Profil Kabupaten MUna

Kabupaten Muna adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia, dengan Ibu kota di Raha. Kabupaten ini terletak diantara 406 - 5.15 Lintang Selatan dan 120.00 123.24 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Muna disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kendiri dan Selat Tiworo, disebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton, Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda, dan sebelah Barat berbatasan dengan Selat Spelman. Luas wilayah Kabupaten Muna 4.887 Km2 yang terbagi menjadi dua puluh sembilan kecamatan. Luas wilayah Kabupaten Muna sebagian besar merupakan hutan. Dari seluruh lahan 488.700 hektar hampir separuh (48,2 persen) berupa hutan produksi, hutan lindung, dan hutan wisata. Di wilayah yang memiliki banyak hutan ini menjadikan Jati sebagai primadonanya. Bagi daerah ini, kuli dawa yang artinya kayu jawa atau kayu jati cukup tergolong istimewa. Pasalnya tidak banyak daerah di Indonesia yang mampu menghasilkan tanaman ini. Di wilayah Muna yang tergolong kering dan tandus, jati diperkirakan tumbuh dan berkembang sejak abad ke-14 sebagai hutan jati alam. Di sektor pertanian, kabupaten ini menghasil komoditi seperti Padi, palawija, sayuran, dan buah-buahan seperti kacang panjang, tomat, terung. Untuk produk perkebunan yang diupayakan oleh petani kabupaten ini antara lain Kelapa, kopi, kapuk, jambu mete, dan kakao adalah. Jambu mete menempati urutan pertama sebagai hasil perkebunan yang paling menguntungkan. Jambu mete ditanam untuk menaklukkan alam Muna yang terbilang tandus, panas, dan gersang. Mete tidak hanya menghijaukan Muna, melainkan sekaligus menambah pendapatan petani. Daerah penghasil mete adalah Kecamatan Tongkuno, tempat dipeloporinya penanaman komoditas ini, disusul Kecamatan Bonegunu dan Kecamatan Lawa. Selain jambu mete, komoditas lain yang merupakan unggulan kabupaten ini adalah jagung. Daratan pulau Muna yang umunya mengandung batuan gamping (bertanah kapur) sangat cocok untuk tanaman jagung. Komoditas ini merupakan tanaman tradisional karena jagung sampai sekarang masih menjadi bahan makanan pokok penduduk di samping beras dan umbi-umbian. Di sektor peternakan, industri pakan, mendorong tumbuhnya kembali usaha peternakan unggas, ayam peternakan, maupun ayam potong kampung. Muna dikenal penghasil telur dan peternak ayam potong kampung. Produksi tersebut dipasarkan ke Kota Kendari dan Bau-Bau. SEJARAH KABUPATEN MUNA. Memasuki Kota Muna, Sulawesi Tenggara, tidak boleh sembarangan. Berjalan kaki saja dilarang, apalagi menunggang kuda. Ini tak lain untuk menjaga etika dan sopan santun. Yang boleh menunggang kuda hanya para pejabat tinggi. Kalau sudah mendekati rumah kediaman perdana menteri, penunggang kuda juga harus turun, lalu berjalan kaki ke tempat tujuan di kota tersebut. Budaya dan tatakrama di Kota Muna adalah potret sepenggal sejarah Kerajaan Muna di masa lampau, sebagaimana diungkapkan Jules Couvreur dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001. Couvreur cukup memahami sejarah dan kebudayaan Muna, salah satu etnis yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Sebab, dia adalah pegawai pemerintah kolonial Belanda yang pernah menjabat sebagai kontroler (setingkat bupati) di Kerajaan Muna selama kurang lebih dua tahun (1933-1935). Selama kurun waktu itu dia tekun menggali sejarah dan kebudayaan daerah tersebut. Ketika Couvreur meninggal dunia di Den Haag, Belanda, pada tahun 1971 dalam usia 70 tahun, naskah yang ditulisnya tahun 1935 itu masih dalam bentuk stensilan berbahasa Belanda. Stensilan itu kemudian diterjemahkan Dr Rene van den Berg, dosen linguistik dan peneliti bahasa Muna di Darwin, Australia. KOTA Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang. Orang Muna sebetulnya menyebutnya Wuna, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi. Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu tumbuh dan menyerupai bunga. Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut Bahutara yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu Sawerigading, tokoh asal Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak batu karang. Para pengikutnya sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di jazirah Sulawesi Tenggara. Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan Lakilaponto sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut. Setelah Lakilaponto ditunjuk menjadi Raja Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La Posasu, adik Lakilaponto. Pengangkatan Lakilaponto sebagai Raja Buton merupakan hadiah dari raja yang sedang berkuasa atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton. Setelah menjadi raja dan kemudian bergelar sultan, menyusul diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, Lakilaponto mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La Posasu, untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar. Hubungan persaudaraan di antara kedua kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut. Tiga bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat bharata. IHWAL pembangunan Kota Wuna, Couvreur mengutip kepercayaan mistis bahwa dalam pembangunan benteng kota itu oleh Lakilaponto dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab, seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar ibu kota kerajaan tersebut, La Posasu sebagai pengganti Lakilaponto juga mendirikan bangunan tempat perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna. Fasilitas publik lainnya di Kota Wuna adalah masjid. Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625). Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama. Masjid di Kota Wuna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau. Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Kota Wuna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938). Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya," tutur Sirad Imbo. Karena selama memangku raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid). Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sultra, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna. KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas. Gambaran Muna Kabupaten Muna dibentuk melalui fase-fase (tahapan pemerintahan) sebagai berikut : A. Fase I (Pertama), Pemerintahan Swapraja Pemerintahan Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di Kota Wuna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan dilakukan secara cerdik para tokoh dan rakyat pejuang daerah Muna baik perorangan maupun organisasi perjuangan antara lain Batalyon Sadar (Serikat Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka dipimpin oleh para tokoh dianataranya, Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti Goladria, Laode Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe. S B. Fase II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan Pada fase ini dengan dibubarkan Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20 Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi Tenggara, pemerintahan Muna beralih status menjadi Kewedanan bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka. Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dan dalam sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin, Abdul Razak, Ngitung, Andi Pawilloi, H Lethe, H Suphu Yusuf, Andi Jamuddin, dan F Latana. C. Fase III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna Bupati Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31 Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, dengan menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain, Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, sehingga untuk kepentingan perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi Tenggara berangkat ke Jakarta. Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf. Hasil perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Januari 1955. Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan dan pemekaran kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua Kewedanan, maka terjadilah polemik dan protes dari para tokoh masyarakat dan pemuda baik di Muna maupun di Makassar. Karena tujuan akhir terbentuknya Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan untuk rasa selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan kenyataan tersebut, Ketua Adat Muna, Laode Pandu mengadakan rapat pada hari Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, membicarakan tentang status daerah-daerah otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna diperjuangkan untuk menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada Laode Rasjid dan Laode Ado untuk melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan langkah perjuangan untuk terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk daerah persiapan pembentukan Kabupaten Muna. Pemberi mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak 102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna), membentuk panitia pembentukan kabupaten Mna yang ditanda tangani oleh Laode Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat lainnya. Tanggal 2 September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha yang Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi Laode Tuga, disetujui oleh Raja Muna di Makassar dengan Ketua Laode dan sekretaris Ando Arifin. Tanggal 8 Februari 1958 dibentuknya Panitia Penuntut Kabupaten Muna di Makassar degan ketua Laode Walanda, Notulis Laode Hatali dan disyahkan oleh Ketua Delegasi Laode Muh. Idrus Efendi. Tanggal 20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang bunyi pernyataan, Menyetujui terbentuknya Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada perundingan-perundingan yang akan datang. Sebagai realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat tersebut ialah, Drs Laode Manarfa, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Laode Falihi, Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A Salam dan Laode Hude masing-masing Kepala Distrik yang diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton, sebagai yang mewakili Buton. Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna. Wujud dari pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang Delegasi Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La Sipala, Laode Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang dana keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati. Hasil perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi dibagi 4 (empat) propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan para delegasi agar dipenuhi syarat-syarat berdirinya propinsi Sulawesi Selatan Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna. Pada tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan Buton, Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima orang dari staf Kepala Daerah, empat KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode Manarfa dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H Abdul Halik (Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab (Kolaka). D. Fase IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna Setelah melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh pejuang Muna, dan dilakukan tanpa pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai pertimbangan yang logis dan pertimbangan strategis, oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha. Pada awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik, red) yaitu distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari empat distrik itu belum memenuhi kriteria untuk membentuk suatu kabupaten, maka diadakan pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh Masyarakat Tiworo Kepulauan, yang pada saat itu ketiga distrik tersebut adalah distrik Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba diwakili oleh Laode Hami dan Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La Baranti. Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh - tokoh tersebut untuk bergabung dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten Muna sudah tidak ada masalah lagi. Dengan terbentuknya Kabupaten Muna, secara administratif dan yuridis pada tanggal 2 Maret 1960, maka para Bupati yang menjabat sebagai Bupati Muna, adalah, LAODE ABDUL KUDUS 02-03-1960 S/D 03-03-1961, LETTU INF. M THOLIB 21-06-1961 S/D 13-07-1965, LAODE RASYID 11-11-1965 S/D 03-12-1970, DRS LA UTE 13-12-1970 S/D 22-04-1974, DRS LAODE KAIMOEDDIN 22-04-1974 S/D 10-03-1981, DRS LAODE SAAFI AMANE 10-03-1981 S/D 10-03-1986, DRS MAOLA DAUD 1986 S/D 1997, KOL ART H M SALEH LASATA 3-10-1997 S/D 1999, KOL INF H M DJAMALUDDIN BEDDU 1998 S/D 2000 RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati) periode TAHUN 2000-2005, RIDWAN BAE DAN Drs H LA BUNGA BAKA PERIODE TAHUN 2005-2010 Jabatan Ketua DPRD Kabupaten Muna adalah, PELTU BABASA, KAPTEN MAHMUD A, KOL CHB M YASIN USMAN, CHK M A RACHMAN SH, Drs LAODE MARADALA, dan Hj WA ODE ZAENAB HIBI. Di samping para pejabat Bupati Definitif sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mengisi kekosongan dalam proses pemilihan Bupati, maka Gubernur Sulawesi Tenggara menunjuk beberapa pelaksana Bupati agar tidak terjadi kefakuman dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat. Adapun pelaksana Bupati adalah, La Tana, Laode Saafi Amane, Ahmad Djamaluddin SH, Laode Moh Saleh SH, Drs H Badrun Raona. Pejabat SEKWILDA sejak terbentuknya Kabupaten Muna adalah, Drs Laode Arifin, Drs Laode Saifudin Misbah, Drs Muh Kasim Andi, Drs LM Shalihin Sabora, Drs Laode Majid Olo, Drs Laode Nsaha, Drs Muh Yusuf, Drs H Badrun Raona, Drs P Haridin, Drs H Laode Kilo.(int/jum) Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Wuna saat ini hanyalah bangunan masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Muna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu. Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Menurut Sirad Imbo, ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk aslinya. Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut," ujar Sirad, yang juga salah satu putra La Ode Dika. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan raja-raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam. Sisa-sisa ataupun reruntuhan benteng Kota Wuna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun, Sirad mengaku bahwa pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar. Kota Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang. Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut Sirad, ada rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Muna sebagai miniatur Kota Wuna beberapa abad silam Leluhur Muncul dari Bambu MITOS asal-usul manusia yang menjadi penguasa di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara mempunyai versi yang sama. Wakaka, ratu pertama Kerajaan Buton, diceritakan datang dari China dan pada awalnya ia muncul dari lubang bambu kuning di dalam kompleks Keraton Buton sekarang. Leluhur keturunan mokole (raja) di Kabaena (kini Kabupaten Bombana) juga dimitoskan muncul dari bambu yang biasa dipakai membuat nasi bambu. La Eli alias Baidulzamani, yang disebut sebagai raja pertama di Pulau Muna, menjadi legenda masyarakat Muna bahwa ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, lalu muncul dari dalam lubang bambu saat ditemukan manusia yang telah lebih dulu membangun koloni di Wamelai dalam wilayah Tongkuno. Setelah diangkat menjadi raja, Baidulzamani diberi gelar Bheteno ne Tombula (’Manusia yang Dilahirkan di dalam Bambu). Adapun permaisuri bernama Tandi Abe, juga dikabarkan berasal dari Luwu. Konon ia terdampar di Napabale, sebuah laguna di pantai timur Pulau Muna dan kini menjadi salah satu obyek wisata. Salah seorang putri Raja Luwu tersebut dengan menumpang sebuah talam besar pergi ke arah timur mencari pria yang telah menghamilinya. Talam itu telah menjadi batu sekarang. Pria yang dicari tak lain adalah Baidulzamani yang telah lebih dulu berada di daratan Muna. Setelah dipertemukan mereka pun dikawinkan dan menetap di Wamelai. Perkawinan itu melahirkan tiga anak. Salah seorang di antaranya bernama Kaghua Bhangkano yang kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar Sugi Patola. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. Lakilaponto Raja Muna VII dan Raja Buton VI lalu menjadi Sultan Buton pertama dengan sebutan Murhum (almarhum) setelah mangkat, berasal dari garis keturunan sugi tersebut. TITAKONO, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Titakono mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Titakono harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode. Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar la ode. La Marati menyetujui penetapan posisinya seperti itu karena menyadari bahwa ayahnya, La Pokainsi, bukan keturunan sugi. Kendati ibunya, Wa Ode Pogo, adalah keturunan sugi dan saudara kandung dari Lakilaponto, La Marati dan keturunannya sudah digariskan menjadi golongan Walaka. Dalam struktur pemerintahan kerajaan, golongan Walaka berhak menduduki jabatan bhonto bhalano, sebagaimana yang telah dirintis La Marati. Sementara untuk jabatan raja sudah digariskan harus mereka yang bergelar la ode. Lapisan ketiga dalam masyarakat Muna di masa lampau adalah golongan Maradika, rakyat biasa. Selain menetapkan penggolongan masyarakat, duet Titakono-Marati juga membentuk dewan adat atau Sarano Wuna. Ketika itu Sarano Wuna terdiri atas enam anggota, yaitu raja, bhonto balano, dan ke-4 ghoerano (empat kepala wilayah yang menjadi basis utama Kerajaan Muna). Mereka adalah ghoerano Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu. Anggota Sarano Wuna kemudian bertambah sejalan dengan perkembangan wilayah kekuasaan. Sejarah penemuan laying-layang Layang-layang atau biasa disebut Kaghati, adalah permainan yang telah mendunia sejak masa Pra Pradaban. Selain sebagai olahraga, ternyata permainan ini juga mempunyai makna tersendiri seperti layang-layang diBali diadakan untuk memuja Dewi Sri saat musim panen tiba. Layang-Layang di Cina untuk memantau musuh dari luar tembok raksasa Cina, Sedangkan diKab. Muna Sulawesi Tenggara Layangan Kaghati ini memiliki 5 fungsi : - Olah raga - Seni - Pendidikan Manajemen - Menyampaikan Rasa Syukur Kepada Tuhan atas keberhasilan Panen - Dan sebagai media untuk mencari kebesaran Tuhan Sejak Cina mengklaim sebagai daerah penemu layang-layang pertama, saya pun mencoba menelusuri asal mula layang-layang di Kabupaten Muna. Dimana relief Layang-layang di salah satu Gua Liangkobhori merupakan bukti dan fakta yang terdapat pada bahan-bahan yang digunakan pada Layangan Kaghati yang masih serba alami, tidak dapat ditepis lagi bahwa layangan Kaghati di Kabupaten Muna ditemukan sebelum manusia mengenal api yaitu 30.000 Tahun Sebelum Masehi. Bahan-bahan yang terdapat pada layangan kaghati masih menggunakan bahan dari alam seperti : - Daun Ubi Hutan /Kolope - Bambu Kecil/ Owulu - Dan talinya menggunakan Daun Nanas Hutan Objek wisata kab. MUna Liang (gua) kobhori Kebudayaan Aduh Kuda Tradisi dan Wisata WISATA -"Lia Ngkobori atau [gua bergaris/bertulis Adalah dua buah goa besar peninggalan nenek moyang bangsa Muna. Muna yang dalam kitab sejarahnya adalah mendapat gelar KOTA ARABIA LAMA karena keadaan negerinya yang menyerupai Arabia."Pada dinding goa /lia ngkobori. bisa disaksikan lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan suku Muna pada masa itu seperti perjuangan suku Muna dalam mempertahankan hidupnya yang digambarkan seorang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa yang menggambarkan tingkat pertanian suku Muna, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda dan lain-lainnyap.Walaupun relief atau gambar tsb. terkesan sederhana tetapi kita dapat menangkap arti makna yang jelas yaitu keberadaan suku Muna pada saat itu. Selain gua yang melukiskan relief terdapat pula gua yang didiami oleh burung walet. Gua tsb. mempunyai stalaktit dan stalaknit yang sangat indah dengan warna yang cenderung hitam mengkilap. Apabila kita menyelusuri gua kecil kita akan menyaksikan keindahan batu yang berbentuk bulatan-bulatan berwarna putih. Kawasan gua tsb. sangat cocok untuk rekreasi dan berkemah, berhawa sejuk dengan alamnya yang asli. Jarak menuju obyek ini sekitar satu jam atau sekitar 20 Km dari kota Raha ke arah Timur. TRADISI -"Perkelahian Kuda merupakan salah satu atraksi yang terkenal di Sulawesi Tenggara yang hanya terdapat di Muna.Perkelahian kuda diadakan pada berbagai acara atau perayaan. Penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus.Seekor kuda betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuk. Cukup sulit untuk mencari tahu dengan pasti asal usul masyarakat Muna karena sulitnya untuk mendapatkan naskah sejarah yang otentik. Tapi masyarakat Muna khususnya Raha memiliki bukti sejarah yang lebih dari sekedar naskah yaitu Goa Mabolu yang mempunyai beberapa situs sejarah yang oleh masyarakat setempat dinamakan liang. Situs sejarah ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional sejak 1978. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, penghuni pertama Raha tinggal di goa ini dan meninggalkan jejak coretan atau lukisan di dinding goa yang dipercaya telah berumur ribuan tahun. Kawasan Goa Mabolu ini memiliki 10 liang yang masing-masing memiliki lukisan berbeda yang menceritakan pola hidup penghuninya dan dua diantaranya begitu terkenal yaitu Liang Kabori dan Liang Metandono karena memiliki kisah yang paling menarik serta jaraknya berdekatan. Liang Kabori memiliki 130 lukisan dinding goa yang didominasi oleh gambar-gambar yang mewakili kegiatan penghuninya pada waktu itu yaitu berburu. Kabori yang dalam bahasa Muna bermakna perempuan diyakini sebagai tempat tinggal kaum perempuan pada masa itu. Tak jauh dari Liang Kabori, terdapat Liang Metandono yang memiliki 310 lukisan dan merupakan yang terbanyak diantara liang lainnya. Lukisan hewan bertanduk mendominasi dinding Liang Metandono, sesuai dengan namanya Metandono yang bermakna hewan bertanduk. Pada bagian dinding tertentu terdapat serangkaian gambar yang menyerupai sebuah cerita tentang beberapa orang berburu bersama dengan seekor anjing, menunjukkan bahwa lukisan ini mewakili kegiatan penghuninya yang juga berburu. Lukisan lain yang menarik di sini adalah lukisan seorang prajurit tanpa kepala, masyarakat percaya bahwa lukisan tersebut bermakna bahwa pada masa tersebut telah terjadi peperangan dan pembunuhan. "Metandono dalam bahasa Muna juga memiliki makna laki-laki, sehingga juga diyakini sebagai tempat tinggal kaum laki-laki pada masa itu, terpisah dengan kaum perempuan yang tinggal di Liang Kabori", terang Bapak Samada, sang juru kunci yang telah lebih dari 30 tahun menjadi pemandu bagi pengunjung Goa Mabolu. Selain kedua liang tersebut, situs sejarah yang telah dipugar pada 1992 ini masih memiliki 8 liang lainnya dengan kisah yang kontroversial, yaitu salah satu liang yang memiliki lukisan seseorang yang sedang bermain layang-layang. Sampai saat ini, lukisan tersebut sedang diteliti oleh seorang berkebangsaan Jerman untuk menentukan tahun pembuatannya. Fakta ini cukup kontroversial, karena berpeluang untuk mematahakan anggapan selama ini yang menyebutkan bahwa masyarakat Cina merupakan penemu layang-layang. Tak heran jika peneliti tersebut setelah mengunjungi Raha kemudian memberi julukan kepada tempat ini sebgai "Island of The First Kiteman", sesuai dengan judul buku yang ditulisnya. Bukti ini diperkuat dengan fakta bahwa sampai saat ini masyarakat Raha yang masih membuat layang-layang tradisional yang terbuat dari daun, dan memancing ikan dengan menggunakan layang-layang. Wisata Danau Napabale Danau Napabale terletak di kaki bukit, dihubungkan ke laut melalui sebuah terowongan alami. Pada saat air laut surut para pengunjung dapat melintasi terowongan tsb. Namun apabila air laut sedang pasang sangat berbahaya untuk berenang karena air laut akan naik sampai ketinggian setengah meter di atas terowongan alam tsb. Danau Napabale tsb. letaknya ± 15 Km dari Raha ibukota Muna. Danau Motonunu Danau Motonunu merupakan danau yang jernih dan berwarna biru tua, danau ini juga berhubungan dengan laut dan airnya tidak mengandung garam tapi dapat menyegarkan badan. Danau Motonunu terletak ± 15 Km dari Muna. Labuan Belanda (Oeng Kapala) Pada saat perang dunia II pelabuhan ini dijadikan tempat persembunyian kapal Belanda. Tempat tsb. merupakan saksi sejarah bahwa aksi kolonial Belanda tidak hanya bercokol di pulau besar saja. Tempat tsb. telah dijadikan sebagai rute tetap kapal New Zealand, Australia. USA. Setiap tahun bersandar 50 – 70 kapal layar, biasanya pada bulan Agustus dan Oktober. Pelabuhan Belanda ini sekarang merupakan kawasan wisata taman laut yang cukup eksotik dengan ragam biota lautnya dan sangat cocok untuk melakukan diving dan berenang. Pelabuhan ini dapat dicapai sekitar 3 jam dengan menggunakan speed boat dari kota Raha. Tarian Kabupaten Muna Tari Pari dan Tari Kamba Wuna Tari Pari ini di ciptakan oleh seorang Raja di Pulau Muna. Raja ini dipercaya pernah menangkap dan memperistri seorang dari tujuh bidadari kayangan yang turun mandi di sebuah sungai di pulau ini. Kisah tersebut diapresiasikan dalam gerak dan musik dari tarian ini. sedangkan tari Kamba Wuna adalah bahasa Muna yang artinya kembang Muna. Tarian ini khusus digelar untuk penjeputan tamu penting dan wisatawan. Tariannya dilakukan secara missal oleh para gadis Muna dengan gerakan lemah gemulai mengikuti irama gendang pogada yang berirama keras. Gerakannya cepat sebagai luapan hasrat untuk membangkitkan semangat dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para tamu dan wisatawan. Tarian Linda Menurut Etimologi penamaan Linda berasal dari bahasa Daerah Muna yang berarti menari berkeliling, laksana burung yang terbang, berkeliling dengan sayap yang terkembang indah. Tarian ini adalah salah satu tarian rakyat di daerah muna yang telah lama berkembang di tengah-tengah masyarakat seiring dengan pertumbuhan tradisi adat di daerah itu. Tarian Linda lahir di tengah-tengah masyarakat muna di sekitar abad ke-16,yakni di masa pemerintahan Laposasu (kobang kuduno). tarian ini di ciptakan sebagai suatu perwujudan tradisi masyarakat di daerah muna dalam hal pemingitan anak-anak mereka di kala memasuki alam ke dewasaan. Pertumbuhan tarian tersebut kemudian meluas sampai kedaearah buton,sehingga sekarang ini telah menjadi tarian tradisional yang sangat popular di kea daerah tersebut. Pelakunya terdiri dari wanita yang jumlahnya terbatas sampai enam atau delapan orang saja.pakaian mereka terdiri dari baju kombo yang bahannya terdiri dari kain polos.leher dan pinggir bawah dibis dengan warnah merah.seluruh pakain ini di hiasi dengan manik-manik yang tebuat dari perunggu.sarungnya di buat empat lapis.dimana lapisan yang paling dalam berwarna merah,kemudian menyusul warna hijau,putih,dan paling luar berwarna hitam. Kepala mereka dihiasi dengan beberapa hiasan seperti tiga buah panto(gelang kepala)di pasang pada bagian atas dari pada konde penari yang telah di lingkar dengan bandol konde dari kain berwarna merah yang di hiasi pula dengan picing dan manik-manik pada bagian belakang kepala di pasang kabunsale yang berwarna merah.mereka juga memakai kalung leher dan beberapa gelang di kedua tangan mereka. Pakaian ini khusus di gunakan pada saat seorang gadis keluar dari pingitan (kagombo) untuk melaksanakan tari Linda. cara memakainya yaitu penari-penari keluar dari dua penjuru dengan gaya lego (berlengang)setelah menghadapi penonton,mulailah gerakan pertama.kedua tangan mengambil selendang yang melilit di leher dan di bawa ke sebelah kiri,laksana orang yang sedang memetik sesuatu bersamaan dengan gerak kaki yang di gesekan ke kiri sambil mengayunkan kaki kanan ke arah kanan dengan perhitungan tiga dan di balas dengan kaki kiri dengan perhitungan empat.selanjutnya kedua tangan di bawa ke sebelah kanan seperti orang yang sedang memetik sesuatu secara bersamaan dengan gerak kaki kiri ke samping kiri dengan perhitungan satu di balas dengan kaki kanan pada perhitungan tiga dan di balas lagi dengan kaki kanan dalam perhitungan empat. Beberapa fariasi terjadi pada saat pertukaran tempat,mempermainkan selendang dan sebagainya.keseluruhan gerakan dalam tari ini terdiri dari empat belas macam gerakan.pada gerakan penutup,kedua tangan di bawa ke sebelah kiri,seperti orang yang sedang memetik buah.kaki kiri di gerakan ke kiri,kaki kanan di ayunkan ke kanan,dengan perhitungan satu di balas dengan kiri pada perhitungan dua,kemudian di ganti dengan kaki kanan dalam hitungan tiga dan seterusnya sampai mencapai perhitungan empat. Akhirnya kedua tangan melepaskan lilitan selendang dan di sandang ke bahu sebelah kanan.tangan kiri memengang sarung (bini-bini) tangan kanan berlengang ( lego-lego ) pengiring dari tarian ini adalah alat musik gendang,gong,dan dengu-dengu.dengan cara di tabu di pukul. Dahulunya sebelum alat-alat musik tersebut di kenal oleh masyarakat,orang-orang sering menggunakan mata tou,dengan nama musik mata tou. Tarian Linda berfungsi sebagai tarian adat dari daerah kabupaten muna yang selalu di laksanakan dalam upacara karia,oleh gadis-gadis remaja yang di upacarakan.pemain tari Linda berjumlah 6 orang putri,sedang di lagukan laggu kadandio syair lagu berbunyi : YO LAKADANDIO DANDIO LAKADANDIO LADADIMAKA RIMANA LAKADANDIO KAMBOI NGKUKU NERURU RONDANO UE SILONO MATA NEFOPATI LOSUA Adat Perkawinan Pelaksanaan perkawinan di tiworo daratan memakai sistem adat muna, sedangkan untuk tiworo pesisir dan pulau menggunakan sistem adat islam, Karena pada dasarnya tiworo merupakan kerajaan islam. Jadi tiworo daratan nilai adat ditentukan dengan bhoka sedangan di kepulauan ditentukan dengan real. PERKAWINAN DI TIWORO DARATAN Tiworo daratan sama dengan adat muna jadi perkawinan dibagi dalam beberapa bahagian: 1.Kaumu ( Perkawinan antara Bangsawan dengan nilai adat 20 bhoka, untuk nilai 1 bhoka = Rp. 24.000,-) 2.Walaka (Perkawinan antar non bangsawan yang memangku jabatan sara’ , dengan nilai 10 bhoka 10 suku, 1 suku = Rp. 5.000,-) 3.Walaka-kaumu (15 boka) 4.Fitu Bengkau (Perkawinan maradika, 7 bhoka 2 suku) 5.Kodasano (Perkawinan adat terendah dengan nilai bhoka 3 bhoka 2 suku). Kalau Terjadi perkawinan silang antara Kaumu dengan walaka : - Pria dari kaumu perempuan walaka Maharnya tetap menggunakan mahar Kaumu (20 Bhoka) - Pria Dari walaka Perempuan Kaumu maharnya 35 bhoka. Kalau terjadi Perkawinan silang antara kaumu dengan fitu bengkau : a. Pria dari Kaumu Perempuan Fitu bengkau, maka mahar yang digunakan adalah mahar kaumu (20 Bhoka). b. Pria Fitu Bengkau Perempuan Kaumu ( Nefowanu Kamponisa ), jadi maharnya 75 bhoka. Bila Terjadi perkawinan silang antara walaka dengan Fitu bengkau : a. Pria dari Walaka perempuan fitu bengkau (10 bhoka 10 suku)-mahar yang digunakan mahar walaka. b. Pria dari fitu bengkau perempuan walaka maka maharnya menjadi 35 bhoka. c.Pria dari kodasano perempuan walaka maharnya menjadi 75 bhoka PERKAWINAN DI TIWORO KEPULAUAN Suku Bajo 1.bangsawan (lolo bajo), Nilai mahar 88 real 2.Golongan menengah (umum/sama), nilai mahar 44 real 3. Golongan Terendah, nilai mahar 22 real Bila terjadi perkawinan silang antara lolo bajo dengan gol. Menengah a. pria lolo bajo perempuan sama = mengikuti mahar sama 44 real b. Pria Sama perempuan lolo bajo = 88 real + milli tingkolo / membeli kedudukan (tergantung kesepakatan,pada umumnya adalah emas) Bila terjadi perkawinan silang antara lolo bajo dengan golongan terendah a. pria lolo bajo perempuan gol. rendah= 22 real b. pria gol. Rendah perempuan lolo bajo = mahar 88 real + denda (pada umumnya denda berupa tempat tidur 1 set) Bila terjadi perkawinan silang antara sama dengan golongan rendah : a. Pria sama perempuan golongan rendah : mengikuti mahar pada perempuan b. Pria gol.rendah perempuan sama : tetap mengikuti mahar perempuan

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer