Gawat Mengguggat

Setiap hari kita disuguhi informasi politik, kriminal, ekonomi, rumah tangga, budaya dan masih banyak lainnya sebagai gambaran situasi berbeda dari lingkungan terdekat yang kita alami/temui. Di sisi lain yang menjadi pemerhatinya dengan latar belakang berbeda baik kepentingan maupun kepeduliannya akan mengundang reaksi yang berbeda terhadap berita tersebut. Bagaimana jika berita itu diterima oleh orang yang berdomisili jauh, katakanlah luar negeri yang tidak tahu betul situasi yang sebenarnya. Begitu juga kita dalam menyikapi berita yang ada, apakah cukup mewakili semuanya? Bagaimana jika image tersebut sengaja diciptakan? Dan bagaimana jika benar seperti itu adanya?

Sekarang coba lepaskan diri dari keterlibatan semua itu untuk melihat lebih luas berbagai komponen yang bergerak dari aksi dan reaksi yang ada.

"Cukupkah kita menjadi saksi zaman dimana kita hidup sekarang ini ... ?!."

Pertanyaan ini bisa menjadi berita apabila kita merasa cukup dan pasrah, bisa juga menjadi penggugah apabila menyadari apa yang sedang terjadi dan dapat memprediksi kemana arahnya, atau selebihnya tantangan tersendiri akan keimanan yang kita miliki untuk merubahnya; yaitu amar makruf nahi mungkar dan dimanakan fungsi iman sesungguhnya? Apakah hanya ilusi yang tidak mungkin dapat direalisasikan? Atau sekedar kebanggaan yang tidak boleh dipertanyakan?

"Yang disebut dengan makruf menurut timbangan syariat Islam adalah setiap itikad (keyakinan), perbuatan (amal), perkataan (qawl), atau isyarat yang telah diakui oleh as-Syâri‘ Yang Mahabijaksana dan diperintahkan sebagai bentuk kewajiban (wujûb) maupun dorongan (nadb)." >http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/amar-makruf-nahi-mungkar/

Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).

'Amar makruf nahi mungkar' kalimat ini sering kali terdengar bahkan karena sempitnya pemahaman seringkali lebih diidentikan dengan kekerasaan karena memaksakan kehendak suatu golongan terhadap kebebasan orang/golongan lain. Sedangkan hukum diperjual belikan didepan mata kita, pengacara bling-bling dengan pongahnya memamerkan kekayaaannya hasil kepiawaiannya bermain catur dari produk hukum yang menyisakan celah untuk meloloskan kaum berduit.

Serba salah bukan jika institusi yang berwenang tidak mampu memperjuangkan aspirasi umat Islam untuk membenahi keadaan yang disadari ataupun tidak sebenarnya untuk kemaslahatan bersama. Namun dikarekan faktor 'x' yang tidak dapat kita ungkap daripada keimanan yang kita miliki ini tidak mampu menjawab semua tantangan ini.

Belum lagi informasi yang tidak berimbang akan peranan media dan image khalayak umum yang menerimanya, menempatkan kesucian agama tidak pada tempat semestinya.

Kesucian apakah yang saya maksudkan?
Agama itu harus begini dan begitu, tidak boleh begini dan begitu.

Secara tekstual tahu bahkan diluar kepala namun keadaan yang mengarah kearah sebaliknya (keingkaran/kemungkaran) menjadi sesuatu yang lain, dengan sendirinya peranan agama semakin sempit.

Mencegah tidak apalagi merubah, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dalam institusi agamapun akhirnya menjadi bahan olok-olokan dan selebihnya lepas tangan. Kesannya seperti coba-coba... tidak ada ketegasan atau memang tidak ada dukungan? Patut dipertanyakan.

Apabila kondisi semacam ini dibiarkan lihatlah pemikiran atau reaksi yang muncul sekarang penolakan keras terhadap agama yang dipandang sebagai dogma yang memaksa bukan suatu kehendak yang harus diarahkan (kerelaan), apalagi mengarahkan diri atau bersama-sama menuju totalitas kepasrahan kepada kehendakNYA menjadi dasar kesadaran untuk terikat pada hukum-hukumNYA.

Sejarah sudah membuktikan kehancuran tidak akan disadari apabila belum menyeluruh atau nyata dimata semua orang, berupa konflik horizontal, bencana alam, dsb. Dari wilayah kecil yaitu pribadi bahwa seseorang yang menuruti hawa nafsunya tidak akan berhenti apabila belum ada ujian yang betul-betul menyadarkannya. Jika tidak ada lagi teguran yang datang atau disadari waspadalah, berarti kelalaian teramat jauh.

Tulisan ini hanya sekedar penggugah, selebihnya temukan ritme masing-masing untuk memulihkan kesadaran. Apakah doa kita merefleksikan ketidak berdayaan atau ingatan yang tidak mampu lagi mengingatkan atau sekedar perbendaharaan saja yang tidak mewakili apapun termasuk kepedulian akan nasib sesama.

Sebelum mereka (pembangkang perintah agama) yang jelas tidak menyadari kelalaiannya karena tidak terbiasa terikat pada agama menggugat lebih jauh alangkah baiknya kita gugat kepedulian kita dahulu untuk menjawab tantangan ini secara bersama sebagai bentuk panggilan jihad minimal dengan saling mengingatkan dan merapat dengan kerapatan yang nyata.

[3 Al-Imron 142] Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer