BBM Melangit, Harga Pangan Melejit

Oleh Achmad Syaifuddin* Pemerintah hampir bulat melakukan pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) per tanggal 1 April 2012. Dari rencana tersebut, pemerintah akan menaikan harga BBM bersubsidi Rp 1.500 perliter untuk menghemat anggaran subsidi sekitar Rp. 38 triliun. Ada beberapa alasan pemerintah untuk merasionalisasikan kebijakan ini mulai dari penyehatan APBN, membayar pembengkakan subsidi BBM yang terjadi 2011 lalu, dan penyuksesan program diversifikasi energi dari BBM ke BBG. Setiap kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan umum selalu bersifat second best policy. Pada konteks ini, pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat seharusnya mampu menempatkan diri pada posisi kekinian rakyat sesuai amanat konstitusi. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) per Maret 2011 mencatat masih ada 30.02 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi penduduk miskin pedesaan sebanyak 18.97 juta jiwa dan 11.05 juta penduduk miskin perkotaan. Artinya, masih banyak penduduk negeri ini yang belum mapan daya belinya dan butuh “subsidi” dari pemerintah. Kenaikan harga BBM menimbulkan multiplier effect bagi kehidupan masyarakat secara mikro. Hal yang paling tampak adalah kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Diprediksikan bahwa kenaikan harga BBM sebesar 30% akan meningkatkan inflasi sebesar 1,4% sehingga menurunkan daya beli masyrakat. Berdasarkan pengamatan di beberapa pasar, harga kebutuhan pokok meningkat antara Rp 1000-10.000. Ironisnya, untuk meredam kenaikan harga BBM pemerintah memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sekitar Rp25,6 T (70% dari penghematan subsidi BBM). Perlu diingat bahwa subsidi yang salah kelola dan hanya bagi-bagi uang akan menimbulkan ketergantungan, kemalasan, dan malapetaka berkepanjangan. Pemerintah jangan memberdayakan masyarakt miskin dengan mendidik menjadi pengemis. Di sisi lain, bersamaan dengan kenaikan harga BBM pemerintah berencana mengurangi subsidi pupuk dan benih bagi petani. Dalam APBN-P 2012 subsidi pupuk dikurangi hingga Rp2,98 T (17,59%) dan subsidi benih dipangkas menjadi Rp129,5 M (53,7%). Pada hakikatnya, kenaikan harga pangan yang terjadi saat ini merupakan kumulatif dari turunnya produksi pangan dalam negeri akibat infrastruktur yang buruk, perubahan iklim, sulitnya akses modal, dan harga pupuk serta benih yang mahal. Seharusnya untuk mengendalikan peningkatan harga pangan akibat kenaikan BBM, pemerintah memastikan bahwa pasokan pangan cukup dengan memberikan insentif yang lebih besar bagi petani dan kegiatan produktif lainnya. Bukan salah kaprah memberikan charity yang sifatnya untuk tujuan konsumtif. Harga BBM yang melangit telah membuat harga pangan melijit sehingga kehidupan rakyat kian hari semakin sulit. Rasanya pemerintah perlu membedakan antara kebijakan dan kebijaksanaan dalam perspektif suasana kekinian. Pemerintah tentu ingin yang terbaik buat rakyatnya. Opsi kenaikan harga BBM yang akan diikiti dengan kenaikan TDL dan kenaikan harga lainnya perlu disikapi secara arif. Suara penolakan yang semakin keras dari seluruh elemen masyarakat menyiratkan bahwa kenaikan BBM saat ini belum tepat. Di samping itu, pemerintah perlu segera melakukan stabilitas harga pangan akibat kesalahan timming mengeluarkan isu kenaikan BBM ke publik yang terlalu cepat. Akhirnya, sebelum pemerintah jadi menaikan harga BBM, transparansi dan perbaikan pengelolaan migas nasional perlu disampaikan ke publik secara terang benderang sebagai bahan pertimbangan rasioanal bagi rakyat Indonesia. Pemerintah perlu berikhtiar hingga tuntas untuk mengatakan suatu kebijakan sebagai opsi terkahir. *Menteri Kebijakan Pertanian BEM KM IPB BERKARYA

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer