Partai dalam Pandangan Islam dan Partai dalam Pandangan Demokrasi

Kita hidup di negara yang –katanya demokrasi. Dalam negara demokrasi, meniscayakan berdirinya partai-partai politik. Sebab, dalam logika demokrasi, partai politik adalah salah satu instrumen dalam penyampaian aspirasi rakyat. Semakin banyak aspirasi rakyat tertempung di partai A, maka jumlah pengikut dan simpatisan partai A pun akan semakin besar pula. Ketika partai A sudah menunjukkan kekuatan massa terbesar, maka itu saatnya partai A berkuasa. Dengan demikian, logika demokrasi adalah, suara rakyat mayoritas berhak menentukan ‘nasib’ sebuah negara demokrasi, melalui berkuasa partai dengan pengikut jumlah terbesar tersebut. Saat itulah partai yang paling besar suaranya itu dikatakan sebagai partai pemenang. Jadi, standar kemenangan sebuah partai dalam negara demokrasi adalah suara. Bagi partai yang suaranya kcil, dia akan tersingkir dengan sendirinya. Dalam konteks Islam, partai adalah hizb dan politik adalah siyasah. Hizb berarti kumpulan orang yang memiliki satu tujuan. Sedangkan siyasah memiliki arti pengurusan atas urusan umat. Sehingga partai politik (hizbun siyasiyun) adalah sekelompok orang yang terorganisasi, yang memiliki orientasi nilai, cita-cita yang sama dalam mengurusi urusan umat. Jika partainya adalah partai Islam, berarti sekumpulan orang yang memiliki cita-cita, nilai, dan tujuan yang disandarkan pada Islam dan ingin mengurusi urusan umat dengan jalan Islam pula. Dalam konteks ini, ada sedikit kesamaan antara partai politik dalam pandangan Islam dengan partai politik dalam pandangan demokrasi, ini hanya dilihat dari sisi: keberadaannya sebagai kumpulan orang-orang. Namun jika lebih jauh diungkap, ternyata ada perbedaan mendasar yang perlu diketahui, yaitu: apa sebenarnya latar belakang berdirinya sebuah partai politik, dan ukuran kemenangan partai politik, dalam pandangan Islam dan dalam pandangan demokrasi. Jelas, sebagaimana dikatakan di atas, partai politik dalam logika demokrasi, didirikan semata-mata sebagai lembaga penyalur aspirasi politik umat. Sifatnya yang seperti ini, membawa konsekuensi pada aspek standar kemenangan partai, yaitu suara yang banyak. Ini berbeda dengan partai dalam pandangan Islam. Keberadaan partai politik dalam pandangan Islam, bukan semata-mata sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat. Tetapi lebih daripada itu, partai politik didirikan sebagai lembaga untuk melakukan amar makruf dan nahi munkar. Allah berfirman: “Wal takun minkum ummatun yad’uuna ilal khairi wa ya-muruuna bil ma’ruuf, wa yanhauna ‘anil munkari. Wa ulaaika humul muflihuun.” Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kalian sebagian umat yang menyerukan kebaikan (al khair) dan melakukan amar makruf nahi munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104) Dalam ayat tersebut, terdapat beberapa penjelasan penting seputar partai politik yang disebut ‘sebagian umat’. Apa penjelasan penting itu? Yaitu dakwah ilal khair (dakah kepada al khair/Islam), dan amar makruf nahi munkar (menyuruh kepada kebajikan dan melarang dari kemunkaran). Oleh karena itu, partai politik dalam pandangan Islam adalah partai yang mengajak umat untuk kembali pada Alquran dan sunah, serta mengajak umat untuk melakukan amar makruf nahi munkar. Tetapi jika ada partai politik Islam, menjadikan partai sebagai sarana untuk memperkaya diri, sarana untuk menguji kemampuan berpolitik, sarana untuk menikmati kenikmatan euforia berpolitik, dan sebagainya, maka hal tersebut bertentangan dengan Islam. Ada juga partai politik yang mengaku Islam atau berbasis massa Islam, tetapi kok malah melindungi Ahmadiyah, menolak syariat Islam, dan menghalangi tegaknya syariat Islam, jelas sudah bahwa partai tersebut tidak menyandarkan standar kemenangannya pada Islam tetapi pada logika demokrasi sekuler yang bertentangan dengan Islam. Karena bertentangan, jelas sudah, bahwa standar yang digunakan, juga bukanlah standar Islam. Berpijak dari hal tersebut, maka bisa diketahui tentang standar kemenangan suatu partai politik dalam pandangan Islam, yaitu keberhasilan partai dalam mengurusi urusan umat berdasarkan Alquran dan sunah. Jadi, kemenangan partai politik Islam bukanlah kemenangannya dalam Pemilu atau Pemilukada. Oleh karena itu, menjadikan AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi/Partai Keadilan dan Pembangunan), partai An Nahdhah di Tunisia, Ikhwanul Muslimin di Mesir sebagai contoh, adalah pola pikir yang tidak Islami. Sebab, didasarkan pada logika demokrasi yang memang tidak beranjak dari akidah Islam. Yaitu, bahwa partai-partai tersebut tidak menerapkan al khair (Islam), dan melakukan amar makruf nahi munkar sepenuhnya. Ini hanya dari sisi standar dan fungsi partai saja. Sedangkan dalam praktik riil yang terjadi terhadap partai-partai berstandar demokrasi, ternyata jauh dari normatifnya.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer