Sepenggal Kisah Tarawih
Tarawih merupakan shalat
malam (qiyamul lail) di bulan
Ramadhan. Tarawih berasal
dari kata raahah yang berarti
bersantai setelah empat
rakaat. Artinya shalat ini dapat
dikerjakan tidak sekaligus
dalam satu rangkaian, namun
dapat disela-sela dengan
kegiatan lain di luar shalat
setelah menyelesaikan empat rakaat, empat rakaat. Rasulullah SAW tercatat tiga
kali melakukan shalat tarawih
di masjid yang diikuti oleh
para sahabat pada waktu
lewat tengah malam. Khawatir
shalat tarawih diwajibkan karena makin banyaknya
sahabat yang turut
berjamaah, pada malam ketiga
Rasulullah SAW lalu menarik
diri dari shalat tarawih
berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah. Pada saat selesai shalat
Subuh beberapa hari
kemudian beliau menyampaikan
konfirmasi, “Sesungguhnya
aku tidak khawatir atas yang
kalian lakukan pada malam- malam lalu, aku hanya takut
jika kegiatan itu (tarawih)
diwajibkan yang menyebabkan
kalian tidak mampu
melakukannya.” (HR. Bukhari). Pada masa kekhalifahannya,
Umar bin Khathab
memerintahkan shalat tarawih
berjamaah dengan imam Ubay
bin Ka’ab sebanyak dua
puluh tiga rakaat dan bacaan sekitar 200 ayat, setelah
sekian lama para sahabat
shalat sendiri-sendiri. Kegiatan tersebut didasari
oleh kemaslahatan bersama
akan persatuan dan kesatuan
kaum Muslim. Menyaksikan
indahnya tarawih berjamaah
lewat tengah malam, Umar bin Khathab berkata, "Ini adalah
bid'ah yang paling nikmat." Pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz, kegiatan shalat
tarawih ditambah hingga 33
rakaat dengan alasan
perbedaan kualitas ibadah
kita dengan Rasulullah SAW. Namun, jumlah rakaat tarawih
yang terakhir ini hanya
masyhur pada zaman itu dan
tidak popular hingga zaman
kita saat ini. Perbedaan jumlah rakaat
tarawih disebabkan oleh tidak
adanya batasan jumlah rakaat
saat Rasulullah SAW
melakukannya dalam tiga
malam itu. Imam As-Syuyuthi menukil pernyataan Imam Al
Taj As-Subhi berkata, “Tidak
adanya batasan rakaat
karena tarawih adalah shalat
sunah. Yang mau sedikit
(rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga dipersilahkan.” Di banyak negara, kita
menjumpai kaum Muslimin
melaksanakan shalat tarawih
dengan delapan atau dua
puluh rakaat. Di banyak masjid
Maroko, shalat tarawih dua puluh rakaat dipecah menjadi
dua bagian, yaitu setelah
shalat Isya dengan delapan
rakaat dan satu jam sebelum
Subuh dengan dua belas
rakaat plus tiga witir. Di Indonesia, sekitar dua puluh
tahun lalu, rakaat tarawih
dapat dipakai untuk
mengidentifikasi seseorang
apakah dia NU atau
Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh rakaat,
kita akan menyatakan bahwa
dia NU. Sebaliknya jika delapan
rakaat, dengan mudah kita
akan mengatakan dia
Muhammadiyah. Namun saat ini, sejalan
dengan pendalaman
keagamaan masyarakat dan
kemudahan mendapatkan
akses informasi keagamaan,
ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk
menentukan ke-NU-an
maupun ke-Muhammadiyah-an. Pasalnya, sudah banyak orang
NU yang berpikir simpel,
praktis dan ekonomis sehingga
memilih delapan rakaat
tarawih plus witir. Sebaliknya,
banyak orang Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-
Muammadiyah-annya yang
tidak hanya mencukupkan diri
dengan delapan rakaat,
melainkan dua puluh rakaat. Tarawih adalah shalat sunah
yang dapat dilakukan dengan
banyak rakaat dan banyak
jeda istirahat. Jangankan
dipecah menjadi dua kali, lebih
dari dua pun tidak masalah asalkan menambah
persaudaraan, kebersamaan,
kerukunan dan persatuan
umat. Maka sesungguhnya
tidak ada ruang bagi kita
untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia
shalat sunah, apalagi jika
dilakukan dengan visi
membangun persatuan umat.
Komentar