nipon penjajah

Penjajahan Jepang di Indonesia
* 8 Maret 1942 Jepang mendarat di Kalimantan untuk menguasai sumber minyak mentah

* Tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang. Penyerahan di Kalijati, Subang, Jabar.

*Pihak Belanda:Letjen Ter Porten

*Pihak Jepang Letjen Hitoshi Imamura

*Saat dikuasai Jepang Indonesia dibagi dua:

1) P. Jawa dan Sumatra di bawah komando angkatan darat, berpusat di Jakarta
2) Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku di bawah Komando Angkatan Laut yang berpusat
di Ujung Pandang

*Propaganda Jepang:

1) Gerakan 3A:
Jepang pemimpin asia
Jepang pelindung asia
Jepang cahaya asia

2) Jepang adalah saudara tua Indonesia

3) Jepang membentuk Putera

4) Jepang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan


*Indonesia dimasukkan dalam kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya,
dibawah kepemimpinan Jepang.

*Tujuan Kedatangan Jepang ke Indonesia:

1. Menguasai wilayah Indonesia. Bukti:
1.1 Ind dijadikan sbg sumber bahan mentah
1.2 Romusha
1.3 Semua kegiatan Parpol dilarang

2. Tentara pendudukan Jepang melakukan pemerasan ekonomi:
2.1 Petani wajib menyetorkan hasil panen padi, jagung, dan ternak
2.2 Petani wajib menanam jarak untuk pelumas senjata
2.3 Hutan-hutan ditebang untuk kebutuhan industri
2.4 hasil perkebunan harus disetor pada Jepang
2.5 penyerahan besi atau logam untuk kebutuhan industri senjata
3. Pemuda-pemuda Indonesia dikerahkan untuk romusha (kerja paksa)

4. Jepang membentuk organisasi semi militer dan militer penuh
4.1 Semi militer:
a. Seinendan, 29 April 1943
Tujuan: mendidik dan melatih pemuda Indonesia untuk
mempertahankan Indonesia dengan kekuatan sendiri
b. Keibodan, 29 April 1943, Barisan pembantu Polisi
c. Fujinkai, Agustus 1943, Himpunan Wanita
Wanita usia >15 th dilatih militer
d. Jawa Hokokai, 1944, dibentuk Jend. Kumkici Harada

4.2 Militer Penuh:
a. Peta, 3 Oktober 1943
b. Heiho, April 1943, pembantu prajurit Jepang

Perlawanan rakyat:

* 7 September 1944, Janji Koiso

*Persiapan Indonesia merdeka:

1. Jend. Kumakici Harada membentuk BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Coosakai
Ketua: Dr. Rajiman Widyodiningrat
2. BPUPKI bertugas menyusun dasar negara dan UUD
Sidang I, 1 Juni 1945.
- Ir. Soekarno, Moh. Yamin, dan Supomo tampil mengajukan gagasan.
- Ir. Soekarni-->pidato mengenai 5 asas negara [Pancasila]
3. 10 Juli 1945
Panitia Kecil BPUPKI berhasil merumuskan dasar negara dan membahas perumusan UUD
4. 11 Juli 1945
Panitia perancang UUD sepakat menjadikan PIagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD
5. Tanggal 14 Juli 1945, Panitia Kecil BPUPKI, dipimpin Supomo melaporkan hasil
Panitia Perancang UUD yang terdiri dari pernyataan kemerdekaan, pembukaan UUD, dan
batang tubuh.




Hindia-Belanda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Hindia-Belanda
Nederlands-Indiƫ

1800 – 1942




Bendera

Peta Hindia Belanda
Ibu kota Batavia

Pemerintahan
Administrasi Kolonial
Sejarah
- VOC di Indonesia
1603 sampai dengan 1800
- Nationalisasi VOC
1 Januari 1800

- Pendudukan Jepang[1]
9 Maret 1942

- Penyerahan kedaulatan kepada RIS
27 Desember 1949




Peta wilayah Kerajaan Kolonial Belanda termasuk daerah jajahannya
Hindia-Belanda (Bahasa Belanda: Nederlands-Indiƫ) adalah sebuah wilayah koloni Belanda yang diakui secara hukum de jure dan de facto. Kepala negara Hindia-Belanda adalah Ratu/Raja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh seorang Gubernur-Jendral.
Perbatasan Hindia-Belanda dengan negara tetangganya ditentukan dengan perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Sarawak (protektorat Inggris di bawah dinasti Brooke "the White Rajah"), Borneo Utara Britania (Sabah), Kerajaan Portugis (Timor Portugis), Kekaisaran Jerman (Papua Nugini Utara), Kerajaan Inggris (Papua Nugini Selatan).
Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam UU Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan Belanda, diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia-Belanda.
Hindia-Belanda dahulu kala adalah sebuah jajahan Belanda, sekarang disebut Indonesia. Jajahan Belanda ini bermula dari properti Vereenigde Oostindische Compagnie (atau VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1798, semua properti VOC menjadi milik pemerintah Republik Batavia.
Pada tahun 1900 hanya pulau Jawa saja yang secara keseluruhan milik Belanda. Lalu pada tahun-tahun selanjutnya semua daerah lain di Nusantara ditaklukkan atau “dipasifikasikan” (didamaikan). Pada puncaknya pada tahun 1942, Hindia-Belanda memiliki semua daerah Indonesia saat ini. Selain itu, kota Melaka, Taiwan, Sri Lanka pernah dimiliki VOC dan pemerintah Belanda.
Pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Belanda menentang dan memerangi para pejuang kemerdekaan. Baru pada 27 Desember 1949, kedaulatan Indonesia diakui. Papua bagian barat (Irian Jaya) masih dikuasai Belanda sampai tahun 1961.
Sejarah
[sunting] Periode 1500-1600: Era Portugis dan Spanyol
Penjelajah dari Eropa mulai ramai datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, sebagai akibat dari Abad Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropa. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap. Mereka adalah adalah orang Portugis dan Spanyol beserta budak-budak mereka dari India, Sri Lanka, Malaka, atau Nusantara bagian timur. Banyak dari mereka datang karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang akhirnya menikah, atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan, dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa kebanyakan lelaki. Di Malaya, keturunan mereka disebut sebagai Melayu Eropa. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara serta Kampung Lamno Jaya, Aceh Barat.[3] Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana Tsunami Aceh 2004[4]
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia di abad ke-20.
[sunting] Periode 1600-1799: Di bawah VOC
Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.[5] Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di Batavia dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).
Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini disebut ekspatriat) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun demikian, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[6]
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[5]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (miesling) ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: Indisch Nederlands, dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai bahasa Pecok. Di masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.
[sunting] Periode 1800-1942: Hindia-Belanda
Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 (perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membuat orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian Sumatera, terutama sebagai untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan Inggris. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, Europeanen (orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Regeringsreglement, "Undang-undang Administrasi Hindia") yang mempertegas pemisahan orang Eropa-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kelompok orang Eropa, tetapi mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Ini terjadi karena mulai berdatangannya orang-orang dari Eropa (terutama Belanda) untuk berusaha. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropa-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropa totok meskipun mereka dapat memiliki hak, privilese, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropa.[7] Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo menurut aturan dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.
Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan ini pada abad ke-20 membangkitkan gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Secara politis, orang Eropa-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropa-Indonesia jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, organisasi pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo dan Eropa-Indonesia non-Indo pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk Indische Partij oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropa-Indonesia dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia Belanda. Namun dibungkam setahun kemudian karena radikalismenya. Situasi "tegang" ini terus berlanjut hingga 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda.
Sebagai subkultur, golongan Eropa-Indonesia pada masa-masa ini memiliki kekhasan tersendiri. Mereka dikenal suka berpesta, berpakaian bagus, beragama Kristen atau ateis, serta menyukai seni. Dari masyarakat ini juga lahir sejumlah menu masakan campuran Eropa-Indonesia. "Rijsttafel", suatu seri cara penyajian masakan hibrida Eropa dan Indonesia, juga muncul di kalangan mereka. Julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak mereka.
Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246.000 orang Eropa-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.[8]

Raffles di Hindia-Belanda
Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811 dan dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra tidak lama kemudian, ketika Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Belanda ketika Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis. Ketika menjabat sebagai penguasa Hindia-Belanda, Raffles mengusahakan banyak hal: beliau mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Ia belajar sendiri bahasa Melayu dan meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencariannya akan Borobudur. Hasil penelitiannya di pulau Jawa ia tuliskan pada sebuah buku berjudulkan History of Java, yang menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan penelitiannya, Raffles dibantu oleh asistennya yaitu James Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Marianne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan dimakamkan di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadi Museum Prasasti. Di Kebun Raya Bogor dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian sang isteri.
Salah satu pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial Belanda adalah mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang berlaku hingga saat ini.

wikipedia.com

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer