Diplomasi Musik dalam Hubungan Internasional

Diplomasi Musik dalam Hubungan Internasional



The whole problem can be stated quite simply by asking, ‘Is there a meaning to music?’ My answer would be, ‘Yes.’ And ‘Can you state in so many words what the meaning is?’ My answer to that would be, ‘No.’
Aaron Copland (1900 – 1990)

Musik yang sedemikian indah diciptakan Tuhan dengan sejuta manfaat. Sudah tak terkatakan lagi apa saja manfaat musik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Musik dapat meningkatkan Intelegence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ), meningkatkan kreativitas, dan menjadi sarana penyaluran isi hati. Musik pun dapat menjadi sarana berdiplomasi karena sifat universalnya yang mampu membawa kita melintasi batas gegorafis dan geopolitik. Diplomasi musik mengandung keindahan tersendiri karena ia mampu berdialog dengan siapapun dalam rangka mencairkan perselisihan dan bahkan mempersatukan hati dan pikiran.

Diplomasi berbicara mengenai aktivitas komunikasi antar komunitas internasional. Untuk itu, diplomasi musik memiliki beragam fungsi komunikasi mulai dari memperkenalkan sosial-budaya hingga mencairkan perselisihan antar negara yang bersifat politis atau sebagai instrumen resolusi konflik. Meskipun efektivitasnya bersifat jangka panjang, diplomasi musik jelas memuat misi yang tidak kalah penting dengan diplomasi konvensional yang dilakukan oleh para diplomat.

Musik berlirik menyampaikan pesan diplomasinya melalui lirik-lirik tertentu seperti yang dilakukan penyanyi Sarah Connor dengan musiknya berjudul ‘Love is Color Blind’ yang mengajak dunia untuk menghargai multikulturisme ras ataupun Black Eyed Peas dengan ‘Where is the Love’nya yang mencoba mengajak dunia menjaga perdamaian dengan cinta kasih. Hal unik muncul dalam perhelatan Olimpiade Beijing 2008. Beberapa penyanyi asal Taiwan dan RRC berkolaborasi menyanyikan lagu Beijing Huan Ying Ni atau ‘Beijing Menyambut Anda’ yang liriknya sarat dengan muatan diplomasi budaya China sebagai tuan rumah Olimpiade yang internasionalis.

Diplomasi musik non-lirik atau diplomasi musik intrumental pun bergaung dalam mewarnai dinamika hubungan internasional. Dalam disertasinya yang berjudul ‘Botschafter der Musik’: The Berlin Philharmonic Orchestra and the Role of Classical Music in Post-War German Identity, Lauren Freede dari Universitas Edinburgh (2007) mengemukakan bahwa musik klasik mengambil bagian dalam menciptakan stabilitas keamanan pasca unifikasi dua Jerman. Saat itu, musik klasik menjadi instrumen menumbuhkan rasa kebersamaan sekaligus membentuk identitas Jerman modern dengan Berlin Philharmonic Orchestra sebagai ujung tombaknya.

Dalam hubungan internasional kontemporer, diplomasi musik instrumental banyak bergerak dalam sektor kemanusiaan dan politik-budaya baik atas nama individu maupun institusi. Salah satu contohnya dilakukan oleh Zubin Mehta, seorang konduktor kenamaan dunia yang berkiprah di Los Angeles Philharmonic, New York Philharmonic, dan Israel Philharmonic Orchestra. Pada tahun 2006, bersama Israel Philharmonic, Zubin Mehta memimpin sebuah konser bersejarah yang diiringi oleh nyanyian dari 500 anak-anak Palestina dan Yahudi di wilayah netral. Mehta pun memperoleh Lifetime Achievement Peace and Tolerance Award dari PBB.

Pada bulan Februari 2008, New York Philharmonic Orchestra melancarkan diplomasi musik bersejarahnya ke Korea Utara. Inilah kali pertama diplomasi publik AS dilangsungkan di Korut di tengah panasnya hubungan kedua negara terkait isu nuklir Korut. Tidak sedikit dari mereka yang hadir baru kali ini melihat bendera AS di Pyongyang. Pada tahun 2009, NY Philharmonic juga merencanakan mengadakan konser bersejarah di Gedung Opera Hanoi, Vietnam, negara komunis yang belum dikunjungi setelah Korea Utara. Tujuannya adalah meningkatkan hubungan people-to-people kedua negara. Sebuah langkah yang sangat cerdas mengingat Vietnam mulai diperhitungkan dalam percaturan ekonomi internasional.

Salah satu bentuk diplomasi musik instrumen untuk tujuan kemanusiaan diperlihatkan oleh Midori Goto, seorang violis yang baru saja berkunjung ke panti asuhan dan yayasan di beberapa kota besar Indonesia. Dengan pertunjukan musik klasik tingkat dunia, Goto menghibur anak-anak di sekolah kumuh di seluruh pelosok negara. Tak heran, Goto pun ditunjuk menjadi Duta Perdamaian PBB pada tahun 2007. Adapun contoh diplomasi musik instrumen untuk misi budaya diperlihatkan oleh 12 Girls Band, band musik tradisional-kontemporer beranggotakan 12 wanita cantik asal China yang memikat dunia dengan permainan kolaborasi alat musik tradisional dan barat.

Bagaimana dengan Indonesia? Diplomasi musik Indonesia memang sudah banyak dilakukan dan beberapa di antaranya cukup bergaung seperti Trisum (Tohpati, Budjana, dan Balawan) dan Kwartet Punakawan (Jaya Suprana, Jubing, Heru Kusnadi, dan Junaedi Musliman). Meski demikian, kiprah diplomasi musik Indonesia di mancanegara masih cenderung belum banyak bergerak dari arena diplomasi budaya. Walaupun persoalan dana menjadi salah satu penyebab penting, ada hal lain terkait diplomasi musik yang sebenarnya dapat dipelajari oleh musisi Indonesia.

Pertama, musisi Indonesia harus memiliki dan mampu memainkan musik-musik berkualitas terutama dari sudut garapan lirik. Pencipta lirik musik sudah seharusnya memilih penggunaan lirik yang ‘membangun kehidupan’ dan bukan lirik-lirik yang ‘menjatuhkan mental’ dengan sejuta pembenaran. Benar, musik adalah ekspresi jiwa. Namun perlu diingat bahwa musik dinikmati oleh para pendengarnya, minimal oleh para penggemarnya. Jika lirik yang dinyanyikan saja tidak membangun, bagaimana mungkin lagu tersebut mampu membawa misi diplomasi?

Kedua, pemerintah dan masyarakat musik Indonesia sudah seharusnya bahu membahu membangun hubungan yang konstruktif dalam rangka mengembangkan diplomasi publik Indonesia. Di satu sisi, Deplu harus terus konsisten dalam menuntun arah kebijakan dan standardisasi teknis di bidang diplomasi publik. Di sisi lain, musisi Indonesia didorong untuk turut membawa misi diplomasi publik ketika ia berkonser di luar negeri terlebih musisi Indonesia sesungguhnya sangat berkualitas. Jakarta International Jazz Festival dan Java Jazz adalah salah satu contoh wadah potensial diplomasi musik yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Indonesia.

Meskipun dampak musik bagi perdamaian hanya dapat dilihat secara kasatmata dalam jangka waktu yang sangat panjang, setidaknya diplomasi musik jauh lebih baik daripada penggunaan militer atas nama perdamaian. Sejalan dengan kalimat yang diungkapkan Henry Wadsworth Longfellow: Music is the universal language of mankind, musik sebagai anugerah indah dari Tuhan akan tetap memainkan peran diplomasi yang tidak pernah surut bagi kebaikan umat manusia. Amin.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer