masa depan dunia qta

Andaikan fisikawan besar Albert Einstein masih hidup, mungkin ia tidak akan mengira kalau ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) akan sepesat sekarang. Namun sebagaimana hukum alam, tidak ada kemajuan tanpa pengorbanan. Kemajuan pesat iptek memakan ongkos tidak sedikit.
Daya utilisasi manusia terhadap iptek maju pesat diikuti daya destruksi yang lebih dahsyat lagi. Meminjam hasil penelitian sejumlah sahabat ilmuwan yang menekuni social construction of technology, sebagai contoh Bijker, Hughes, Pinch (ed) dalam The social construction of technological systems, awalnya iptek hanya membantu manusia, belakangan manusia mulai gagap menyesuaikan diri terhadap iptek temuannya sendiri.
Semua bidang kehidupan (termasuk agama) mengalami kegagapan dalam berespon terhadap kepesatan kemajuan iptek ini. Lihat saja negara-negara yang berada di barisan terdepan dalam hal iptek. Dari AS, Jepang, Inggris, Jerman sampai Perancis. Banyak indikator sosial (depresi, kriminalitas, konflik) menunjukkan kalau iptek tidak saja tidak menjawab semuanya, namun juga menghadirkan kerumitan-kerumitan baru.
Keadaannya mirip dengan perlombaan penemuan teknologi pestisida dengan bertumbuhnya hama. Semakin keras iptek berusaha membasmi hama, semakin banyak muncul hama dengan tingkat kekebalan yang semakin tinggi dan semakin rumit. Pemanasan global, konflik yang tiada henti hanyalah sebagian contoh tentang kegagapan manusia di depan iptek temuannya sendiri.
Di tengah kegagapan-kegagapan seperti ini, izinkanlah sekali-sekali bukan iptek yang berbicara melainkan keheningan. Bukan untuk mengganti, apa lagi menggurui, hanya mau berbagi serpihan-serpihan kontemplasi.
Kesempurnaan dalam kealamian
Tatkala J. Krishnamurti mengajarkan untuk kembali ke kesegaran pandangan ala anak-anak (makanya karya masterpiece-nya berjudul Freedom from the known), banyak sahabat di Barat mengerutkan alisnya sebagai tanda tidak mengerti. Lebih dari tidak mengerti, ada yang mencurigainya sebagai langkah mundur pertumbuhan jiwa.
Dan tentu boleh-boleh saja berpendapat demikian. Sebebas kupu-kupu terbang menghinggapi bunga, sebebas burung elang terbang di udara. Dan bagi jiwa yang biasa menyatu dengan kealamian alam semesta, akan mengerti kalau ada kesempurnaan dalam kealamian.
Kelapa tumbuh di pantai yang panas. Cemara segar bugar di gunung yang sejuk. Ikan berenang di air, serigala berlari di hutan. Ketika hujan dingin, ayam berteduh di bawah pohon, bebek mencemplungkan dirinya di kolam. Semuanya sempurna dan berbahagia di tempat alaminya. Tanpa kata-kata, tanpa analisa, tanpa penghakiman, tanpa pembandingan. Hanya diperlukan upaya melihat apa adanya. Siapa yang bisa mengalir sempurna dengan kealamian ini, ia sudah menjadi kesempurnaan itu sendiri.
Perhatikan alam lebih dalam lagi, semuanya berjalan mengalir tanpa keluhan. Siang, malam, panas, dingin. Alam menerima segala musim tanpa keluhan. Di luar memang terlihat lemah, tetapi jauh di dalam sana betapa kokoh mereka dalam kepolosannya.
Lebih-lebih pohon, jauh sebelum para nabi mengajarkan keikhlasan dalam diam, pohon sudah lama mempraktekkannya tanpa suara. Makanya Kahlil Gibran mengagumi pohon, karena ia perlambang pertapa yang berjalan mendekati cahaya dalam diam dan keikhlasan sempurna.
Arsitek kenamaan dari Australia Andrian Snodgrass menulis dalam maha karyanya yang mendalam The symbolism of the Stupa, baik stupa dan pagodha orang Buddha maupun meru orang Bali, sama-sama mau mengkonstruksikan kehidupan pertapa yang menyerupai pohon: berjalan menuju cahaya dalam diam dan keikhlasan sempurna. Pertapa suci di bukit Arunachala (India) Ramana Maharshi menyebut perjalanan seperti ini dengan Dhaksinamurti (Shiva teachings in silence). Shiva yang hanya bisa dijumpai dalam diam.
Jika ini cara memandangnya, maka sangat mengagumkan bila Rasulullah Muhammad menyebut puncak perjalanannya dengan kata Islam (pasrah total alias ikhlas sempurna di hadapan Allah). Atau Yesus Kristus yang ekspresi batinnya penuh cinta kasih bahkan ketika badannya sedang disalib.
Kepasrahan total seperti ini lebih mungkin terjadi tatkala tidak ada lagi keinginan, tidak ada lagi masa lalu yang disesali, tidak ada lagi masa depan yang ditakuti. Yang tersisa hanya keikhlasan sempurna di masa kini yang abadi. Sebuah batin yang sepi dan sunyi.
Dalam bahasa Nagarjuna: ‘one who is in harmony with emptiness is in harmony with all things’. Ia yang menyatu rapi dengan kekosongan sedang menyatu rapi dengan semuanya. Ini yang membuat Simpkins and Simpkins menyimpulkan: ‘emptiness is marvelous‘. Kekosongan itu menakjubkan.
Buddha Gautama pernah ditanya habis-habisan oleh muridnya di hutan. Dengan sigap Buddha mengambil daun kemudian bertanya: mana lebih banyak daun di tangan ini atau daun yang tersebar luas di hutan? Tentu saja daun di hutan lebih banyak. Kata-kata serupa dengan daun di tangan. Ia tidak saja terbatas, namun kerap menjadi bahan-bahan percekcokan yang mengotori perjalanan.
Mungkin ini yang membuat tidak sedikit orang Bali mengalami kesulitan menyentuh Parama Shanti (damai yang maha utama) sebagai puncak persembahyangan. Setiap kata selalu memunculkan lawan tandingannya. Salah dilawan benar, gagal dilawan sukses, suci dilawan kotor. Dan riuhlah kehidupan.
Siapa yang berani mengembalikan kata ke tempat semula sebagai pembantu, kemudian membimbing diri dengan keutamaan perjalanan ala pohon, ia tidak saja kembali ke kesegaran pandangan anak-anak, menyentuh puncak dzogchen (tantra): nothing positive to accept nothing negative to reject, mencapai apa yang disebut Suzuki Roshi sebagai zen mind beginner’s mind, tapi juga mengalami batin yang shanti, shanti, shanti (damai, damai, damai).
Bukan damai yang berlawankan kekacauan, bukan damai yang diikuti rasa suka kemudian menderita tatkala ia tiada. Namun damai karena semuanya sempurna dalam kealamiannya. Di titik pusat Pura Besakih Bali (antara kiwa-tengen) ia disebut Parama Shunya (ketiadaan yang maha utama). Buddha menyebutnya Shunyata. Meminjam Rohit Mehta (The call of the Upanishads): ada keheningan dalam kekacauan, ada kekacauan dalam keheningan.
Seperti menyimpulkan, ketiadaanlah diri yang sesungguhnya. Ketika hanya ketiaadan menghuni batin, hidup berputar hanya untuk memberi, karena pemberian itulah pembebasan.
Semoga shanti menyinari semua kegelapan (kebingungan, kebencian, keserakahan) dari Bali.
No Comments yet...
Categories:
• gede prama
• spiritualitas
Posted by: gedeprama | 11 July 2009
Damai dalam Setiap Langkah
Di Bali ada cerita seorang anak yang pintar, cerdas, ganteng bernama Nyoman. Karena itu ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia datang ke hutan menemui penyihir. Dan diberilah Nyoman seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Dan mulailah ia bereksperimen.
Pertama-tama ia putar ke masa remaja. Tidak berapa lama ia bosan, diputar lagi seruling waktunya ke masa tua. Ia lihat seorang ayah dengan seorang istri yang menua. Ini lebih membosankan lagi, ia putar ke masa lebih tua lagi. Dan di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Dan menangislah Nyoman pergi ke hutan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.
Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku serupa Nyoman: buru-buru ke masa depan. Dan sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Namun sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Sekarang juga tidak bisa makan enak karena keburu stroke.
Bangsa ini serupa. Pengap dengan orde lama kemudian ia ditumbangkan, datanglah orde baru. Orde terakhir serupa, nikmatnya sebentar, lagi-lagi harus ditumbangkan diganti orde reformasi. Ada tanda-tanda kuat, inipun sudah membawa kebosanan banyak orang.
Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adi kuasa, hantaman bom teroris.
Hari ini sebagai hadiah
Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, kemudian banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Dan tidak perlu menunggu dengan syarat yang berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.
Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibandingkan dengan kemarahan dan kebencian. Makanya, tidak sedikit penulis (sebagai contoh Spencer Johnson dalam bukunya berjudul The Present) menyimpulkan kalau hari ini sama dengan the present (hadiah).
Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang, memang tidak sempurna, namun semuanya menunggu untuk disyukuri. Indonesia sebagai rumah banyak manusia juga tidak sempurna. Namun ia menyisakan berlimpah hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam membawa keindahan, dengan pendapatan sedang-sedang saja sudah bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering kali membukakan bukti kalau manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.
Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terealisasi adalah melangkahkan kaki di planet indah bumi ini. Pakistan boleh bergelora dengan politiknya, Timur-Tengah dengan Israel boleh masih berseteru, namun di sini di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.
Pernafasan adalah keindahan
Ada yang bertanya, kalau demikian kenapa begitu susah menikmati masa kini? Bila diibaratkan rumah, tubuh manusia berisi demikian banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan terbuka setiap hari tanpa dijaga. Sudah terbuka tanpa penjaga, kita membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Dan jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.
Dengan pemahaman mendalam akan hal inilah kemudian banyak orang menjaga jendela-jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Dan mengaktifkan penjaga ini amat dan teramat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memperhatikan nafas. Bagi siapa saja yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu ketika manusia rajin memperhatikan nafas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, namun juga menemukan ada yang indah dalam bernafas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi!.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, kedua-duanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan dirinya untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Dan untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.
Akan lebih mudah lagi melakukannya kalau seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.
Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.
Bila begini cara memandangnya, maka menyatu dengan masa kini yang abadi, bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.
Dan ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air yang mengucur dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.
Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit tapi itu satu-satunya cara. Untuk itulah perlu melengkapi keindahan pernafasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Tatkala mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya kemudian, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.
Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, setiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tidak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggaris bawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis ini akan terdiam sebentar, menarik nafas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruangan meditasinya di desa Plum Perancis ia menulis: bernafaslah, engkau masih hidup!
No Comments yet...
Categories:
• gede prama
• spiritualitas
Posted by: gedeprama | 2 July 2009
Berjumpa Cinta Di Mana-Mana
Cerita manusia adalah cerita derita, demikian bisik seorang kawan. Di Pakistan, belum lama Bhenazir Bhutto menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, lehernya sudah ditembus peluru sampai tewas. Di Kamboja, pendeta Buddha berkelahi dengan polisi. Amerika Serikat yang menjadi tauladan dunia menjadi penghalang kesepakatan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Gempa, tsunami, kelaparan, mengunjungi semua pojokan bumi.
Di negeri ini serupa. Banyak pemilihan kepala daerah berakhir rusuh. Kekerasan di kalangan remaja amat mengkhawatirkan. Di Bali, kadang kekerasan muncul bahkan ketika upacara dilaksanakan.
Membaca tanda-tanda seperti ini, ada yang mengeluh, bila demikian bukankah hidup manusia sama dengan neraka? Entahlah, yang jelas wajah kehidupan yang terlihat tergantung pada siapa diri kita di dalam. Bila di dalamnya cinta, manusia berjumpa cinta di mana-mana. Jika di dalamnya kebencian, manusia menemukan kebencian di mana-mana.

Membangun rumah cinta
Dilihat dari segi bahan, manusia berbahankan cinta. 0rang tua berpelukan penuh cinta ketika manusia dibikin. Disusui Ibu penuh dengan pelukan cinta. Banyak ayah yang tidak jadi memasukkan makanan ke mulut, hanya karena mau berbagi cinta dengan anak. Makanan dan minuman manusia datang dari alam yang berlimpah cinta. Ada yang mengandaikan kehidupan sebagai hujan cinta yang tidak pernah berhenti. Cuman sebagian memayungi dirinya dengan keangkuhan, sehingga badannya kering dari hujan cinta. Dengah bahan seperti itu, bila outputnya kebencian, mungkin kita perlu merenungkan prosesnya.
Perilaku kehidupan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi. Dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik.
Berdiri di atas kesadaran seperti inilah kemudian banyak guru sepakat, fondasi awal membangun rumah cinta adalah pikiran yang terawasi secara rapi. Ketika senang diawasi, tatkala sedih juga diawasi. Persoalan dengan banyak manusia, terlalu melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, menolak yang menjengkelkan, bosan dengan hal-hal biasa. Karena yang menyenangkan berpasangan dengan hal-hal yang menjengkelkan (seperti malam berpasangan dengan siang), maka berputarlah kehidupan dalam siklus tanpa akhir: senang, sedih, bosan dan seterusnya. Inilah awal dari banyak kelelahan emosi.
Sadar dengan akibat kelelahan inilah, kemudian sejumlah orang mengakhiri siklus terakhir hanya dengan mengamatinya. Being a compassionate witness, demikian saran seorang penulis meditasi. Lihat emosi dan pikiran yang naik turun seperti seorang nenek penuh cinta sedang melihat cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Semuanya sudah, sedang dan akan baik-baik saja. Atau lihat keseharian yang digerakkan senang, sedih, bosan seperti melihat aliran air di sungai. Kesenangan mengalir berlalu, kesedihan mengalir berlalu.
Di atas siklus yang terawasi rapi ini, kemudian dibangun tiang-tiang keseharian yang banyak membantu. ‘Bila tidak bisa membantu cukup jangan menyakiti’, demikian pesan sejuk seorang Lama. Atap rumah cinta kemudian bernama kaya karena rasa berkecukupan. Dalam bahasa seorang bapak yang amat mencintai anaknya: ‘dalam rasa berkecukupanlah letak kekayaan teragung’. Sebagai hasilnya, terbangunlah rumah-rumah cinta yang sejuk dan teduh.
Agar rumahnya tidak pengap, ia memerlukan pintu dan jendela. Pintunya bernama deep listening. Jendelanya berupa loving speech. Sebagaimana sudah menjadi rahasia banyak terapis, kesediaan untuk mendengarkan adalah sebuah penyegar banyak kepengapan jiwa di zaman ini. Tidak sedikit pasien yang sudah mendapatkan sebagian penyembuhan hanya dengan didengarkan. Dan bila harus berbicara, berbicaralah dengan bahasa-bahasa cinta.
Seorang sahabat dengan kata-kata yang berkarisma, pernah ditanya kenapa kata-katanya demikian berkarisma. Dengan tangkas ia menjawab, gunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti. Kombinasi antara kesediaan mendengar dengan kata-kata yang penuh cinta inilah yang membuat rumah cinta dipenuhi udara segar.
Meminjam hasil kontemplasi orang suci, bila ada waktu merenung renungkanlah kekurangan-kekurangan Anda. Jika ada waktu berbicara bicarakanlah kelebihan-kelebihan orang lain. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya, kalau demikian apa itu cinta?. The Book of Mirdad menulis: ‘cintamu adalah dirimu yang sesungguhnya’. Dengan kata lain, di luar cinta adalah kepalsuan-kepalsuan. Laksanakan cinta, kemudian lihat bagaimana ia membuka keindahan dirinya. Kata-kata hanya penghalang pemahaman.
Rumah cinta berjalan
Di pulau Okinawa Jepang, pernah ada guru karate yang disegani. Di suatu latihan, muridnya bertanya apakah karate itu?. Dengan tersenyum ia menjawab: ‘karate means keep smiling in all situations‘. Karate berarti tersenyum di semua keadaan. Dan tentu muridnya bingung. Hanya karena segan, kemudian ia diam.
Sepulang latihan, murid ini menemui tentara Amerika mabuk yang mau membuat keributan di jalan. Murid karate ini panas. Begitu siap berkelahi, tiba-tiba gurunya muncul dengan penuh senyuman menyambut tentara-tentara tadi: ’selamat datang di Okinawa, Anda pasti sudah menikmati keindahan Okinawa’. Dan selanjutnya tidak saja perkelahian bisa dihindarkan, persahabatan dengan tentara Amerika juga berjalan baik-baik saja.
Ini mungkin yang disebut dengan rumah cinta berjalan. Ia menjadi contoh nyata cerita di awal: ‘bila di dalamnya cinta, maka manusia berjumpa cinta di mana-mana’. Berkaitan dengan momentum pergantian tahun, kebanyakan orang bertanya seberapa tua umur sekarang. Jarang yang mau bertanya, seberapa indah rumah cinta sekarang.
Melalui tatapan mata suami, kesetiaan isteri, rasa hormat putera/puteri, perlakuan atasan, senyuman tetangga, jabat tangan bawahan, bantuan teman atau keluarga, senyuman orang-orang yang pernah menyakiti, kita sedang melihat rumah cinta kita. Adakah ia lebih baik atau lebih buruk dari tahun lalu?. Perhatikan apa yang ditulis Thich Nhat Hanh dalam The diamond that cuts through illusion: ‘If you die with compassion in mind, you are a torch lightening our path‘. Ia yang meninggal dengan cinta kasih, menjadi lilin penerang banyak perjalanan. Mungkin ini yang membuat Yesus Kristus tidak pernah berhenti menerangi banyak sekali perjalanan.
No Comments yet...
Categories:
• gede prama
• spiritualitas
Posted by: gedeprama | 26 June 2009
Cinta, Kedamaian, Pencerahan
Dalam banyak hal, Barat menyimpan tanda-tanda ke mana peradaban bergerak. Industrialisasi, demokrasi, kapitalisme, feminisme hanyalah sebagian hal yang awalnya terjadi di Barat, kemudian menerjang ke seluruh dunia.
Kepunahan agama
Siapa saja yang rajin ke Barat di abad 21 ini, boleh bertanya ‘what is your religion?’. Dan siap-siaplah dijawab: stupid question. Seorang pengajar di perguruan tinggi di Melbourne, pernah bertanya ke mahasiswanya di sebuah kelas: any one of you who have religion? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir. Itu pun semuanya berwajah Asia.
Dari salah satu segi terlihat, agama di Barat lebih dipandang sebagai beban dibandingkan identitas yang membahagiakan. Dan pada saat yang sama, ada kecenderungan lain yang layak direnungkan.
Karen Amstrong (penulis buku Hystory of God) menulis, inilah zaman keemasan Buddha di Barat. Albert Einstein (fisikawan besar abad 20) berpendapat, agama yang bisa memenuhi kebutuhan intelek manusia masa depan adalah agama Buddha. Lama Surya Das (penulis Awakening to the Sacred) menjumpai sejumlah anak muda di Barat yang mengaku: ‘my parent hate me when they know that I am a Buddhist, but they love me when they know that I am a Buddha’. 0rang tua kesal melihat puterinya masuk Vihara. Namun mereka cinta ketika menyadari anaknya sabar, santun, penuh rasa hormat dan rendah hati.
Digabung menjadi satu, ada sebuah pintu kecenderungan yang terbuka. Di satu sisi ada rasa dahaga manusia akan kedamaian. Terutama karena materialisme di Barat sudah menunjukkan batas-batasnya. Dan di lain sisi, agama Buddha menyentuh komunitas Barat dengan kedamaian.
Membaca tanda-tanda seperti ini, tantangan agama-agama sebenarnya bukan persaingan antaragama. Raja Asoka (murid serius Buddha) mewariskan: ’siapa yang menghina agama orang, ia sedang mencaci agamanya sendiri. Siapa yang menghormati agama orang, ia sedang mencintai agamanya sendiri’. Tantangan agama-agama ke depan adalah memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian.
Tanpa kemampuan memuaskan rasa dahaga akan kedamaian, lebih-lebih memperpanjang daftar kekerasan yang sudah panjang, maka bukan tidak mungkin ada agama yang mengalami kepunahan di masa depan.
Bahasa-bahasa cinta
Kalau boleh jujur, semua agama berbahasakan cinta. Islam menempatkan cinta di urutan nomer satu dalam 99 nama Allah. Nasrani mengalami dinamika dari perjanjian lama ke perjanjian baru, namun dalam kasih ia tidak bergeser sama sekali. Yoga Hindu tidak bisa sempurna tanpa bhakti yoga (path of love and devotion). Rumah batin luhurnya Buddha mulai dengan cinta kasih.
Dalam ketokohan juga serupa. Islam bersinar di tangan manusia seperti Jalaludin Rumi, Imam Al-Ghazalli yang tidak punya bahasa lain selain cinta. Ajaran Kristus menyentuh di tangan orang seperti Santo Franciscus dari Asisi yang digerakkan kasih. Di tangan Mahatma Gandhi, Bhagawad Gita hidup. Tidak ada kekuatan lain yang membantu Gandhi terkecuali bhakti. Tatkala Dalai Lama ditanya pengertian Tuhan, ia menjawab: God is an infinite compassion. Teduh, menyentuh, itulah wajah asli agama-agama.
Namun, kerap ini dihadang keingintahuan yang membandingkan wacana dengan realita. Bila memang demikian, kenapa ada serangan teroris, pemerintah AS dan kawan-kawan menyerang Afghanistan dan Irak, rezim militer Myanmar demikian kejam menembaki sejumlah Bhiksu, masyarakat Bali yang tekun berupacara melakukan sejumlah kekerasan?

Latihan sebagai langkah
Meminjam cerita Zen, setiap kata hanyalah jari yang menunjuk bulan. Bahkan kata-kata Buddha digabung dengan Krishna pun tidak bisa menghantar manusia menemukan pencerahan, terutama bila hanya sebatas dimengerti kemudian lupa. Apa yang kita tahu adalah sebuah tebing. Apa yang kita laksanakan dalam keseharian adalah tebing lain. Dan jembatan yang menghubungkan keduanya bernama latihan.
Sulit membayangkan ada pencerahan tanpa ketekunan latihan. Raksasa spiritual dari Jalaludin Rumi, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama, semuanya dibesarkan latihan. Siapa yang berani membayar latihannya dengan ongkos lebih mahal, ia sampai di tempat yang lebih jauh.
Sayangnya, ini yang tidak mau dilakukan banyak orang. Hanya berbekalkan intelek, kemudian berharap pencerahan. Ia serupa dengan hanya melihat ujung jari, mau sampai di bulan.
Thich Nhat Hanh dalam Creating true peace lebih konkrit soal latihan. Di dalam diri kita ada bibit kedamaian sekaligus bibit kemarahan. Perjalanan latihan bergerak semakin sempurna, ketika manusia dalam keseharian menyirami bibit kedamaian, berhenti menyirami bibit kemarahan. Cara terbaik melakukan ini adalah dengan mempraktekkan kesadaran (mindfulness).
Dalam aktivitas apa pun (bangun, makan, bekerja sampai tidur lagi) lakukanlah dengan penuh kesadaran. Bila kemarahan yang datang, senyumlah sambil ingat untuk tidak mengikuti kehendak kemarahan. Tatkala kedamaian yang berkunjung senyumlah sambil sadar kalau kedamaian pasti pergi. Sehingga ketika kedamaian pergi, tidak perlu kecewa.
Bila digoda orang menjengkelkan, berfokuslah pada api amarah yang ada di dalam. Lihat, senyum, jangan diikuti. Bila ini tidak membantu, ganti judul orang menjengkelkan dengan orang yang membutuhkan uluran cinta kita. Sebab bila judulnya menjengkelkan, respon alaminya marah. Jika judulnya ia memerlukan cinta kita, maka respon alaminya membantu.
Teruslah berlatih sampai tidak ada lagi yang tersisa (kemarahan menghilang, kedamaian menghilang), terkecuali kesadaran agung. Kadang disebut kesempurnaan agung karena semua sempurna apa adanya. Dan yang terlihat oleh orang lain di luar adalah keseharian yang diam, senyum serta tangan yang bahagia bila ada kesempatan membantu.
Dibimbing cinta manusia bertemu keteduhan, kesejukan kedamaian. Kedamaian kemudian membukakan pintu pencerahan. Ada yang bertanya, apa itu pencerahan? Seperti berlatih naik sepeda. Teorinya sederhana. Namun begitu berlatih dijamin jatuh. Ada yang masuk selokan. Ada juga kakinya berdarah. Hanya dengan ketekunan latihan seseorang bisa menemukan keseimbangan (baca: kesadaran agung). Dan momen ketika kesadaran agung dialami, ia akan berujar: oooo!
Itulah pencerahan. Ia di luar kata-kata. Bila ada yang mau menjelaskannya dengan kata-kata, nasibnya akan serupa dengan sepasang tangan manusia yang mau mengambil seluruh air samudera.
No Comments yet...
Categories:
• gede prama
• spiritualitas
Posted by: gedeprama | 18 June 2009
Bahagia Menjadi Nomer Dua
Puluhan tahun lalu, David C Mc. Clleland pernah dikenal dengan idenya tentang masyarakat berprestasi. Hampir setiap negara, korporasi tertarik mempercepat pertumbuhan dengan menginjeksikan virus motivasi berprestasi. Fundamental dalam ide ini, kehidupan hanya layak dijalani bila menjadi nomer satu. Dan sekian puluh tahun setelah ide ini berlalu, tampaknya penyebaran virusnya masih berjalan cepat.
Di dunia korporasi, pusat pertumbuhan dari mana masa depan banyak dipersiapkan, ditandai oleh semakin derasnya penyebaran virus ini.
Dalam pergeseran-pergeseran kekuasaan negara juga serupa. Yang berpengaruh adalah tokoh seperti George W. Bush, John Howard yang agresif, diimbangi oleh teroris yang tidak kalah agresif. Sebagai hasilnya, suhu hubungan antarmanusia di dunia memanas dari hari ke hari.
Soal implikasi kemajuan materi dari injeksi virus berprestasi, memang tidak diragukan. Namun semua ada ongkosnya. Kedamaian, kebahagiaan dan kenyamanan jiwa hanyalah sebagian hal yang mesti dikorbankan.
Isu pemanasan global yang belakangan ditiupkan ulang secara besar-besaran oleh Al Gore, belum terlihatnya tanda-tanda perdamaian akibat serangan AS ke Afghanistan dan Irak, serta memanasnya suhu politik di beberapa negara yang dulunya sejuk seperti Thailand dan Myanmar hanyalah sebagian tanda.
Negeri ini juga serupa. Sepuluh tahun reformasi ditandai oleh gesekan-gesekan antarelit yang berebut menjadi nomer satu. Di zaman pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat teramat sibuk melayani elit yang semuanya mau nomer satu.
Rahasia-rahasia sentuhan
Sebagaimana ditulis Daoed Joesoef tentang ekonomi Jepang. Tiang penopang kemajuan Jepang yang mengagumkan itu adalah ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas keibuannya dengan rasa bangga dan bahagia.
Cerita India juga serupa. Begitu India merdeka, dengan ikhlas Mahatma Gandhi memberikan kursi perdana menteri kepada Nehru. Sebuah keputusan yang menyelamatkan India, sekaligus memberikan kesempatan India bertumbuh tanpa diganggu virus perseteruan menjadi nomer satu.
Mohammad Hatta adalah legenda Indonesia. Ia berbahagia mengisi hidupnya dengan menjadi nomer dua. Beberapa kali pun terjadi perselisihan dengan orang nomer satu ketika itu, ia selamatkan negeri ini dengan cara berbahagia menjadi nomer dua.
Di Timur pernah lahir guru agung dengan cahaya terang benderang. Jauh sebelum ia mengalami pencerahan, guru ini pernah lahir sebagai kura-kura. Suatu hari di tengah lautan, kura-kura ini melihat manusia terapung. Hanya karena menempatkan hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia gendong manusia ini ke pinggir pantai. Setelah kelelahan di pantai, ia tertidur. Dan terbangun dalam keadaan tubuh yang sudah diselimuti ribuan semut. Lagi-lagi karena menganggap hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia biarkan ribuan semut ini memakan tubuhnya sampai mati. Padahal, hanya dengan sebuah gerakan ke arah laut, ia selamat dan ribuan semut ini mati.
Terinspirasi dari kehidupan seperti inilah, kemudian lahir orang-orang seperti Master Hsing Yun. Dalam karya indahnya The Philosophy of Being Second, guru rendah hati yang banyak dipuji ini bertutur mengenai rahasia hidupnya. Di salah satu pojokan bukunya ia menulis: ’you are important, he is important, I am not’.
Terdengar aneh memang, terutama bagi mereka yang biasa menyembah ego, meletakkan nomer satu sebagai satu-satunya kelayakan kehidupan. Namun bagi raksasa pelayanan kelas dunia seperti Singapore Airlines dll, keberhasilan mereka disebabkan karena rajin mengajari orang-orangnya: ’orang lain penting, saya tidak penting’. Dalai Lama is a living spiritual giant. Mendapat hadiah nobel perdamaian dan penghargaan sivil tertinggi di AS yang membuatnya sejajar dengan George Washington dan Paus Yohanes Paulus II. Rahasia di balik semua ini juga serupa: musnahnya semua ego, kemudian hanya menyisakan kebajikan.
Lebih-lebih pejalan kaki di jalan Tuhan dan jalan Buddha. Hampir tidak pernah terdengar kalau ego dan kecongkakan membawa seseorang sampai di tempat jauh. Mereka-mereka yang dikagumi di jalan ini, hampir selalu ditandai oleh kesediaan menempatkan orang lain di nomer satu, kemudian membangun kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain.
Bagi seorang Master Hsing Yun malah lebih jauh lagi: being touched is the most wonderful thing in life. Tersentuh (apa lagi sampai menitikkan air mata) adalah pengalaman batin yang menawan. Siapa saja yang berhasil membuat orang lain tersentuh, tidak saja sedang menciptakan kebahagiaan, juga membuat orang membangun tembok-tembok kesetiaan yang susah ditembus.
Di sebuah pojokan kehidupan guru rendah hati ini, pernah terjadi ia demikian dipuji, dikagumi. Sehingga tidak saja dirinya yang menitikkan air mata, langit yang biru tanpa awan sedikit pun ikut meneteskan air mata dengan menurunkan hujan. Seperti sedang bercerita, tidak ada kecongkakan yang menyentuh hati. Kebajikan, ketulusan, kesediaan membangun kebahagiaan di bawah kebahagiaan orang lain, itulah rahasia-rahasia sentuhan.
Alam memang penuh tanda. Ia tidak melarang manusia menjadi nomer satu. Jumlah batu yang menjadi puncak gunung jauh lebih sedikit dibandingkan batu yang menjadi lereng dan dasar gunung. Bila usaha hanya berujung pada nomer dua, ia sebuah pertanda mulya: kita sedang menjadi lereng dan membuat orang lain jadi nomer satu di puncak gunung. Bukankah ini sebuah sikap yang menyentuh?
Perlambang alam lain, kelapa tumbuh di pantai, cemara tumbuh di gunung. Mc. Clleland telah membuat banyak manusia jadi nomer satu, lengkap dengan hawa panas ala kelapa di pantai. Master Hsing Yun memberikan inspirasi tentang kehidupan yang menyentuh karena berbahagia jadi nomer dua, mempersilahkan orang lain jadi nomer satu, mirip dengan cemara yang sejuk di gunung. Bila pencinta nomer satu berfokus pada menjadi benar dan hebat, kesejukan ala cemara berfokus pada menjadi baik dan menyentuh. Ia serupa dengan kisah tiga anak yang memilih tiga buah pir pemberian tetangga. Murid Mc.Clleland akan memilih yang terbesar dan tersegar. Anak yang batinnya sejuk akan memilih yang terkecil dan terjelek. Ia berbahagia melihat orang lain menikmati buah pir yang besar dan segar. Dan Anda pun bebas memilih ikut yang mana.
No Comments yet...
Categories:
• gede prama
• spiritualitas
Older Posts »

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer