pesantren doc.
Hasyim Asyari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hasyim Asy'arie
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) ( (24 Dzulqaidah 1287H) lahir di Demak, Jawa Tengah, 10 April 1875 – wafat di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.Daftar isi [sembunyikan]
1 Keluarga
2 Pendidikan
3 Perjuangan
4 Lihat pula
[sunting]
Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya:
Raden Cahaya
Brawijaya II
Brawijaya III
Kyai Mangunkiras
Bhre Kertabhumi
Bhre Mangundjoko
Haji Ali Namung
Lembu Amisani
Jaka Tingkir
Jaka Posobillah
Mangunkiras Tingkir
Raden Amangkurat Jawi
Sunan Amangkurat I
Haji Ali Tingkir
Fatasillah Tingkir
Hamengkubuwono I
Hamengkubuwono II
Patih Tegalrejo
Kyai Asy'ari
Hasyim Asy'ari
KH.Wahid Hasyim
KH.Abdurrahman Wahid
[sunting]
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.
[sunting]
Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
“Ini saudara Saifudin dari Banyumas, seorang pemimpin Ansor di daerahnya” kata KHA Wahid Hasyim dalam bahasa Jawa (Kromo) sambil mencium tangan ayahandanya. Tentu saja setelah memberikan salam : Assalamu’alaikum wr.wb. aku pun ikut mencium tangan Hadlratus Syaikh. Di kalangan pesantren dan khususnya di kalangan NU jarang sekali orang menyebut nama K.H. Hasyim Asy’ari. Sebutan yang lazim ialah Hadlratus Syaikh, yang artinya yang mulia tuan guru.
Ahlan wa marhaban! Ahlan wa sahlan !” sambil menatap wajahku dalam kasih sayang, sementara tangannya masih aku cium. Kata-2 ahlan wa marhaban, ahlan wa sahlan, biasa diucapkan berulang-ulang yang menunjukan keterbukaan hati dan suka cita. Artinya sebuah kata2 selamat datang.
“Apa kabar Ananda Saifuddin ? Saya diminta dimaafkan bahasa melayu, eh bahasa Indonesia saya kurang sempurna” kata2nya sekaligus memberikan kesan bahwa orang besar ini amat jujur dan memperlihatkan wibawanya. Tidak merasa malu mengeai kekurangannya, padahal itu memperlihatkan sifatnya yang tawadlu (rendah hati).
“Apakah Ananda pernah juga belajar di pondok ini? Di pondok mana?” Hadlratus Syaikh menanyakan kepadaku apakah aku pernah belajar di pesantren Tebuireng. Di pondok yang mana? Artinya berdiam di kompleks yang mana? Dalam pesantren Tebuireng seluas kira2 30.000m2 itu dibagi menjadi beberapa kompleks: Gresik, Malang, Kediri, Banjarnegara dan sebagainya. Santri2 yang datang dari daerah Banyumas pada umumnya menempati kompleks Banjarnegara.
“Saudara Saifuddin ini dulu belajar di pesantren Jamsaren Solo” K.H.A. Wahid Hasyim cepat menjelaskan sebelum aku sempat menjawab. Orang ini cepat menangkap situasi bahwa aku mengalami kesulitan menjawab. Kalau menjawab apa adanya bahwa aku pernah belajar di Tebuireng, jawaban demikian mungkin akan sedikit mengecewakan hatinya, dan akan lebih senang seandainya aku pernah belajar di tebuireng.
“Masya Allah … ada santri Jamsaren koq menjadi Nahdloh, … Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah” demikian tanggapan Hadlaratus Syaikh atas jawaban K.H.A. Wahid Hasyim, sambil tak henti2nya mengucapkan Alhamdulillah. Kalau Hadlartus Syaikh memperlihatkan sambutannya sebagai tasyakur, hal itu dapat dimaklumi. Pada jaman itu pesantren Jamsaren termasuk lambang “Islam modern” dan sebagian besar santrinya dimasyhurkan mewakili golongan Reformis Islam. Padahal itu cuma propaganda yang ditiup2kan oleh golongan tertentu, kenyataannya tidaklah demikian. Banyak juga santri jamsaren yang mewakili golongan “kolot” yang lazim disebut beraliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Hadlaratus Syaikh memperlihatkan kepada K.H.A Wahid Hasyim sepucuk surat dalam bahasa Arab yang dikirim oleh K.H. Raden Asnawi Kudus. Dengan menggunakan bahasa Arab yang amat sempurna. Hadlartus Syaikh memperlihatkan kepada putranya bagian2 yang diarasa amat berat. Hadlaratus Syaikh biasa berbicara kepada putranya dalam bahasa Arab, tetapi sebaliknya K.H.A. Wahid Hasyim melayani pembicaraan ayahandanya dalam bahasa Jawa yang halus (kromo Hinggil). Bukan karena bahasa Arab K.H.A. Wahid Hasyim kurang sempurna, tetapi untuk memperlihatkan sikap tawadlu (rendah hati) kepada orangtuanya. Apalagi kalau ada orang ketiga atau keempat. Hadlaratus Syaikh mengalihkan percakapannya kepada dengan memperlihatkan sepucuk surat.
“Sauadara Saifuddin, saya baru menerima sepucuk surat dari guru saya yang mulia Kiai Raden Asnawi Kudus. Ini dia suratnya”. Diperlihatkan kepadaku, tetapi aku pasif saja. Aku merasa kelewat kecil untuk melibatkan diri dengan kedua ulama besar itu. Karena itu aku cuma menanggapinya dengan “inggih, inggih” seperti yang dilakukan oleh K.H.A. Wahid Hasyim. Hadlaratus Syaikh meneruskan bicaranya :
“Aku merasa susah sekali, karena Kiai raden Asnawi guru saya itu marah kepada saya. Sebabnya? Karena saya mengizinkan terompet dan gederang yang dipergunakan oleh anak2 kita, Ansor NU, padahal Kiai raden Asnawi mengharamkannya” Hadlratus Syaikh lalu bercakap2 sendiri dengan K.H.A. Wahid Hasyim dalam bahasa Arab. Aku cuma mendengarkan saja. Dalam percakapan itu, Hadlaratus Syaikh meminta pertimbangan putranya, apakah tidak sebaiknya surat tersebut dijawab dengan lemah lembut dan akan disampaikan lewat kurir. Dengan demikian diharapkan masalah yang diperselisihkan dua ulama besar itu masih diselesaikan sebelum muktamar Surabaya dibuka.
Selama Hadlaratus Syaikh bercakap2 dengan putranya aku amat terpesona akan profil ulama besar ini. Usianya ketika itu, 5 Desember 1940 mendekati 70 tahun, karena dilahirkan pada hari Selasa Kliwon 24 Dzulqo’dah 1287 atau 14 februari 1871. Bicaranya amat jelas dan jelas pula sasarannya. Sikapnya ramah tamah, air mukanya jernih dan selalu menyenangkan hati para tamunya. Tak jarang Hadlratus SYaikh melayani sendiri para tamunya dengan membawa makanan dan minuman yang dihidangkan. meskipun ada pelayan khusus yang melayani sang tamu, namun Hadlaratus Syaikh tidak mau ketinggalan menyodorkan hidangan di (hadapan) sang tamu. Sikapnya terhadap sesama ulama sangat hormat, meskipun kepada yang lebih muda.
Home » Generasi Emas
Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
18 December 2008 No Comment
Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy`ari rahimahulloh. Beliau adalah pendiri Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Hadhratusy Syaikh dilahirkan di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, pada 10 April 1875 dari keturunan ulama yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiyai Asy`ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiyai Hasyim Asy`ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). Nendanya, Kiyai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan moyangnya, Kiyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia 14 tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan nendanya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di KH.CHOLIL (madura) Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kiyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana untuk menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru dengan ramai ulama terkemuka antaranya Syaikh Nawawi Al bantani, Habib ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Mahfudz at-Tarmisi.
Setelah beberapa tahun di Tanah Suci, beliau kembali ke Indonesia dan dalam perjalanan pulangnya beliau singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. pada tahun 1899. Hadhratusy Syaikh mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf rumi, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Hadhratusy Syaikh, setelah mendapat perkenan gurunya Kiyai Kholil Bangkalan, mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti “Kebangkitan Ulama“. Organisasi ini pun berkembang dan menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia yang memiliki anggota hampir 30 juta jiwa. Pengaruh Hadhratusy Syaikh pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan beliau. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi perkembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, beliau tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerjasama hingga akhirnya , tetapi ditolaknya hingga akhirnya beliau pernah di penjara. Beliau juga tokoh yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Atas jasa-jasanya itu, beliau telah dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ulama besar ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Julai 1947 dan di maqomkan lokasi Pon Pes Tebuireng.
Hadhratusy Syaikh mempunyai beberapa karangan yang ditulisnya dalam Bahasa ‘Arab, antaranya ialah “an-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin“. Dalam karangannya tersebut Hadhratusy Syaikh memperbincangkan antara lain masalah tawassul dan istighatsah kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan para shalihin. Antara lain berisi “
….Demikian pula memohon melalui Nabi SAW, wali dan hamba yang shalih bukanlah meminta kepada mereka, tetapi meminta kepada Allah semata melalui mereka. Tawassul, meminta syafaat dan beristighosah melalui mereka tidaklah mempunyai pengertian lain dalam hati kaum muslimin kecuali sebagaimana yang disebutkan di atas. Dan tak seorang pun di antara mereka yang menghadapkan dirinya selain kepada Allah semata. Barangsiapa yang dadanya tidak dilapangkan untuk masalah ini, hendaklah ia menangisi dirinya sendiri. Kami meminta kepada Allah ampunan dan kesehatan.
Dalam hadis tentang syafaat akan diutarakan permintaan perlindungan manusia kepada para Nabi pada hari kiamat. Dalam hadis tersebut terdapat dalil yang sangat jelas mengenai sikap bertawassul kepada mereka, bahwa setiap orang yang berbuat dosa dapat bertawassul kepada Allah melalui orang yang lebih dekat kepada Allah daripada dia. Ini tidak dipungkiri oleh siapapun.
Tidak ada bedanya antara hal tersebut disebut dengan meminta syafaat, tawassul ataupun istighosah. Hal ini bukanlah termasuk perbuatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembah selainNya, sebab hal ini memang kufur. Kaum muslimin, apabila bertawassul dengan Nabi SAW atau yang lainnya seperti para nabi, wali dan orang-orang shalih, tidaklah menyembah mereka, dan hal itu tidak membuat mereka keluar dari sikap tauhid mereka kepada Allah ta`ala. Hanya Dia sajalah yang memberikan kemanfaatan dan kemudaratan…. (petikan “an-Nurul Mubin” terjemahan Ustaz Khoiron Nahdliyyin dan Ustaz Ahmad Adib al-Arif)
Pon-pes Tebuireng kini semakin berkembang dan dilengkapi dengan berbagai pasilitas -pasilitas pendukung walaupun terbilang Moderen Pon-pes Tebuireng masih tetap melestarikan ajaran-ajaran salaf Dari Pendahulunya KH.Hasyim Asya’ari .sekitar tahun 1993 saya masuk ketebuireng dan di tempatkan di Komplek M ( Semacam asrama) waktu itu masih diasuh oleh Almarhum KH.Yusuf Hasyim dan kini Pon-pes Tebuireng di asuh oleh KH.Solahuddin Wahid (Gus Sholah) dan ketua Pondok Dipimpin oleh seorang Alumni Ustad Lukman yang berasal dari Pasundan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari
http://bangsaku.wordpress.com/2007/02/15/biografi-kyai-hasyim-asyari/
http://oktavita.com/search/Biografi+Ulama+Indonesia+:+KH+HASYIM+ASY’ARI
BIOGRAFI Kyai Hasyim Asy`ari
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ►e-ti/ms-atur, dari
24/10/2008
Kiai Hasyim Asy’ari
Oleh: tokoh Indonesia dotcom
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin.
Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan esantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ►e-ti/ms-atur, dari berbagai sumber.
KH. Hasyim As'yari
Kamis, 17 Juli 2008
Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) Bapak Kaum Santri dan Ulama Pembaharu Pesantren
Ketika disebut sebuah pesantren yang bernama Tebuireng yang berada di Jombang, maka akan langsung terlintas di
dalam benak kita satu sosok ulama besar yang hidup pada masanya, yaitu Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Tokoh sentral dalam pendirian salah satu organisasi massa Islam terbesar yang pernah lahir di bumi persada Indonesia
ini, Nahdlatul Ulama (NU) yang pada tahun ini genap berusia 82 tahun dan baru beberapa bulan yang lalu dirayakan
oleh segenap warga nahdliyin dengan meriah di Senayan, Jakarta.
Hadhratussyaikh KH. Hasyim asy’ari lahir pada hari Selasa, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan 14
Februari 1871 M, di lingkungan pesantren Kiai Utsman (kakek KH. Hasyim Asy’ari), Desa Nggedang, sebelah
utara Jombang. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga
dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung
dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan
rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang
dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis
(Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian
mengambilnya sebagai menantu. Dengan menikahkan dengan putrinya yang bernama Chadidjah. Tidak lama setelah
pernikahannya dengan Chadidjah, Kiai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan berada di kota suci, istrinya melahirkan putra pertama yang diberi nama
Abdullah. Tidak berapa lama kemudian, istri yang sangat dicintai itu wafat di Mekkah. Belum genap berusia 40 hari
sepeninggal istrinya, putranya, Abdullah yang masih bayi meninggal pula. Akhirnya pada tahun berikutnya ia kembali ke
Indonesia. Tetapi, ia tidak lama berada di tanah air, Kiai Hasyim berangkat lagi ke Mekkah bersama dengan adik
kandungnya, Anis. Selama di Mekkah ia berguru, antara lain kepada Syaikh Machfudz At-Tarmisy, putra Kiai Abdullah,
pemimpin pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Dari kiai machfudz inilah, Kiai Hasyim mendapat ijazah untuk
mengajar Shahih Al-Bukhari. Kiai Machfudz merupakan ulama ahli hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Selain
itu, ia juga belajar kepada Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau salah seorang ulama dan guru besar yang terkenal di
Mekkah serta menjadi salah satu imam di Masjidil Haram. KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) juga salah
seorang murid Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau. Setelah tujuh tahun menetap di Mekkah dan menimba ilmu dari
para ulama di Mekkah, Kiai Hasyim kembali ke tanah air dan langsung terjun ke dunia pendidikan yakni di pesantren
milik kakeknya kiai Utsman, untuk kepentingan perjuangan agama yang sudah menjadi bagian hidupnya. Karena
sangat dalamnya cinta terhadap dunia pendidikan, Kiai Hasyim mempunyai niat dan rencana mendirikan pesantren di
daerah Tebuireng yang terletak agak jauh dari Jombang. Teman-temannya banyak yang tidak setuju, dengan alasan
daerah tersebut tidak cocok untuk mendirikan pesantren. Di daerah itu masyarakatnya masih belum mengenal agama
dan perilaku masyarakatnya bertentangan dengan peri kemanusiaan, seperti merampok, berjudi, berzina, dan jenis
kemaksiatan lainnya. Di sepanjang jalan Tebuireng waktu itu, dipenuhi dengan rumah-rumah prostitusi dan warung
minuman keras. Namun, justru itu Kiai Hasyim bertekad mendirikan pesantren di daerah tersebut dengan tujuan agar
pesantren dapat menjadi “obat mujarab” bagi masyarakat yang tengah dilanda penyakit moral, selain ingin
merealisasikan dan mengimplementasikan ilmu yang didapat baik di Mekkah ataupun di tanah air (pesantren-pesantren).
Maka, pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1317 H (1899 M), ia mendirikan sebuah pesantren di Tebuireng dengan
murid pertama sebanyak 28 orang. Tidak lama kemudian, sedikit demi sedikit masyarakat Tebuireng berdatangan untuk
minta dibimbing dalam mempelajari ajaran agama. Sejak itu, posisi Kiai Hasyim Asy’ari semakin mantap.
Memperkenalkan sistem Musyawarah Masa kebangkitan pesantren kembali, dimulai sejak 1900, yakni sejak pesantren
Tebuireng menjadi pusat pembaruan pengajaran Islam tradisional. Sebelumnya pendidikan Islam sempat mengalami
kemunduran kualitas yang disebabkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda yang mengawaasi
dengan ketat dan membuat peraturan yang merugikan pesantren. Bahkan penjajah Belanda melarang masuknya kitab-
kitab agama tertentu dari luar negeri yang umumnya dibawa oleh para jamaah haji. Selain itu, Ordonansi guru yang
dikeluarkan oleh pihak Belanda pada tahun 1905, bahwa setiap guru agama yang hendak mengajar harus mendapat izin
dari penjajah Belanda. Akibat itulah, banyak pesantren yang mengalami penurunan kualitas. Kiai Hasyim membawa
perubahan baru sepulangnya dari Mekkah dengan metode pengajaran yang cukup sistematis. Misalnya Kiai Hasyim
Asy’ari mengembangkan sistem musyawarah, seperti diskusi kelas yang menghidupkan suasana kreatif para
santri. Selain itu, pesantren Tebu Ireng bukan hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum. Para
santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi,
dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bid’ah. Apalagi, dalam
hal sistem, pesantren Tebuireng memperkenalkan sistem madrasah. Sistem madrasah seperti yang sekarang dikenal,
yaitu dengan sistem menggunakan kelas. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah
salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi
masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga
menjadi besar. Pembentukan Komite Hijaz Latar belakang berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama berawal dari
sebuah komite yang bernama “Komite Hijaz”. Komite ini dibentuk sebagai jawaban dari perbedaan
pendapat menyangkut masalah Khilafiyah. Untuk menyikapi masalah tersebut, umat Islam Indonesia mengadakan
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com
Menggunakan Joomla!
Generated: 23 May, 2009, 03:01Page 2
kongres di Yogyakarta pada 21 sampai 27 Agustus 1925 untuk mencari input dalam menghadapi kongres Islam di
Mekah, namun aspirasi kalangan pesantren tidak tertampung. Pihak modernis menguasai jalannya kongres. Usul
kalangan pesantren agar tradisi bermazhab tetap diberi kebebasan oleh Penguasa Arab dan beberapa makam, mulai
makam Rasul dan para sahabat serta tempat-tempat bersejarah agar dipelihara dengan baik, tidak masuk dalam
agenda. Karena usulan kalangan pesantren yang dibawa oleh KH. Wahab Chasbullah tidak ditampung dalam kongres
tersebut, maka para ulama pesantren sepakat untuk membentuk “Komite Hijaz’ yang bertujuan untuk
menyampaikan aspirasi tersebut ke Penguasa Arab Saudi. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa yang mewakili
Komite Hijaz ini adalah KH. M. Bisyri Syansuri (Jombang), dan KH. Adnan (Kudus). Namun, karena pelaksanaan
ibadah haji telah selesai dan tidak ada kapal yang berangkat, keberangkatan utusan ini ditunda. Di kemudian hari,
berangkatlah Syaikh Ahmad Ghanaim al-Misri ke Mekkah untuk menyampaikan keputusan dan rekomendasi Komite
Hijaz kepada Raja Arab Saudi. Usulan itu berhasil dan diterima dengan baik oleh Penguasa Saudi. Bahkan Ibnu Saud
memberikan jaminan akan berusaha untuk memperbaiki layanan ibadah haji sejauh perbaikan itu tidak melanggar aturan
Islam (versi pemahaman Wahabi). Setelah rekomendasi yang dibawa dianggap berhasil, maka Komite Hijaz ini akan
dibubarkan. Tetapi rencana itu dicegah oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau menghendaki agar
komite ini diteruskan menjadi sebuah organisasi. Maka pada tanggal 31 Januari didirikanlah organisasi bernama
Nahdlatul Ulama (NU), yang sampai saat ini menjadi salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Tujuan lain dari
pendirian organisasi ini juga di antaranya adalah karena pemikiran dari KH. Hasyim Asy’ari tentang madzhab.
Perlu adanya organisasi yang melestarikan paham bermazhab. Karena menurut kiai Hasyim, tidak mungkin memahami
maksud yang dikandung Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut
imam mazhab. Bahkan Kiai Hasyim mengatakan bahwa sebenarnya bukan cuma empat mazhab saja yang boleh diikuti
umat Islam. Mazhab lain, seperti Sufyan Al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Ruhawaih, dan Daud Al-Zahiri, juga
boleh diikuti. Tapi, menurut pimpinan pesantren Tebuireng itu, literatur yang memuat pikiran-pikiran mereka tidak
banyak, antara lain karena tidak terkodifikasi dengan baik, maka mata rantai pikiran mereka menjadi terputus. Itulah
sebabnya, para pengikut Imam Syafi’i berpendapat – yang disetujui Kiai Hasyim – bahwa
bermazhab selain Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi tidak diperbolehkan. Alasannya, dikhawatirkan
menyimpang dari pendapat pendirinya karena tidak adanya pelestarian kodifikasi tadi. Pengakuan Kiai Cholil
terhadap Kiai Hasyim Asy’ari Pada tahun 1933 di Jombang saat diselenggarakannya pengajian pada
pertengahan bulan Sya’ban sampai akhir Ramadhan. Saat itu banyak ulama berdatangan untuk mengaji dengan
Kiai Hasyim Asy’ari. Di antara para ulama tersebut salah satunya adalah Kiai Cholil yang merupakan guru dari
Kiai Hasyim dan ulama lainnya di Indonesia. Kemudian terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH
Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini,
saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai
Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga
sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal
dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang
saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun
yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan
saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil
adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi
awal pernah berguru kepada pengasuh dan pimpinan pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini. Sedangkan Kiai
Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus
Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan penuh.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri
Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid hasyim (anaknya) dan KH. Achmad Siddiq adalah beberapa ulama
terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling
besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren
Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran
bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratussyaikh (tuan guru besar). kepada Kiai Hasyim yang merupakan
Bapak Kaum Santri dan Ulama Pembaharu Pesantren. [zarkasih. pkesinteraktif.com//:Diolah dari berbagai sumber]
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hasyim Asy'arie
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) ( (24 Dzulqaidah 1287H) lahir di Demak, Jawa Tengah, 10 April 1875 – wafat di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.Daftar isi [sembunyikan]
1 Keluarga
2 Pendidikan
3 Perjuangan
4 Lihat pula
[sunting]
Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya:
Raden Cahaya
Brawijaya II
Brawijaya III
Kyai Mangunkiras
Bhre Kertabhumi
Bhre Mangundjoko
Haji Ali Namung
Lembu Amisani
Jaka Tingkir
Jaka Posobillah
Mangunkiras Tingkir
Raden Amangkurat Jawi
Sunan Amangkurat I
Haji Ali Tingkir
Fatasillah Tingkir
Hamengkubuwono I
Hamengkubuwono II
Patih Tegalrejo
Kyai Asy'ari
Hasyim Asy'ari
KH.Wahid Hasyim
KH.Abdurrahman Wahid
[sunting]
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.
[sunting]
Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
“Ini saudara Saifudin dari Banyumas, seorang pemimpin Ansor di daerahnya” kata KHA Wahid Hasyim dalam bahasa Jawa (Kromo) sambil mencium tangan ayahandanya. Tentu saja setelah memberikan salam : Assalamu’alaikum wr.wb. aku pun ikut mencium tangan Hadlratus Syaikh. Di kalangan pesantren dan khususnya di kalangan NU jarang sekali orang menyebut nama K.H. Hasyim Asy’ari. Sebutan yang lazim ialah Hadlratus Syaikh, yang artinya yang mulia tuan guru.
Ahlan wa marhaban! Ahlan wa sahlan !” sambil menatap wajahku dalam kasih sayang, sementara tangannya masih aku cium. Kata-2 ahlan wa marhaban, ahlan wa sahlan, biasa diucapkan berulang-ulang yang menunjukan keterbukaan hati dan suka cita. Artinya sebuah kata2 selamat datang.
“Apa kabar Ananda Saifuddin ? Saya diminta dimaafkan bahasa melayu, eh bahasa Indonesia saya kurang sempurna” kata2nya sekaligus memberikan kesan bahwa orang besar ini amat jujur dan memperlihatkan wibawanya. Tidak merasa malu mengeai kekurangannya, padahal itu memperlihatkan sifatnya yang tawadlu (rendah hati).
“Apakah Ananda pernah juga belajar di pondok ini? Di pondok mana?” Hadlratus Syaikh menanyakan kepadaku apakah aku pernah belajar di pesantren Tebuireng. Di pondok yang mana? Artinya berdiam di kompleks yang mana? Dalam pesantren Tebuireng seluas kira2 30.000m2 itu dibagi menjadi beberapa kompleks: Gresik, Malang, Kediri, Banjarnegara dan sebagainya. Santri2 yang datang dari daerah Banyumas pada umumnya menempati kompleks Banjarnegara.
“Saudara Saifuddin ini dulu belajar di pesantren Jamsaren Solo” K.H.A. Wahid Hasyim cepat menjelaskan sebelum aku sempat menjawab. Orang ini cepat menangkap situasi bahwa aku mengalami kesulitan menjawab. Kalau menjawab apa adanya bahwa aku pernah belajar di Tebuireng, jawaban demikian mungkin akan sedikit mengecewakan hatinya, dan akan lebih senang seandainya aku pernah belajar di tebuireng.
“Masya Allah … ada santri Jamsaren koq menjadi Nahdloh, … Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah” demikian tanggapan Hadlaratus Syaikh atas jawaban K.H.A. Wahid Hasyim, sambil tak henti2nya mengucapkan Alhamdulillah. Kalau Hadlartus Syaikh memperlihatkan sambutannya sebagai tasyakur, hal itu dapat dimaklumi. Pada jaman itu pesantren Jamsaren termasuk lambang “Islam modern” dan sebagian besar santrinya dimasyhurkan mewakili golongan Reformis Islam. Padahal itu cuma propaganda yang ditiup2kan oleh golongan tertentu, kenyataannya tidaklah demikian. Banyak juga santri jamsaren yang mewakili golongan “kolot” yang lazim disebut beraliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Hadlaratus Syaikh memperlihatkan kepada K.H.A Wahid Hasyim sepucuk surat dalam bahasa Arab yang dikirim oleh K.H. Raden Asnawi Kudus. Dengan menggunakan bahasa Arab yang amat sempurna. Hadlartus Syaikh memperlihatkan kepada putranya bagian2 yang diarasa amat berat. Hadlaratus Syaikh biasa berbicara kepada putranya dalam bahasa Arab, tetapi sebaliknya K.H.A. Wahid Hasyim melayani pembicaraan ayahandanya dalam bahasa Jawa yang halus (kromo Hinggil). Bukan karena bahasa Arab K.H.A. Wahid Hasyim kurang sempurna, tetapi untuk memperlihatkan sikap tawadlu (rendah hati) kepada orangtuanya. Apalagi kalau ada orang ketiga atau keempat. Hadlaratus Syaikh mengalihkan percakapannya kepada dengan memperlihatkan sepucuk surat.
“Sauadara Saifuddin, saya baru menerima sepucuk surat dari guru saya yang mulia Kiai Raden Asnawi Kudus. Ini dia suratnya”. Diperlihatkan kepadaku, tetapi aku pasif saja. Aku merasa kelewat kecil untuk melibatkan diri dengan kedua ulama besar itu. Karena itu aku cuma menanggapinya dengan “inggih, inggih” seperti yang dilakukan oleh K.H.A. Wahid Hasyim. Hadlaratus Syaikh meneruskan bicaranya :
“Aku merasa susah sekali, karena Kiai raden Asnawi guru saya itu marah kepada saya. Sebabnya? Karena saya mengizinkan terompet dan gederang yang dipergunakan oleh anak2 kita, Ansor NU, padahal Kiai raden Asnawi mengharamkannya” Hadlratus Syaikh lalu bercakap2 sendiri dengan K.H.A. Wahid Hasyim dalam bahasa Arab. Aku cuma mendengarkan saja. Dalam percakapan itu, Hadlaratus Syaikh meminta pertimbangan putranya, apakah tidak sebaiknya surat tersebut dijawab dengan lemah lembut dan akan disampaikan lewat kurir. Dengan demikian diharapkan masalah yang diperselisihkan dua ulama besar itu masih diselesaikan sebelum muktamar Surabaya dibuka.
Selama Hadlaratus Syaikh bercakap2 dengan putranya aku amat terpesona akan profil ulama besar ini. Usianya ketika itu, 5 Desember 1940 mendekati 70 tahun, karena dilahirkan pada hari Selasa Kliwon 24 Dzulqo’dah 1287 atau 14 februari 1871. Bicaranya amat jelas dan jelas pula sasarannya. Sikapnya ramah tamah, air mukanya jernih dan selalu menyenangkan hati para tamunya. Tak jarang Hadlratus SYaikh melayani sendiri para tamunya dengan membawa makanan dan minuman yang dihidangkan. meskipun ada pelayan khusus yang melayani sang tamu, namun Hadlaratus Syaikh tidak mau ketinggalan menyodorkan hidangan di (hadapan) sang tamu. Sikapnya terhadap sesama ulama sangat hormat, meskipun kepada yang lebih muda.
Home » Generasi Emas
Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
18 December 2008 No Comment
Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy`ari rahimahulloh. Beliau adalah pendiri Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Hadhratusy Syaikh dilahirkan di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, pada 10 April 1875 dari keturunan ulama yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiyai Asy`ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiyai Hasyim Asy`ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). Nendanya, Kiyai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan moyangnya, Kiyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia 14 tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan nendanya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di KH.CHOLIL (madura) Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kiyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana untuk menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru dengan ramai ulama terkemuka antaranya Syaikh Nawawi Al bantani, Habib ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Mahfudz at-Tarmisi.
Setelah beberapa tahun di Tanah Suci, beliau kembali ke Indonesia dan dalam perjalanan pulangnya beliau singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. pada tahun 1899. Hadhratusy Syaikh mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf rumi, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Hadhratusy Syaikh, setelah mendapat perkenan gurunya Kiyai Kholil Bangkalan, mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti “Kebangkitan Ulama“. Organisasi ini pun berkembang dan menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia yang memiliki anggota hampir 30 juta jiwa. Pengaruh Hadhratusy Syaikh pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan beliau. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi perkembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, beliau tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerjasama hingga akhirnya , tetapi ditolaknya hingga akhirnya beliau pernah di penjara. Beliau juga tokoh yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Atas jasa-jasanya itu, beliau telah dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ulama besar ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Julai 1947 dan di maqomkan lokasi Pon Pes Tebuireng.
Hadhratusy Syaikh mempunyai beberapa karangan yang ditulisnya dalam Bahasa ‘Arab, antaranya ialah “an-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin“. Dalam karangannya tersebut Hadhratusy Syaikh memperbincangkan antara lain masalah tawassul dan istighatsah kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan para shalihin. Antara lain berisi “
….Demikian pula memohon melalui Nabi SAW, wali dan hamba yang shalih bukanlah meminta kepada mereka, tetapi meminta kepada Allah semata melalui mereka. Tawassul, meminta syafaat dan beristighosah melalui mereka tidaklah mempunyai pengertian lain dalam hati kaum muslimin kecuali sebagaimana yang disebutkan di atas. Dan tak seorang pun di antara mereka yang menghadapkan dirinya selain kepada Allah semata. Barangsiapa yang dadanya tidak dilapangkan untuk masalah ini, hendaklah ia menangisi dirinya sendiri. Kami meminta kepada Allah ampunan dan kesehatan.
Dalam hadis tentang syafaat akan diutarakan permintaan perlindungan manusia kepada para Nabi pada hari kiamat. Dalam hadis tersebut terdapat dalil yang sangat jelas mengenai sikap bertawassul kepada mereka, bahwa setiap orang yang berbuat dosa dapat bertawassul kepada Allah melalui orang yang lebih dekat kepada Allah daripada dia. Ini tidak dipungkiri oleh siapapun.
Tidak ada bedanya antara hal tersebut disebut dengan meminta syafaat, tawassul ataupun istighosah. Hal ini bukanlah termasuk perbuatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembah selainNya, sebab hal ini memang kufur. Kaum muslimin, apabila bertawassul dengan Nabi SAW atau yang lainnya seperti para nabi, wali dan orang-orang shalih, tidaklah menyembah mereka, dan hal itu tidak membuat mereka keluar dari sikap tauhid mereka kepada Allah ta`ala. Hanya Dia sajalah yang memberikan kemanfaatan dan kemudaratan…. (petikan “an-Nurul Mubin” terjemahan Ustaz Khoiron Nahdliyyin dan Ustaz Ahmad Adib al-Arif)
Pon-pes Tebuireng kini semakin berkembang dan dilengkapi dengan berbagai pasilitas -pasilitas pendukung walaupun terbilang Moderen Pon-pes Tebuireng masih tetap melestarikan ajaran-ajaran salaf Dari Pendahulunya KH.Hasyim Asya’ari .sekitar tahun 1993 saya masuk ketebuireng dan di tempatkan di Komplek M ( Semacam asrama) waktu itu masih diasuh oleh Almarhum KH.Yusuf Hasyim dan kini Pon-pes Tebuireng di asuh oleh KH.Solahuddin Wahid (Gus Sholah) dan ketua Pondok Dipimpin oleh seorang Alumni Ustad Lukman yang berasal dari Pasundan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari
http://bangsaku.wordpress.com/2007/02/15/biografi-kyai-hasyim-asyari/
http://oktavita.com/search/Biografi+Ulama+Indonesia+:+KH+HASYIM+ASY’ARI
BIOGRAFI Kyai Hasyim Asy`ari
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ►e-ti/ms-atur, dari
24/10/2008
Kiai Hasyim Asy’ari
Oleh: tokoh Indonesia dotcom
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin.
Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan esantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ►e-ti/ms-atur, dari berbagai sumber.
KH. Hasyim As'yari
Kamis, 17 Juli 2008
Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) Bapak Kaum Santri dan Ulama Pembaharu Pesantren
Ketika disebut sebuah pesantren yang bernama Tebuireng yang berada di Jombang, maka akan langsung terlintas di
dalam benak kita satu sosok ulama besar yang hidup pada masanya, yaitu Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Tokoh sentral dalam pendirian salah satu organisasi massa Islam terbesar yang pernah lahir di bumi persada Indonesia
ini, Nahdlatul Ulama (NU) yang pada tahun ini genap berusia 82 tahun dan baru beberapa bulan yang lalu dirayakan
oleh segenap warga nahdliyin dengan meriah di Senayan, Jakarta.
Hadhratussyaikh KH. Hasyim asy’ari lahir pada hari Selasa, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan 14
Februari 1871 M, di lingkungan pesantren Kiai Utsman (kakek KH. Hasyim Asy’ari), Desa Nggedang, sebelah
utara Jombang. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga
dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung
dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan
rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang
dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis
(Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian
mengambilnya sebagai menantu. Dengan menikahkan dengan putrinya yang bernama Chadidjah. Tidak lama setelah
pernikahannya dengan Chadidjah, Kiai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan berada di kota suci, istrinya melahirkan putra pertama yang diberi nama
Abdullah. Tidak berapa lama kemudian, istri yang sangat dicintai itu wafat di Mekkah. Belum genap berusia 40 hari
sepeninggal istrinya, putranya, Abdullah yang masih bayi meninggal pula. Akhirnya pada tahun berikutnya ia kembali ke
Indonesia. Tetapi, ia tidak lama berada di tanah air, Kiai Hasyim berangkat lagi ke Mekkah bersama dengan adik
kandungnya, Anis. Selama di Mekkah ia berguru, antara lain kepada Syaikh Machfudz At-Tarmisy, putra Kiai Abdullah,
pemimpin pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Dari kiai machfudz inilah, Kiai Hasyim mendapat ijazah untuk
mengajar Shahih Al-Bukhari. Kiai Machfudz merupakan ulama ahli hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Selain
itu, ia juga belajar kepada Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau salah seorang ulama dan guru besar yang terkenal di
Mekkah serta menjadi salah satu imam di Masjidil Haram. KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) juga salah
seorang murid Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau. Setelah tujuh tahun menetap di Mekkah dan menimba ilmu dari
para ulama di Mekkah, Kiai Hasyim kembali ke tanah air dan langsung terjun ke dunia pendidikan yakni di pesantren
milik kakeknya kiai Utsman, untuk kepentingan perjuangan agama yang sudah menjadi bagian hidupnya. Karena
sangat dalamnya cinta terhadap dunia pendidikan, Kiai Hasyim mempunyai niat dan rencana mendirikan pesantren di
daerah Tebuireng yang terletak agak jauh dari Jombang. Teman-temannya banyak yang tidak setuju, dengan alasan
daerah tersebut tidak cocok untuk mendirikan pesantren. Di daerah itu masyarakatnya masih belum mengenal agama
dan perilaku masyarakatnya bertentangan dengan peri kemanusiaan, seperti merampok, berjudi, berzina, dan jenis
kemaksiatan lainnya. Di sepanjang jalan Tebuireng waktu itu, dipenuhi dengan rumah-rumah prostitusi dan warung
minuman keras. Namun, justru itu Kiai Hasyim bertekad mendirikan pesantren di daerah tersebut dengan tujuan agar
pesantren dapat menjadi “obat mujarab” bagi masyarakat yang tengah dilanda penyakit moral, selain ingin
merealisasikan dan mengimplementasikan ilmu yang didapat baik di Mekkah ataupun di tanah air (pesantren-pesantren).
Maka, pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1317 H (1899 M), ia mendirikan sebuah pesantren di Tebuireng dengan
murid pertama sebanyak 28 orang. Tidak lama kemudian, sedikit demi sedikit masyarakat Tebuireng berdatangan untuk
minta dibimbing dalam mempelajari ajaran agama. Sejak itu, posisi Kiai Hasyim Asy’ari semakin mantap.
Memperkenalkan sistem Musyawarah Masa kebangkitan pesantren kembali, dimulai sejak 1900, yakni sejak pesantren
Tebuireng menjadi pusat pembaruan pengajaran Islam tradisional. Sebelumnya pendidikan Islam sempat mengalami
kemunduran kualitas yang disebabkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda yang mengawaasi
dengan ketat dan membuat peraturan yang merugikan pesantren. Bahkan penjajah Belanda melarang masuknya kitab-
kitab agama tertentu dari luar negeri yang umumnya dibawa oleh para jamaah haji. Selain itu, Ordonansi guru yang
dikeluarkan oleh pihak Belanda pada tahun 1905, bahwa setiap guru agama yang hendak mengajar harus mendapat izin
dari penjajah Belanda. Akibat itulah, banyak pesantren yang mengalami penurunan kualitas. Kiai Hasyim membawa
perubahan baru sepulangnya dari Mekkah dengan metode pengajaran yang cukup sistematis. Misalnya Kiai Hasyim
Asy’ari mengembangkan sistem musyawarah, seperti diskusi kelas yang menghidupkan suasana kreatif para
santri. Selain itu, pesantren Tebu Ireng bukan hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum. Para
santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi,
dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bid’ah. Apalagi, dalam
hal sistem, pesantren Tebuireng memperkenalkan sistem madrasah. Sistem madrasah seperti yang sekarang dikenal,
yaitu dengan sistem menggunakan kelas. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah
salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi
masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga
menjadi besar. Pembentukan Komite Hijaz Latar belakang berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama berawal dari
sebuah komite yang bernama “Komite Hijaz”. Komite ini dibentuk sebagai jawaban dari perbedaan
pendapat menyangkut masalah Khilafiyah. Untuk menyikapi masalah tersebut, umat Islam Indonesia mengadakan
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com
Menggunakan Joomla!
Generated: 23 May, 2009, 03:01Page 2
kongres di Yogyakarta pada 21 sampai 27 Agustus 1925 untuk mencari input dalam menghadapi kongres Islam di
Mekah, namun aspirasi kalangan pesantren tidak tertampung. Pihak modernis menguasai jalannya kongres. Usul
kalangan pesantren agar tradisi bermazhab tetap diberi kebebasan oleh Penguasa Arab dan beberapa makam, mulai
makam Rasul dan para sahabat serta tempat-tempat bersejarah agar dipelihara dengan baik, tidak masuk dalam
agenda. Karena usulan kalangan pesantren yang dibawa oleh KH. Wahab Chasbullah tidak ditampung dalam kongres
tersebut, maka para ulama pesantren sepakat untuk membentuk “Komite Hijaz’ yang bertujuan untuk
menyampaikan aspirasi tersebut ke Penguasa Arab Saudi. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa yang mewakili
Komite Hijaz ini adalah KH. M. Bisyri Syansuri (Jombang), dan KH. Adnan (Kudus). Namun, karena pelaksanaan
ibadah haji telah selesai dan tidak ada kapal yang berangkat, keberangkatan utusan ini ditunda. Di kemudian hari,
berangkatlah Syaikh Ahmad Ghanaim al-Misri ke Mekkah untuk menyampaikan keputusan dan rekomendasi Komite
Hijaz kepada Raja Arab Saudi. Usulan itu berhasil dan diterima dengan baik oleh Penguasa Saudi. Bahkan Ibnu Saud
memberikan jaminan akan berusaha untuk memperbaiki layanan ibadah haji sejauh perbaikan itu tidak melanggar aturan
Islam (versi pemahaman Wahabi). Setelah rekomendasi yang dibawa dianggap berhasil, maka Komite Hijaz ini akan
dibubarkan. Tetapi rencana itu dicegah oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau menghendaki agar
komite ini diteruskan menjadi sebuah organisasi. Maka pada tanggal 31 Januari didirikanlah organisasi bernama
Nahdlatul Ulama (NU), yang sampai saat ini menjadi salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Tujuan lain dari
pendirian organisasi ini juga di antaranya adalah karena pemikiran dari KH. Hasyim Asy’ari tentang madzhab.
Perlu adanya organisasi yang melestarikan paham bermazhab. Karena menurut kiai Hasyim, tidak mungkin memahami
maksud yang dikandung Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut
imam mazhab. Bahkan Kiai Hasyim mengatakan bahwa sebenarnya bukan cuma empat mazhab saja yang boleh diikuti
umat Islam. Mazhab lain, seperti Sufyan Al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Ruhawaih, dan Daud Al-Zahiri, juga
boleh diikuti. Tapi, menurut pimpinan pesantren Tebuireng itu, literatur yang memuat pikiran-pikiran mereka tidak
banyak, antara lain karena tidak terkodifikasi dengan baik, maka mata rantai pikiran mereka menjadi terputus. Itulah
sebabnya, para pengikut Imam Syafi’i berpendapat – yang disetujui Kiai Hasyim – bahwa
bermazhab selain Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi tidak diperbolehkan. Alasannya, dikhawatirkan
menyimpang dari pendapat pendirinya karena tidak adanya pelestarian kodifikasi tadi. Pengakuan Kiai Cholil
terhadap Kiai Hasyim Asy’ari Pada tahun 1933 di Jombang saat diselenggarakannya pengajian pada
pertengahan bulan Sya’ban sampai akhir Ramadhan. Saat itu banyak ulama berdatangan untuk mengaji dengan
Kiai Hasyim Asy’ari. Di antara para ulama tersebut salah satunya adalah Kiai Cholil yang merupakan guru dari
Kiai Hasyim dan ulama lainnya di Indonesia. Kemudian terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH
Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini,
saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai
Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga
sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal
dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang
saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun
yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan
saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil
adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi
awal pernah berguru kepada pengasuh dan pimpinan pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini. Sedangkan Kiai
Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus
Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan penuh.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri
Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid hasyim (anaknya) dan KH. Achmad Siddiq adalah beberapa ulama
terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling
besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren
Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran
bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratussyaikh (tuan guru besar). kepada Kiai Hasyim yang merupakan
Bapak Kaum Santri dan Ulama Pembaharu Pesantren. [zarkasih. pkesinteraktif.com//:Diolah dari berbagai sumber]
Komentar