PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN : DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo) MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP “Studi Etnoekologi di Kalangan Orang Biboki” (Yohanes Gabriel Amsikan)

NAMA : suma indranegara Hari/Tgl : Senin/8 Juni 2012
NRP :n024080143 Ruang : RK GMSK 11

PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN : DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
(Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo)
MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
“Studi Etnoekologi di Kalangan Orang Biboki”
(Yohanes Gabriel Amsikan)

Ikhtisar Bacaan 1

Revolusi Hijau merupakan program yang mengintensifikasikan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia, serta jaringan irigasi. Namun yang menjadi fokus utama adalah tanaman padi. Selain itu ada tanaman jagung dan palawija. Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan berbagai masalah, yakni dari aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan budaya. Hal ini mengakibatkan berbagai kerentanan di sektor pertanian. Revolusi Hijau juga terjadi di bidang perikanan, yakni Revolusi Biru dimana sektor pertambakan udang di Indonesia mengalami intensifikasi dan monokulturisme. Ada dua hal mengenai intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertama, penggunaan pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor pertanian membuat pertanian rentan.
Banyak curahan perhatian, dana, upaya penelitian, dan pengadaan sarana pertanian untuk mensukseskan aneka revolusi monokultural, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya pengembangan pangan lokal biasanya tidak tersedia dukungan politik yang memadai untuk mendukung. Dengan kata lain, seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang pertanian diarahkan pada pertanian intensif dan monokultur. Misalnya pada paket kredit petani.
Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani. Hal ini terjadi karena pembangunan pertanian gagal dikaitkan dengan pengembangan kesejahteraan petani melalui pembangunan desa yang rata dan adil. Petani hampir tidak pernah mendapatkan pelayanan informasi mengenai pasar, iklim, dan hasil-hasil penelitian yang bisa mereka terapkan, termasuk mengenai teknologi tepat guna yang bisa memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Akibatnya, citra petani sebagai golongan miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultan dari kegagalan pembangunan dalam mengangkat tingkat ekonomi sosial petani. Lebih jauh dari itu, kini semakin sedikit generasi muda yang mau jadi petani, terutama di kawasan industri di Jawa dan Bali karena sektor pertanian dipandang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup.
Sebagai upaya untuk mendekatkan teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru yang spesifik lokal berdasarkan permasalahan yang dialami petani. Teknik pertanian yang merupakan pengembangan dari pengetahuan tentang proses ekologis adalah Sistem Intensifikasi Padi (system of rice-SRI). Sistem ini dikembangkan di Madagaskar lebih dari 20 tahun yang lalu dan segera diterima oleh petani di banyak negara, termasuk Indonesia. Teknik yang digunakan dalam SRI adalah dengan memperlebar jarak tanam shingga penyerapan unsur hara oleh akar merata kepada seluruh tanaman. Pada tahun 2004, dimana secara internasional dan nasional dideklarasikan sebagai tahun beras, semakin banyak petani kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolusioner dalam bercocok tanam padi.

Ikhtisar Bacaan 2

PENDAHULUAN
Wilayah Biboki merupakan daerah sabana, yakni padang rumput yang luas diselingi semak belukar yang tidak begitu lebat. Keadaan ini menuntut orang Biboki (yang rata-rata bermata pencaharian petani) untuk mengadakan adaptasi pada aspek pertanian. Menyusul munculnya padang sabana, maka perlaha-lahan dikembangkan pola pertanian baru, yakni perladangan dangan cara na’fot (balik tanah) dengan peralatan tradisional, seperti suan (tugal) dan kannu (linggis).
Dalam kenyataan, semmu tidak pulih sebagaimana diharapkan. Dengan demikian, jelas sekali bahwa munculnya sabana di Timor, khusus Biboki karena hasil “buatan manusia” dan bukan semata-mata konsekuensi alam.dalam hal iklim dan tanah, artinya disadari atau tidak orang Timor termasuk orang Biboki telah menyebabkan perubahan ekologi di wilayahnya.
Memang benar bahwa perlakuan manusia terhadap alam atau lingkungannya tidak lain adalah suatu proses adaptasi (Goldshcmidt 1986). Namun demikian, adaptasi yang berlebihan dalam arti penggunaan sumber daya yang berlebihan dapat berakibat maladaptif. Artinya, campur tangan manusia, baik terhadap lingkungan maupun terhadap ekosistemnya secara tidak terkendalikan, dapat memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi (Bennert 1978, 1980)
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara kumulatif dan etnografi. Cara yang digunakan untuk mendapatkan data adalah pengamatan terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan pedoman wawancara. Kemudian data yang terhimpun diklasifikasikan dan dideskripsikan secara holistik-integratif, dianalisi dan ditafsirkan secara kualitatif dari sudut pandang sistem pengetahuan dan etnoekologi pertanian agar dapat terungkap sudut pandang masyarakat yang diteliti (Sairin 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu kekhasan pertanian orang Biboki adalah perladangan berpindah (swidden agriculture) suatu gaya bertani yang masih khas orang di wilayah tropis (Freeman 1970). Pertanian dengan sistem ladang berpindah ini di satu pihak merupakan suatu bentuk kearifan ekologis dan adaptasi ekologis karena secara tidak langsung membantu proses pemulihan kesuburan tanah.
Namun demikian, bersamaan dengan masuknya pengaruh dari luar beberapa dasawarsa yang lalu, maka pertanian di kalangan orang Biboki dalam banyak hal kurang memperhatikan konsep di atas. Ladang berpindah, yang diharapkan dapat berfungsi mengembalikan kesuburan tanah, tidak lagi menjadi faktor yang mempertahankan keseimbangan ekologi.

KESIMPULAN
Pengetahuan mengenai alam sekitar tercakup dalam pengetahuan tentang pergantian yang terjadi di antara dua musim yang ada, yakni faknaisa (musim kemarau) dan oefata (musim hujan), termasuk iklim, curah hujan yang dibutuhkan tanaman, dan gejala alam lainnya yang berpengaruh terhadap baik tidak hasil pertanian, serta berbagai margasatwa yang berguna dan merugikan bagi kegiatan pertanian.


Analisis Bacaan 1 dan 2

NO Unsur Kebudayaan Bacaan 1 Bacaan 2
1 Bahasa Ada istilah khusus dalam pertanian Bahasa Biboki
2 Sistem Teknologi Adanya Program Revolusi Hijau, Intensifikasi dan monokulturisme pertanian pangan, serta teknologi-teknologi pertanian lainnya. Munculnya system perladangan baru dengan cara na’foi (balik tanah) dengan menggunakan peralatan sederhana seperti suan (tugal) dan kannu (linggis).
3 Sistem Ekonomi Indonesia berhasil menjadi Negara Swasembada Pangan. Masyarakat Biboki bertani bersifat Subsistem.
4 Organisasi Sosial Munculnya Organisasi-organisasi Sosial yang memfasilitasi kelompok-kelompok tani atau desa-desa. -
5 Sistem Pengtahuan PBB dan FAO memberi penghargaan kepada Indonesia karena berhasil berswasembada Pangan. Pengetahuan akan Tanah.
6 Kesenian - Pembacaan Syair.
7 Sistem Religi - Mitos, Kepercayaan.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer