, selain dana Khusus Perubahan Iklim, dana bilateral dan multilateral lainnya dapat juga digunakan untuk membantu pelaksanaan kegiatan terkait seperti: Implementasi kegiatan adaptasi apabila tersedia informasi yang cukup Pemantauan, peramalan dan pengembangan sistem peringatan dini Pembangunan Kapasitas (Capacity Building) dalam menyusun perencanaan, persiapan dan pengelolaan bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim Memperkuat dan membangun jaringan informasi baik nasional maupun regional Untuk mengefektifkan pelaksanaan komitmen dalam konvensi tersebut, telah dibentuk suatu kerangka kerja untuk meningkatkan atau memperbaiki proses alih, dan akses ke, teknologi ramah lingkungan dan tahu bagaimana menggunakannya. Kegiatan yang dicakup dalam kerangka ini meliputi: Penilaian dan penentuan kebutuhan teknologi yang dilaksanakan sendiri oleh negara berkembang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan perubahan iklim Upaya-upaya untuk memfasilitasi aliran informasi teknologi antara stakeholder Pembentukan lingkungan yang kondisif bagi sektor publik dan swasta untuk dalam alih teknologi diantaranya yang berhubungan dengan kebijakan dan penghapusan kendala. Pembangunan Kapasitas negara berkembang dalam beradaptasi, mengelola dan membangun teknologi-teknologi ramah lingkungan Penyusunan mekanisme untuk alih teknologi, diantaranya koordinasi dan kerjasama antara stakeholder untuk mempercepat alih teknologi dan penyusunan proyek dan program. Kesepakatan lain yang penting yang dibuat dalam COP ialah yang terkait kegiatan penelitian dan sistem observasi. Dalam Keputusan Nomor 14 yang dibuat dalam COP 4 (Decision 14/CP.4) dinyatakan bahwa para pihak diminta untuk secara aktif mendukung sistem-sistem pengamatan cuaca, atmosfer, kelautan dan ekosistem bumi lainnya. Dalam kaitan ini negara maju diminta untuk membantu negara berkembang untuk membangun kapasitas sehingga mampu mengumpulkan dan mengolah data baik untuk kepentingan lokal, regional dan internasional. Jadi berarti dana yang dikelola oleh GEF dapat digunakan untuk mendukung kegiatan tersebut. 5. Penutup Keragaman iklim di Indonesia, khususnyu hujan sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO terutama pada wilayah Indonesia yang memiliki tipe iklim monsoon. Upaya untuk memetakan daerah yang rawan terhadap fenomena ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan meteorologis, hidrolgis dan agronomis. Wilayah yang secara meteorologis dinilai rawan terhadap fenomena ENSO tidak harus rawan apabila dilihat dari sisi hidrologis atau agronomis. Oleh karena itu upaya pemetaan wilayah rawan terhadap fenomena ini perlu dilakukan melalui ke tiga pendekatan tersebut. Pendekatan meterologis misalnya akan sangat penting artinya dalam menyusun strategi pengembangan wilayah baru untuk pertanian, pendekatan hidrologis akan penting dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan air,dan pendekatan agronomis diperlukan untuk mengatur strategi pengelolaan tanaman pada tahun-tahun ekstrim. Kajian untuk menilai tingkat kerawanan sektor terhadap kejadian iklim esktrim dan perubahan iklim sangat diperlukan. Contoh kasus pada padi menunjukkan bahwa sistem produksi padi nasional semakin rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Apabila tidak ada upaya atau program yang jelas pada tingkat nasional untuk mengatasi hal ini maka diperkirakan sistem produksi nasional tidak akan mampu beradaptasi dengan kemungkinan perubahan iklim. Selain itu, kemampuan dalam memanfaatkan peluang untuk memanfaatkan dana-dana konvensi tidak akan optimal. Daftar Pustaka Alkusumah et al.. 2001. Identifikasi potensi lahan rawak lebak untuk pengembangan tanaman pangan dalam rangka antisipasi dampak El-Nino. Laporan Hasil Penelitian, Puslitbangtanak. Ardiningsih, E.S., Hidayat, A., Koesmaryono, Y., Ratag, M., Sribimawati, T., Tejasukmana, B.S., dan Winarso, P. 2000. Strategi pengelolaan masalah iklim di Indonesia. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Peberbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta. Boer, R dan Las, I. 1997. Metode untuk penentuan tingkat kerawanan kekeringan: Kasus untuk daerah pertanaman padi sawah tadah hujan di Jawa Barat. Jurnal Agromet 12:1-9 Boer, R dan Las, I. 2002. Sistem produksi padi nasional dalam perspektif kebijakan iklim global. Paper disajikan dalam Seminar Padi Nasional di Sukamandi. Boer, R. 2002a. Teknik pemetaan daerah rawan bencana alam akibat kejadian iklim ekstrim. Bahan Pelatihan Iklim untuk Tenaga Pengamat OPT, Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta. Boer, R. 2002b. Pre-assessment of vulnerable sites to extreme climate events: Site selection for pilot project on crop management and extreme climates. Report Submitted to Asian Disaster Preparedness Centre-Bangkok. Boer, R. 2003. Penambatan Karbon Sebagai Bentuk Sistem Usaha Tani. Prosiding Seminar Nasional ‘Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian’, Badan Litbang Pertanian Jakarta, tanggal 25 Oktober 2002 (dalam percetakan) Ditlin. 2002a. Penyebaran daerah rawan kering di wilayah pertanaman padi Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman, Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Ditlin. 2002b. Penyebaran daerah rawan banjir di wilayah pertanaman padi Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman, Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta IRI. 1995. Historical observations and Trends. International Research Institute for Climate Prediction. USA. Irianto, G., I. Amien, Irsal Las, B. Rachman. 2001. Pengelolaan air berbasis pulau untuk mengantisipasi kelangkaan air dan mencapai ketahanan pangan. Laporan Hasil Penelitian. Puslittbangtanak. Jazis, Boer, R., Jusmin et al. 1999. Analisis Bencana Alam Banjir pada Tanaman Padi di Indonesia (Analysis of flood in paddy field). Laporan Proyek PKPN-MPMP Pusat. Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Jones, R., and Boer, R. 2003. Assessing current climate risk. Technical Paper for Adaptation Policy Framework. United Nation Development Program, New York (being reviewed by expert panel). Las, I., Boer, R., Syahbudin, H., Pramudia, A., Susanti, E., Surmaini, K., Estiningtyas, W., Suciantini, Apriyatna, Y. 1999. Analisis peluang penyimpangan iklim dan ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP padi 300. Laporan Penelitian ARMP-II, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Loebies, J. 2001. Pengaruh kejadian iklim ekstrim terhadap sumber daya air. Paper disajikan dalam Seminar Nasional “Peningkatan Kesiapan Indonesia dalam Implementasi Kebijakan Perubahan Iklim” Bogor. NOAA, 1994. Report to the Nation. University of Columbia and National Oceanic and Atmospheric Adminsitration. USA. Setiawan, A.C. 2000. Analisis wilayah rawan kekeringan untuk pengembangan wilayah pertanian padi gogo di Sulawesi Tenggara. Draft Tesis, Program Studi Agroklimatologi, Pasca Sarjana IPB, Bogor. Sribimawati, T., Ratag, M.A., Pawitan, H., Pariwono, J., Sulistiya, W., Boer, R., Gunardi, Hidayat, A., Widodo, H.F., dan Purwandhani, A. 1999. Kajian kebijakan nasional dalam rangka penanganan perubahan iklim global. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Peberbangan dan Antariksa Nasional, bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. Stone, R., and Hammer, G.L. 1996. Prediction of global rainfall probabilities using phases of the southern Oscillation Index. Nature 384:252-255. Suharsono, H., Handoko, I., Pawitan, H., Hidayati, R. Las, I., dan Boer, R. 1995. Neraca air lahan kabupaten di Indonesia. Laporan Penelitian Kerjasama LP-IPB dan Agriculture Research Management Project, Bogor. Tjasyono, B. 1997. Mekanisme fisis para, selama, dan pasca El-Nino. Paper disajikan pada Workshop Kelompok Peneliti Dinamika Atmosfer, 13-14 Maret 1997. Turyanti, A. 1995. Sebaran indeks kekeringan wilayah Jawa Barat. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB, Bogor.

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer