pendarahan dan kerusakan otak

Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, vertilasi yang adekuat dan oksegenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fruktur tulang wajah, fruktur mandibula atau maksila, fruktur laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan trauma pada vetebraservikal. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vetebraservikal. Vetebra servikal harus sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat mengganggu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan pada oropharing sering dilakukan di dalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan massa atau oropharingeal airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway definitive. Pada airway definitive, maka ada pipa di dalam trakea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat Bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan di tempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan pada penemua-penemuan krisis antara lain :
1. adanya apnoe
2. ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain.
3. kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus
4. ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan.
5. cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas (GCS=8)
6. ketidakmampuan mempertahankan oksegenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah.
Intubasi nasotrakeal adalah tekhnik yang bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blid nasotrakeal intubation) hanya dilakukan pada penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnoe. Fraktur wajah, fraktur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina chiriformis merupakan kontraindikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi di dalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan airway surgical.

Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan oksigen yang tajam (10 L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi. Analisa Gas Darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertuakaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik dari paru-paru, dindinh dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksida dan hipercarbia bias terjadi pada penderita dengan kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, deviasi trakeal, gerakan pradoksal pada dada, dan suara nafas hanya pada satu sisi (unilateral)
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey. Hemotothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru mengganggu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.

Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kehilangan darah yang banyak. Menghentikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan langsung.
Hipotensi pada pasien dengan multiple trauma selalu disebabkan oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada dewasa, anak 30 ml/kgbb). Perdarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari. Pengisian kapiler pada ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan pemberian tranfusi darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali tidak memberikan respon tidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer laktat (2-L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakukan tranfusi darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik.

Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan syok.
Terdapat 4 klasifikasi perdarahan, antara lain :
1. Perdarahan kelas I (kehilangan volume darah sampai 15%) : gejala klimis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi atau frekuensi pernafasan. Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam.
2. Perdarahan kelas II (kehilangan volume darah 15% sampai 30%) : gejala-gejala klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang dewasa), takipnea dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saat sentral yang tidak jelas seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang memerlukan transfuse darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan kritaloid pada mulanya.
3. Perdarahan kelas III (kehilangan volume darah 30% sampai 40%) : akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000 ml untuk orang dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hamper selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting pada status mental dan penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan transfuse darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat.
4. Perdarahan kelas IV (kehilangan volume darah lebih dari 40%) : dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang cukup besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diagtolic yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada dan kesadaran jelas menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini seringkali memerlukan transfuse cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan tersebut

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer