Model kebijakan hukum desentralisasi pengelolaan lingkungan hidup berbasis pendekatan ekosistem dan tipologi daerah
Perpustakaan Universitas Indonesia >> Laporan Penelitian -
Dikti
Muhammad Akib
Deskripsi Dokumen: http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=134954&lokasi=lokal
------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
Kebijakan hukum otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 204 tentang
Pemerintahan Daerah memberikan implikasi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Berbagai urusan yang semula menjadi wewenang pusat, kini berbalik
menjadi wewenang daerah atau setidaknya diselenggarakan bersama antara pusat dan
daerah, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Secara ideal melalui otonomi
daerah ini diharapkan kondisi lingkungan di daerah semakin baik dan untuk itu
kebijakan hukum desentralisasi harus berlandaskan pendekatan ekosistem serta
disesuaikan dengan tipologi daerah. Namun dalam kenyataannya sejak otonomi
daerah kondisi lingkungan cenderung rusak, antara lain karena kebijakan hukum
desentralisasi yang tidak pro-lingkungan. Untuk itu diperlukan kajian yang
mendalam sehingga dapat dirumuskan model kebijakan hukum desentralisasi dan
otonomi daerah bidang pengelolaan lingkungan yang tepat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan diteliti dan
dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Mengapa
kebijakan hukum desentralisasi dan otonomi daerah pengelolaan lingkungan
hidup yang tercermin dalam produk hukum otonomi daerah bidang lingkungan
hidup tidak berbasis pendekatan ekosistem dan tipologi daerah? (2)
Bagaimanakah dampak dari kebijakan hukum desentralisasi dan otonomi daerah
bidang lingkungan hidup yang tidak berbasis pendekatan ekosistem dan tipologi
daerah? dan (3) Bagaimanakah model kebijakan hukum desentralisasi dan
otonomi daerah pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis pendekatan
ekosistem dan selaras dengan tipologi daerah?
Penelitian ini dilakukan terhadap kebijakan hukum pusat dan pemerintah
Ptrovinsi Lampung dan beberapa kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Untuk itu
penelitian ini bertolak dari penelitian hukum doktrinal yang mengkaji konsep dan
doktrin hukum desentralisasi lingkungan dengan menggunakan statute approach,
analytical approach, dan conceptual approach. Setelah itu dilanjutkan dengan
pendekatan socio-legal, yaitu mengkaji fenomena hukum dan implikasi sosial
dan ekonomi dalam penerapan otonomi daerah di bidang lingkungan. Bahan
hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan, indept interview, dan FGD,
kemudian dianalisis secara deskriptif-analitik. Pelaksanaan penelitian secara
keseluruhan meliputi dua tahap, yaitu tahap pertama (tahun ke-1) mencari model
kebijakan hukum desentralisasi yang berbasis ekosistem, dan tahap kedua (tahun
ke-2) adalah uji model dalam bentuk penyusunan panduan pembuatan produk
hukum daerah yang berbasis ekosistem dan pelatihan legal drafting.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kebijakan hukum desentralisasi
pengelolaan lingkungan, baik dalam produk hukum pusat maupun produk hukum
daerah di Provinsi Lampung belum mencerminkan pendekatan ekosistem
berdasarkan tipologi daerah. Kebijakan hukum pengelolaan lingkungan yang
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pelaksanaannya yang terkait dengan pengelolaan lingkungan, seperti PP No. 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PP No. 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan PP No. 50 Tahun 2007
tentang Kerjasama Daerah, cenderung mempertahankan karakter sektoral dan
dibatasi oleh wilayah administratif. Oleh karena itu produk hukum daerah pun
memiliki karakter yang sama, bahkan banyak kebijakan hukum yang terkait
dengan lingkungan tidak dapat dilepaskan dari orientasi ekonomi. (2) Dampak
dari kebijakan hukum yang demikian selain banyak Perda yang dibatalkan oleh
Menteri Dalam Negeri, kondisi lingkungan cenderung rusak di era otonomi
daerah. Kerusakan hutan semakin bertambah, luasan lahan kritis bertambah dan
dapat dijumpai di seluruh wilayah Provinsi Lampung, dan semua sungai di
Provinsi Lampung kini dalam status tercemar. Hal ini bermuara dari subtstansi
kebijakan hukum desentralisasi yang yang berlandaskan pendekatan ekosistem
dan tipologi daerah, baik mengenai pembagian wewenang, konstruksi
kelembagaan lingkungan daerah, dan pengaturan koordinasi dan kerjasama
antardaerah. (3) Model kebijakan hukum desentralisasi yang terkait dengan
pembagian wewenang tidak dapat hanya difokuskan pada aspek pengendalian
semata, melainkan secara integral meliputi semua aspek mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan hingga penegakan hukum. Kelembagaan lingkungan
harus mandiri dan kuat, dalam artian memiliki tugas dan wewenang mulai dari
perencanaan sampai pengawasan dan penegakan hukum. Bentuk hukum
kelembagaan yang digagas sebagai model adalah berbentuk Dinas Daerah, yang
kalau mengacu UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup nomenklatur yang ditawarkan adalah Dinas Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Daerah. Mengingat hampir semua wilayah kabupaten/
kota di Provinsi Lampung berada dalam wilayah DAS, terutama DAS Sekampung
dan DAS Seputih, maka model kerjasama antardaerah dalam pengelolaan
lingkungan yang harus segera diatur adalah model pengelolaan DAS terpadu dan
model Cost sharing antara daerah hulu dan hilir.
Agar kebijakan hukum desentralisasi tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan ada beberapa rekomendasi yang mendesak. Pertama, perlu
dilakukan reorientasi kebijakan hukum otonomi daerah, terutama produk hukum
daerah hendaknya memadukan aspek demokratisasi dan keberlanjutan ekosistem.
Kedua, perlu penguatan kelembagaan lingkungan daerah dan membangun
wawasan dan komitmen yang kuat dari pejabat pemerintah daerah terhadap
pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan. Ketiga, perlu pengaturan secara
khusus kerjasama antardaerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup, karena PP
No. 50 Tahun 2007 sifatnya sangat umum dan lebih banyak mengatur tata cara
pelaksanaan kerjasama daerah. Diperlukan produk hukum masing-masing daerah
untuk menindaklanjuti Keputusan Bersama Kepala Daerah yang merupakan
landasan awal kerjasama daerah.