Kepolisian Paling Banyak Lakukan Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM oleh kepolisian menduduki peringkat teratas. Kepolisian masih menggunakan metode pemaksaan dalam penanganan perkara.

Di tengah masa reformasi, pelanggaran HAM di Indonesia memasuki tren baru. pelanggaran HAM dalam penegakan hukum cukup tinggi. Komnas HAM mencatat sebanyak 1.106 pengaduan ditujukan kepada polisi.

Jumlah ini cukup besar karena mencapai 27 persen dari total seluruh pengaduan, 4.142 pengaduan. Dengan jumlah ini, kepolisian menduduki peringkat teratas pelanggar HAM disusul oleh perusahaan (748 pengaduan) dan pemerintah daerah (550 pengaduan).

Pengaduan ini lebih banyak diajukan oleh individu. Pengaduan individu yang ditujukan oleh kepolisian berarti terjadi pelanggaran HAM pada proses penyelidikan dan penyidikan. Total pengaduan oleh individu, mencapai 1.826 aduan atau 44%.

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyatakan pelanggaran HAM dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian sangat tinggi. Jenis Pelanggaran yang dilakukan lebih banyak terkait pada proses penanganan kasus perkara pidana. "Polisi masih suka menggunakan teknik intimidasi, pemaksaan dan pembujukan," ujarnya, ketika ditemui di Jakarta, Minggu (8/11).

Pelanggaran HAM dalam penegakan hukum ini semakin nampak. Hak memperoleh keadilan merupakan jenis hak yang paling banyak dilanggar, yakni mencapai 1.374 pengaduan atau 33% dari seluruh aduan.

Sementara itu, pelanggaran HAM dalam proses penyelidikan dan penyidikan juga dinyatakan oleh Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nurkholis Hidayat. Dari 1.200 kasus yang ditangani oleh LBH tiap tahun, sekitar 100 hingga 150 laporan pelanggaran HAM dalam proses penyelidikan dan penyidikan dilaporkan oleh ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

"Jumlah ini cukup ajeg (stabil) setiap tahun dan jenis laporannya sama, yakni pelanggaran hak saat pemeriksan oleh polisi dalam rangka fair trial," ungkapnya.

Stabilnya angka laporan ini menurutnya sangat memiriskan. Dirinya yakin kepolisian belum melakukan perubahan signifikan untuk menerapkan prinsip HAM dalam proses penegakan hukum.

"Laporan yang kami berikan tidak mengalami perubahan signifikan, artinya polisi masih terus menerus melakukan pelanggaran yang sama, baik besarnya maupun jenisnya," imbuhnya.

Nurkholis mengaku khawatir dengan stabilitas angka ini. Pasalnya, tidak ada perubahan signifikan dalam tubuh kepolisian. Padahal setiap tahunnya laporan yang sama diserahkan kepada Kompolnas. "Kami sadar kewenangan kompolnas sendiri tidak mampu mmberikan perubahan sebesar yang kami inginkan," ucapnya.

Ia mengakui bahwa memang kepolisian bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh dalam memburuknya implementasi HAM dalam penegakan hukum. KUHAP juga menjadi salah satu elemennya. "Tapi itu bukan alasan karena dengan KUHAP yang sedemikian bermasalah kepolisian masih saja melakukan pelanggaran HAM, apalagi kalau KUHAP nya lebih bagus, tentu akan banyak sekali kesalahannya," jelasnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra M Zein, menambahkan pokok pelanggaran HAM ini merupakan penggunaan kekerasan oleh kepolisian dalam proses hukum. Polisi cenderung mencari jalan pintas untuk menuntaskan sebuah kasus. "Secara umum kekerasan dan intimidasi dilakukan untuk memenuhi alat bukti dalam KUHAP," jelasnya.

Pelanggaran HAM oleh kepolisian dilakukan dengan dua jalan, yakni dengan melakukan secara aktif ataupun dengan pembiaran. "Karena levelnya berbeda, seperti kapolres, kan tidak mungkin dia melakukan. Namun dirinya membiarkan hal tersebut terjadi," lanjutnya.

Menurutnya, kepolisian harus melakukan perubahan dalam melakukan metode pembuktian. Metode keilmuan seharusnya diterapkan secara lebih dominan dalam semua kasus. "Pembuktian tidak hanya melulu dari keterangan saja," jelasnya.

Patra memandang, tingginya angka kekerasan dalam proses hukum adalah tidak adanya pengawasan dalam pemeriksaan oleh polisi. Polisi dapat melakukan pemeriksaaan terhadap seseorang tanpa didampingi advocat. "Polisi tidak mendapat pengawasan pemeriksaan seperti apa yang dilakukannya," ujarnya.

Jika dalam pemeriksaan, seseorang dapat didampingi oleh advocat maka resiko terjadinya kekerasan akan dapat diminimalisir. "Setidaknya advocat atau pengacara tersebut tahu apa hak yang dimiliki oleh kliennya. Sehingga polisi yang melakukan pemeriksaan akan berpikir jika akan melakukan pelanggaran hak," imbuhnya.

Seperti halnya Nurkholis, dirinya khawatir sebenarnya banyak pihak yang telah menjadi korban pelanggaran HAM. Namun mereka tidak berani melapor karena adanya intimidasi. "Mereka hanya akan menjadi dark number," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin memandang perubahan Polri pasca pemisahan dengan TNI memang belum sempurna. Perubahan kepolisian baru dirasakan dalam tahap pelayanan masyarakat saja. "Dalam penegakan publik service polisi sudah bisa dikatakan berubah, seperti pelayanan SIM, surat keterangan, dan sentra layanan pengaduan," jelasnya

Di sisi lain dalam penegakan hukum, kepolisian masih belum melakukan perubahan signifikan. Ia menganggap profesionalisme kepolisian dalam penegakan hukum masih rendah. "Dalam law enforcement proses perubahan yang dilakukan polisi masih belum nampak terutama dalam penyidikan," ujarnya.

Kepolisian masih mengedepankan kekerasan dalam proses penahanan dan penangkapan. "Masih banyak cara-cara kekerasan dipraktekan untuk memaksa seseorang mengakui perbuatan. Cara-cara ini bukanlah cara yang profesional," lanjutnya.

Ia menekankan, laporan Komnas HAM harus menjadi catatan kepolisian untuk melakukan perbaikan. "Angka ini sebenarnya cukup besar, namun saya khawatir ini tidak menjadi perhatian serius," jelasnya.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer