Kisah Pahlawan Bangsa

Dirumah yang tak seberapa besar dan sederhana , dengan dinding batako putih tak berplester, kami memulai kehidupan di Jakarta dengan penuh rasa syukur . Betapa tidak , ayah yang hanya seorang tentara berpangkat bintara begitu bersyukur mendapatkan sebuah rumah yang di pinjamkan oleh Negara melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk kami tinggali. Rumah yang dihalamannya tumbuh sebatang pohon jambu air di pojok kiri dan sebuah pohon sirsak di pojok kanan , Menaungi masa kecil kami dalam suka dan duka . Diantara jeda tugas yang kadang membuat ayah berbulan bulan meninggalkan kami bersama ibu dirumah , ayah selalu merawat rumah yang kami tinggali dengan penuh seksama. Mulai dari mempercantik taman didepan halaman , lalu menutup dinding batako putih dengan semen dan cat berwarna hijau muda dan juga menambah bangunan belakang dengan dinding dan atap seadanya dari hasil menyisihkan gajinya yang tak seberapa. Ayah terkadang berdiri diseberang jalan depan rumah , persis di pinggir pagar rumah tetangga depan yang bentuk dan bahannya sama persis , hanya untuk memastikan dari kejauhan bahwa rumah kami masih berdiri tegak dan tak ada Lisplang yang miring atau copot. Ibu kadang menggumam sendiri ketika ayah memanjat atap seng rumah kami untuk memeriksa sesuatu sambil mengingatkan bahwa rumah yang kami tempati itu bukan milik sendiri . Namun ayah tidak perduli , ia tetap saja memperhatikan dengan detail apa saja yang tak beres pada rumah kami. Di rumah yang sederhana itu bersama satu deret rumah lain tetangga kami sesama tentara , kami rutin dalam tiap tahun selama berbulan bulan menunggu ayah kami yang berkeliaran di hutan hutan pulau seberang , membela tanah air dari segala pengganggu keamanan lewat sebuah perintah yang dalam posisinya tak memungkinkan untuk membantah. Disosok tubuhnya yang legam ketika kembali kerumah karena terbakar matahari , dengan sejuta cerita yang membawa kami berkelana pada petualangan sepasukan tentara , hal pertama yang selalu ia pastikan ialah meyakinkan bahwa rumah dinas kami masih tegak berdiri seperti ketika ditinggalkan pergi olehnya . Aku sering bertanya pada ayah kenapa selalu berdiri di jalan seberang rumah dan memandang rumah kami dari kiri ke kanan atas dan bawah. Ia hanya menjawab bahwa bangunan rumah kami dibuat untuk satu kompleks tentara yang biayanya pastilah tak seberapa , maka ia mengkhawatirkan apabila rumah kami tidak terbangun dengan standard teknis yang semestinya yang mungkin saja secara struktur tak sempurna. Kehidupan yang serba sederhana , dirumah pemberian dari Institusi Tentara pernah menggugahku untuk menggugat apa yang diterima oleh ayah dari Negara. Nyawanya yang dipertaruhkan di hutan daerah-daerah yang tak dikenalnya tercemari dengan berita hegemoni tentara masa itu . Ketika itu tentara menjadi sosok yang ditakuti dan menjadi sebuah institusi yang boleh mengelola apapun di sektor manapun dalam jubah doktrin yang bernama Dwi Fungsi ABRI. Satu demi satu kemewahan diberikan kepada para pemegang jabatan kala itu . Rumah rumah yang didirikan atas nama institusi tentara diluar wilayah markas mereka , didaerah daerah yang berpotensi menjadi pusat bisnis yang kesemuanya dibiayai oleh uang Negara diatur sedemikian rupa untuk bisa ditempati bersama kalangan dekat mereka saja . Skema skema untuk memungkinkan menempati rumah yang jauh lebih baik dari rumah kami itu di susun agar nantinya kepemilikan dapat berpindah tangan dari Negara ke yang menempati. Rumah-rumah itu jauh lebih bersinar dibanding rumah kami, siapapun bisa mengerti betapa rumah itu memberi kebanggaan yang amat sangat bagi penghuninya dengan segala kelebihan yang didapat dari akomodasi kebijakan politik saat itu. Dan mereka tetap dengan bangga mentahbiskan tempat itu sebagai kompleks tentara. Ayah selalu menasehatiku untuk tidak terlalu melihat sebuah rumah dari besar kecil atau bagus buruknya , ia membandingkan dirinya dengan puluhan ribu tentara lainnya yang dalam keseharian menjalankan tugasnya tidak mendapatkan tempat tinggal yang disediakan oleh Negara , mereka tersebar di rumah-rumah kontrakan dengan beban yang ditanggung sendiri . tinggal digang gang kecil yang bahkan sepeda motor pun harus menepi untuk saling membagi jalan. “ Ayah dan kalian semua termasuk beruntung , masih dapat jatah menempati rumah yang disediakan tak perlu membayar ..bersyukurlah atas semua ini !” ujar ayah suatu kali ketika kami berdua sama sama menatap benderangnya langit di beranda rumah. Waktu berlalu cepat, dalam tugas yang silih berganti ayah mulai menua , dan aku beranjak remaja . Usia mau tak mau membatasi tugasnya sebagai tentara, Di usia melewati empat puluh delapan ,sebagai bintara ia mendapatkan hak untuk mempersiapkan masa pensiunnya yang akan tiba setahun setelahnya. Dalam masa persiapan pensiunnya itu , ayah hilir mudik dengan vespa birunya entah kemana , tak ada kegundahan dari wajahnya namun mimik seriusnya lebih kerap muncul dibanding sebelumnya. Suatu pagi , ia menggugah tidur kami lalu mengajak aku dan adikku untuk menaiki vespanya lalu membawa kami pergi dalam perjalanan satu setengah jam lamanya .Disebuah tanah yang ditanami pohon perdu dan di batasi sebuah sungai kecil ia menunjuk lahan itu kepada kami seraya berkata. “Disinilah kita akan tinggal setelah ini , ayah sudah mencicilnya selama lima tahun , beruntung pak haji samad mau setiap lebaran menerima pembayaran tanah ini..!” ia tersenyum pada kami , sedang kami terkesima dengan lokasi yang begitu jauh menurut kami saat itu . suasana persawahan yang tak terpikir bagaimana untuk lalu lalang ke Jakarta , dengan apa dan lewat mana. Hari-hari berikutnya , ayah berkutat pada bagaimana membangun istana hari tuanya ,sementara biaya kami yang telah membesar juga turut mengganggu impiannya. Ia merancang rumah itu dengan bahan satu demi satu , progress yang lambat mencerminkan betapa ia terbebani dengan biaya yang kami sendiri tak mengerti. Ayah tak pernah mau menganggu sekolah kami dengan angka angka itu. Satu hari ayah mengumpulkan kami . Ibu , kakak dan adikku menanti di ruang tengah menunggu apa yang ingin disampaikan ayah . Ia menepis sedikit debu ketika menempatkan tubuhnya di sofa sederhana kami . “Satu minggu lagi ayah akan menerima surat keputusan pensiun, maka di hari itu ayah adalah bukan lagi seorang militer !” ayah memulai penjelasannya , kami semua mengangguk. “ Maka dari itu , tidak ada satupun dari kalian yang boleh mengharapkan sesuatu dari rumah yang kita tinggali puluhan tahun ini . Begitu hari pensiun itu tiba dan ayah menerima surat keputusannya maka detik itu juga kita tak memiliki hak secuilpun atas tempat yang selama ini menjadi tempat kita bersama sama baik susah maupun senang , maka kenangan rumah ini akan ada selalu ada dalam hidup kalian namun bukan menjadi kenangan sebagai milik kalian secara fisik !” Beliau bicara sangat serius. “ Diluar sana , masih banyak tentara pengganti ayah yang berharap bisa menghuni rumah ini , Rumah ini milik tentara , milik Negara , milik sebuah bangsa yang ayah rela menjadi penjaganya. Maka meski bisa menempati lebih lama atau bahkan mengajukan kepemilikannya sampai kalian nanti dewasa , tapi semua itu bukan satu tujuan ayah masuk tentara . Negara sudah memberikan kita tempat yang layak itu sudah kehormatan untuk kita semua maka sekarang saatnya kita harus mengembalikannya dengan penuh hormat dan kondisi layak !” meski ia terlihat tegar , namun di matanya sedikit membayang selapis air yang tak pernah dijatuhkannya. “ Lalu kita akan kemana setelah ini , sementara rumah kita di bojong gede sana belumlah jadi apa apa ?” Ibuku yang penyabar bertanya . “ Seminggu ini ayah akan berusaha membuatnya sedikit layak untuk kita tinggali, dan pada hari pensiun nanti kita sudah bisa menempati dan ternaungi dari hujan dan panas .” ia menegaskan “ Jadi kapan kita harus pindah ayah ?” Tanya adikku. “ Di hari ketika ayah menggenggam surat keputusan pensiun , di hari itulah kita membawa semua barang barang , jangan terlewati satu haripun, karena hari setelahnya adalah bukan hak kita !” Aku begitu mengenal ayah , jika berprinsip dia akan menegakkannya dengan segala resiko. Kami hanya terdiam , dan menuruti apa yang diinginkannya , meskipun terbayang betapa repotnya di hari itu , dan terutama betapa sedihnya harus pergi dari tempat kami dibesarkan secepat itu. Ibu senantiasa menyiapkan apa yang ayah rencanakan , dalam satu minggu kami menyiapkan segala sesuatu untuk siap pindah . Dan pada hari yang ditentukan , pukul sepuluh pagi ayah menggenggam selembar surat putih berstempel kesatuannya . hari itu ayah pensiun , dan kami memuati barang-barang kami keatas mobil truk yang ayah sewa , sebuah truk umum biasa , bukan truk tentara. Kami dilepas oleh tetangga kami yang dengan kesedihan luar biasa, bertahun tahun bersama dalam satu lingkungan dan harus berakhir cepat karena keinginan ayah kami yang begitu kerasnya . Para tetangga sempat memberi hiburan pada ibu dengan memintanya bersabar atas keinginan ayah kami yang menurut mereka “ Keras Kepala “. Ibu hanya menggeleng , ia tak menyalahkan ayah kami dan malah mengatakan semua itu adalah keputusan terbaik buat kami . Dalam rumah baru kami yang setengah jadi , kusen yang masih separuh coklat , dan jendela yang sebagian tertutup kayu papan , kami merajut kehidupan yang tak lagi memanfaatkan pemberian siapa siapa kecuali jerih payah ayah kami. Bertahun tahun setelahnya , kami mendapati tetangga tetangga kami yang sudah melewati masa pensiun masih kebingungan untuk mencari tempat tinggal pengganti. Tak ada rencana pasti bagi mereka ketika mempersiapkan masa pensiun mereka , dan ketika hari itu tiba , dengan terpaksa Negara memberikan keringanan untuk tinggal lebih lama bagai mereka sampai mereka menyiapkan tempat tinggal milik mereka sendiri . Sementara ribuan tentara baru lainnya, menanti untuk mendapatkan fasilitas rumah dinas yang terganjal karena seniornya masih menempatinya. Dan diruang tengah rumah baru kami setelah semua jadi , ayah terduduk di depan televisi , matanya memandangi sebuah berita dimana beberapa orang menggelindingkan ban bekas di tengah jalan lalu membakarnya , sementara diseberangnya ratusan petugas berbaju hijau bertulis provost mencoba merangsek untuk mengosongkan rumah rumah dinas yang selama ini ditempati bertahun tahun oleh keluarga tentara . Dalam spanduk dan wawancara , diungkapkan para keluarga tentara yang diminta mengosongkan rumahnya setelah sekian tahun diberi kesempatan pindah merasa Negara tak pernah memberikan balas jasa pada ayah dan kakek mereka , yang katanya telah rela membela bangsa ini dengan taruhan nyawa mereka . Kegaduhan terjadi , Tangis disana sini , sementara prajurit terus menjalankan perintah Negara mengosongkan rumah milik Negara yang di klaim sudah menjadi milik keluarga. Sebuah dilema bagi tentara muda yang melaksanakannya, harus mengusir paksa para keluarga seniornya. Ayah berkata kepadaku : “ Orang tua mereka yang tergusur itu , tak pernah sedikitpun berkeinginan untuk mendapatkan sebuah rumah ketika memutuskan masuk tentara , yang ada dibenak mereka adalah semangat membela bangsa ini agar selamat . Tapi lihat saja , siapa yang harus kita bela dalam posisi itu , Negara atau pembela negaranya …bersyukurlah ayah tidak membiarkan kalian menuntut yang bukan haknya, bersyukurlah kalian telah meninggalkan rumah itu , sehingga orang tak melihat kalian ada di layar televisi dengan mengungkit jasa jasa ayah kalian !” Matanya terus menatap televisi , dan teriakan protes terus keluar dari layar kaca. Seperti apa yang disampaikan ibu kami kepada para tetangga, bahwa keputusan untuk meninggalkan rumah dinas kami secepatnya adalah keputusan terbaik bagi kami semua , bukan kerana sebuah keputusan karena “ Keras Kepala “. Semoga tentara senantiasa menjaga republik ini dari mara bahaya , dan memberikan yang terbaik bagi kesejahteraan pembela pembela tanah air yang telah rela mengorbankan jiwa raga. Tetaplah senantiasa bersahabat dengan rakyat dan senantiasa menjaga juga keluarga yang ditinggalkan anggotanya . Dihari ini biasanya kami menyalami ayah dengan penuh hormat , hingga akhirnya terbatasi oleh akhir hayatnya beberapa tahun silam. Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia , 5 oktober 1945 – 2011 !! Salam super Aryadi Noersaid

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer