cerpen

KISAH KELABUKU

Di kesunyian malam ini aku hanya bias termangu menatap kegelapan malam yang kelabu. Tanpa bulam, tanpa bintamg, tanpa suara merdu binatang malam dan tanpa belaian lembut seorang bunda.
Angin malam yang dingin menusuk hingga ke tulang, masuk melalui kendela yang kubiarkan terbuka. Kuhela nafas panjang, rambut yang panjang kubiarkan terurai, kusut.
“Aaah … !!” hamper saja aku menjerit, kalau tidak ingat, ada sesosok jiwa yang kehilangan bunda dari pada aku, yang lebih hancur. Dia adalah Ayahku.
Dengan langkah lunglai aku menutup jendela tanpa suara. Malam ini begitu dingin dan membuatku gelisah. Beberapa kali aku bolak-balik lelah tubuhku, tapi tak ada posisi yang nyaman. Akhirnya kutatap atap putih kekuningan yang catnya sudah mulai mengelupas. Yang kulihat hanya kosong dan kehampaan.
Tok, tok, suara ketukan pintu mengagetkanku.
“An, dah tidur nak?” Kulihat Ayah dari balik pintu.
“Ee belum yah.” Entah kenap air mataku selalu mengalir bila melihat Ayah. Aku mulai terisak pelan. Ayah segera menghampiriku dan memelukku hangat. Tangisku bertambah keras dalam pelukan Ayah, hingga air mataku membahasi kemejanya.
“Sudahlah nak, yang sabar” ayah membelai rambutlu yang acak-acakan. Kuneranikan diri menatap ayah, mata beliau juga berkaca-kaca. Ayah melepaskan pelukannya dan menatap lembut.
“Anne ankku, tidurlah!” Ayah menggamitku menuju tempat tidur, kemudian beliau keluar dari kamar setelah mengecup dahiku sambil tersenyum, beliau begitu keras menghiburkan. Padahal aku tahu beliau butuh seseorang untuk menguatkanku.


Sudah seminggu Bunda meninggalkan kami. Aku kembali dengan aktifitas belajarku di SMA Al-Ikhlas tercinta walaupun hati masih dirundung duka. Aku jadi terhanyut, dulu Bunda yang menyuruhku sekolah di sini, tapi aku besi keras ingin sekolah bersama teman-temanku yang lain. Dengan penuh kesabaran bunda membujukku. Alasannya belajar mendalami agama lah. Lingkungan kondusif lah, pengajarnya qualified lah. Pokoknya semuanya dijelaskan kepadaku.
“Di sana itu lo nak, extrakulikuler jurnalistiknya sudah maju dan pembimbingnya berkwalitas, Ibu Helvy itu kan teman Bundad. Anne katanya mau jadi wartawan professional!” Terang Bunda sungguh-sungguh akhirnya dengan alas an itu aku mendaftar di SMA Al-Ikhlas.
“Anne ! kok ngelamun ?Ayo ke kantin ! Fatkhi teman sebangkuku membuyarkan lamunanku.
“Eh,mm” Aku masih kaget “nggak deh aku mau di perpus aja” akhirnya keluar jawaban dari mulutku.
“Oh, ya udah, aku duluan yah” Fatkhi meninggalkan kelas. Kulihat sekeliling kelas, masih ada yang di dalam kelas, tadi aku sempat membalas sapaan dan senyum mereka. Gedung perpustakaan letaknya di belakang deretan ruangan kelas. Dekat tempat parker. Perpustakaan terasa begitu jauh di mataku.
Uhh akhirnya sampai juga. Segera ku menuju meja di sudut perpustakaan, tempat langgananku. Sebelum ku ambil majalah secara sembarangan dirak terdekat. Aku sedang nggak mood membaca majalah, itu hanya aku buka-buka acak. Malas aku membacanya. Sebenarnya aku ke perpustakaan hanya ingin menyendiri, lagi merasakan kesepian tanpa Bunda.


Semua berlalu sangat cepat, tak terasa Bunda sudah sebulan pergi. Namun rasa kehilangan ini tak secepat waktu yang meninggalkannya. Masih terasa hampa tanpa Bunda. Sangat sulit menghapus kepedihan. Ayah kulihat sudah mulai membiasakan menjadi seorang Ibu dan Ayah sekaligus dalam mengurusku anak semata wayangnya. Sebagai perempuan tentunya aku sangat membutuhkan kasih saying dan perhatian yang baik. Kata beliau.
Pagi hari sejak subuh Ayah sudah menjarang air dan menanak nasi, sementara aku mencuci piring dan baju kotor, setelah itu menyapu seluruh rumah. Memang sejak dulu Bunda lah yang mengerjakan semua ini, tanpa pembantu. Setelah tugasku selesai aku membantu Ayah. Tugasku adalah membuat sayur atau lauk. Aku lumayan mahir memasak karena Bunda lah yang mengajariku.
“Anak perempuan itu harus bias masak, suatu saat nanti Anne akan menjadi istri seperti bunda, memasak untuk keluarga” Kata Ibu suatu hari sambil mengaduk bubur kacang ijo kesukaanku waktu itu. Aku hanya menangis mendengar kata intri.
Jam 06.00 tepat semua sudah beres, hari ini aku hanya sempat membuat nasi goring dan telur mata sapi setengah matang. Ayah sudah berkemeja rapi saat aku mengenakan sepatu.
“Hmm, baunya ! Bikin laper” Ayah membuka tudung saji dengan senyum mengembang.
“Ah, Ayah ! Itu kan Cuma nasgor”. Jawabku tersipu malu.
“Kok Cuma ? ini kan juga kerja keras puteri tercinta, hehe !” Ayah mengelus kepalaku yang terbalut jilbab putih. Aku menarik kursi dan mengambilkan nasi untuk Ayah.
“Terima kasih , nak !” Kata Ayah pelan, mungkin Ayah kembali mengingat Bunda. Bunda lah yang selalu melayani Ayah.
“Ayah, ayo dong dimakan !” rujukku manja melihat Ayah yang hanya melihat nasgornya.
“Lho, ini Ayah makan hmm” Ayah memasukkan sesendok penuh nasgor ke dalam mulutnya.
“Gimana, Yah ?” Tanyaku
“Mm, OK lah, good girl !” Jawab Ayah kembali melahab nasgornya. Aku juga melahab nasgorku, rasanya lumayan, hihi ..
Kami makan dalam diam, tanpa suara tanpa denting sendok sekalipun. Begitulah adab makan yang baik. Ayah menyelesaikan porsinya lebih dulukemudian menyruput the panasnya.
“Ah,”Ayah mengantung nkalimatnya.
“Ya Ayah !” Jawabku setelah menegak susu coklat panasku.
“Mmm, lusa Ayah ada tugas keluar kota”> Ayah member jeda pada kalimatnya. Jantungku berdenyut kencang.
“Ya ?” Aku pura-pura sok tegar
“Sebaiknya, untuk sementara Anne tinggal dulu di rumah Tante Nia atau Budhe Asri. Ayah mungkin lama keluar kotanya, 1 bulan”. Suara Ayah begitu sedih.
“Ayah Anne kan bias di rumah !”
“Loh ? Kalau Anne kenapa-kenapa gimana ? Pokoknya Ayah nggak mau puteri Ayah nggak ada yang ngurus”.
“Anne kan udah mandiri !” Anne nggak mau nyusahin Tante Nia Maupun Budhe Asri, Yah !”
“Anne, puteriku ! Please …” Mata teduh Ayah membuatku tak kuasa menatapnya dan hanya anggukan dan suara lirih setuju yang keluar dari mulutku.
“Ya, Yah”. Jawabku pasrah. Tapi Anne ke tempat tante Nia aja, kan lebih deket ke tempat sekolah, kalau Budhe kan dah sibuk ngurusin bayinya.
“Terimakasih, puteriku” Ayah kembali mengelus kepalaku.


Tadi pagi Ayah pergi ke Balikpapan. Aku menhantar beliau sampai bandara Adi sucipto. Pekerjaan Ayah memang menuntut beliau salalu keluar kota dalam waktu lama. Kata Bunda dulu saat melahirkan. Ayah sedang di Medan, jadi yang mengadzaniku adalah Paman Hasyim, adik Bunda. Ayah adlah pekerja di perusahaan konstruksi swasta yang sedang berkembang.
Tanpa terasa air mataku menetes beberapa saat setelah pesawat yang Ayah tumpangi menghilang di langit yang begitu cerah.
“Ayo An !” Fatkhi yang menemaniku menghantar Ayah menarik lenganku.
“Fat ! AKu takut”. Air mata mengkaburkan penglihatanku.
“Anne, everything will be OK”. Fatkhi mencoba menghiburku. Aku tak tahu dari mana perasaan takut itu dating. Perasaaku nggak enak. Dengan nmengandengku Fatkhi mengajakku keluar.
Ftkhi adalah sahabatku serjak kelas X, dia selalu mengerti perasaanku. Dia selalu tahu kapan aku butuh nasehat, support dan kapan aku perku menyendiri.
Dengan motor tua milik Ayahnya. Fatkhi menghantar aku nsampai kerumah Tante Nia yang lumayan dekat dengan Bandara Adi Sucipto ini. Sesampai disana Tante Nia menyambutku dengan suka cita, maklum lah beliau belum dikaruniai buah hati, sehingga sangat senang bila aku berkunjung kesini.
“Assalamualaikum,”. Hampir bersamaan aku dan Fatkhi mengucapkan salam.
“Walaikum salam”. Kami mencium tangan Tante Nia yang terlihat begitu cantik dengan jilbab kremnya.
“Gimana kabarnya nih ? Anak-anakku yang cantik ?”. Tanya Tante Nia membimbing kami masuk kedalam rumah.


Hari pertama aku menginap di rumah Tante Nia, aku masih begitu sungkan namun hari ini aku begitu leluasa bercinta dengan Tante Nia. Seperti anak dengan Ibunya. Aku ungkapkan senua yang menganjal dalam hatiku. Tentang Bunda, tentang jurnalistik yang aku ketahui dan tentang perasaan tak enakku saat Ayah pergi.
“Anne, mungkin itu hanya perasaan lama saja. Ayahmu baik-baik saja. Tadi kan Yahmu sudah ngasih kabar”. Kata Tante Nia saat kami duduk di teras rumah.
“Iya sih Tan, tapi Anne tetap ngrasa ga enak, Anne takut”. Akhirnya ketakutan kembali dari mulutku. Aku ga mau kehilangan orang yang aku cintai lagi, aku masih trauma dengan meniggalnya Bunda 6 minggu lalu.
“Serahkan semua kepada Allah dan jangan lupa berdoa”. Tante Nia benar. Aku harus menyerahkan semuanya kepada Allah, hidup dan mati seseorang hanya Allah yang tahu. Wallahualam bis sharab …


Hari demi hari bergulir begitu cepat, saat aku duduk di tepi ranjang, nomor baru di layer HPku
“Ha … lo. Asssalamu’aliakum ?” Aku mendengar suatu unek-unek kemudian suara yang udah ku hafal mulai bicara.
“Walaikum salam, saying ! Surprise !!” Ayah berbicara kencang “Ayah pulang, nah ! tunggu ya !
“Ayah ! katanya sebulan kok baru 3 minggu udah pulang ?” Tanyaku heran bercampur senang.
“Loh ? emangnya Anne nggak seneng ya Ayah pulang cepat ? kalau gitu Ayah nggak jadi.
“Eeeh, Ayah ! Anne seneng kok, Anne kangen banget sama Ayah. Miss you Dad !” Ucapku manja.
“Miss you too, udah ya ditunggu loh, Assalamu’alaikum nak !” Ayah mengahiri telpunnya.
“Walaikum salam ! Aku menutup telpun. Dengan hati berbunga-bunga. Tanpa terasa aku sampai jingkrak-jingkrak. Sampai-sampai Tante Nia yang kebetulan lewat kamarku sampai heran.
“Anne !” Tante memanggilku
“Ya Tan ?” Jawabku malu.
“Ada apaan sih ? Hepi banget ?”
“Ayah come back, Ayah pulang !” Aku mulai berterik lagi. Tante Nia hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala demi melihat tingkah kekanak-kanakanku. Aku begitu senang karena Ayah akan cepat pulang, jadi aku tak perlu kwatir dan cemas lagi, cihuy …


Tidurku semalam begitu indah, AKu bisa melihat Ayah beliau menuju tempatku penuh kerinduan. Tiba-tiba Bunda juga menghampiri kami mengapit lengan Ayah mesra. Aku begitu bahagia melihat mereka begitu bahagia melihatku memimpin rapat redaksi. Mereka tersenyum bangga dan melambai kearahku yang ada di tengah teman-temanku. I hope, it’s come true, aku berandai.
Hari ini aku nggak mengajak Fatkhi menjemput Ayah, karena dia sedang les Inggris dekat sekolah. Aku mulai gelisah setelah satu jam menunggu Ayah. Tante Nia yang menemaniku menghiburku dengan mengatakan bahwa mungkin pesawatnya delayed.
“Ituy kan dah biasa An ! Indonesia gitu loh !” Dalih Tante Nia dengan wajahnya yang lucu.
Dua jam, tiga jam sudah aku menunggu namun tak mada satupun pesawat yang landing. Aku menjadi bertambah gelisah, telapak tanganku mulai berkeringat dan jantungku tak henti berdegup kencang. Ya Allah !! Apa yang terjadi tatapku dalam hati. Tante Nia merangkul bahuku lembut.


Aku hanya melihat gelap, kemudian seberkas sina menembus kegelapan menyilaukan mataku. Lalu semua menjadi terang benderang. Kulihat seluruh ruangan luas yang begitu kosong ada pintu di ujung bagian lain tempatku berdiri.
Tereh… Pintu terbuka sedikit demi sedikit. Wajah Bunda yang muncul kemudian Ayah. Kemeja putih Ayah penuh dengan bercak merah. Aku terpelik kaget. Mereka tersenyum kemudian melambai ke arahku. Kemudian ayah menutup pintu itu, aku berlari mengejar mereka namun terlambat pintu itu telah tertutup rapat. Aku berteriak memanggil-manggil Bunda dan Ayah bergantian yang kudengar hanya gaung mereka sendiri …
“Ayah !!” Teriakkku kencang. Seseorang memelukku erat. Tante Nia. Aku menangis histeris.
“Tante, Ayah,? Ayah Tante?”Aku muali tak teerkendali, Tante Nia kembali memelukku erat sambil menahan tangis. Air mataku begitu derasnya mambasahai pipi dan jilbabku. Aku dan tente Nia berpelukan. Menagis tersedu dalam sebuah keramik berdinding putih. Aku mengingat-ingat kejadian sebelum semua berubah menjadi gelap tadi.
Aku sedang akan menuju toilet bandara saat ada informasi bahwa pesawat Garuda dari Balikpapan mengalami kecelakaan dan semuanya dipastikan meninggal dunia. Aku hanya bisa terdiam kaget, tubuhku seperti dipukul denga palu godam. Kemudian semuanya menjadi gelap.


Inalillahi waina lillahi roki’un Ya Allah kuatkan hati hamba satu persatu sanak sodara dan teman menyalamiku. Satu persatu pula mereka meninggalkanku. Kosong tanah kuburan sepi. Matahari mulai meninggi, tanpa angin, kering. Sekering air mataku yang habis menangis untuk menangis semalam. Tante Nia masih berdiri di belakangku. Aku tahu Tante Nia juga mengerti bagaimana perasaanku karena Beliau juga pernah kehilangan suami tercinta.
Kembali aku berjongkok, aku belai lembut nisan putih Ayah. Diatas tanah yang basah ini, rumah jasad Ayah yang baru.
“Sudah siang, Anne” Kata Tante Nia, aku menoleh sesaat dan kembali menatap gundukan tanah merah dengan keharuan dan kepedihan yang sangat. Makam Ayah seakan membentot bobot tubuhku. Aku terdiam tak bergeming. Kembali kutatap makam Ayah dan Bunda yang bersebalahan secara bergantian. Bahkan makam tanah Bunda belum terpikirkan. Tak sampai 2 bulan, Aku kehilangan 2 orang yang amat kuncintai dan mencintaiku.
“Allah…”desisku. Kucoba bangkit. Tante Nia merangkul bahuku, Entah untuk yang berapa kali. Badanku masih lemah.
Dengan berat hati, aku dengan dipapah Tante Nia beriringan memasuki mobil yang akan membawa kami pulang meninggalkan orang tercinta yang berbaring tenang.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer