1336 JIHAD KEBANGSAAN

Selamat pagi teman2
Ini oleh2 dari Tangerang :


Saya membuka mata; mobil yang kami tumpangi memasuki halaman kompleks ruko yang nampak lengang. Kami baru saja mengunjungi sebuah museum Peranakan Tionghoa di daerah Benteng, Tangerang. Sebuah museum yang cukup menarik karena terletak di tengah-tengah pasar nan sibuk. Bayangkan sebuah museum di tengah Pasar Gang Baru yang penuh pedagang dan aneka rupa barang dagangan. Tapi saya mau bercerita tentang museum ke-dua yang kini akan kami kunjungi.

Kami datang bersembilan dari Semarang sebagai pengurus Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong. Kami bermaksud membuat museum mini di gedung perkumpulan kami. Kami ragu-ragu turun dari mobil. Di depan lisplang ruko tergantung papan nama bercat merah dengan tulisan emas: 'Museum Pustaka Peranakan Tionghoa'. Pintu masuk ruko nampak tertutup.
"Apa sudah tutup?," ujar salah seorang dari kami. Kami memang terlambat hampir 1 jam dari waktu yang ditentukan. Sekarang hampir jam setengah empat sore.
Saya turun dari mobil dan langsung mendorong pintu yang tertutup. Ternyata pintu bisa dibuka.

Di dalam ruko yang sudah menjadi 'museum mini' nampak beberapa orang sedang berbincang. Mereka menoleh melihat saya masuk. Saya mengangguk. Seorang pria berkumis dan berjanggut rapi menyapa, "Yang dari Semarang?"
Saya tersenyum lebar dan menyalami. Rekan-rekan saya yang lain masuk.
"Ini sobat saya yang ikut ngurusi museum," si pria berkumis, pemilik museum, memperkenalkan temannya yang bertubuh sedikit lebih kecil.
Tiga orang lain di dalam, sepasang suami istri dan anaknya, adalah pengunjung juga.

Kami melihat ke sekeliling ruko berukuran tidak seberapa luas yang dipenuhi rak dan buku sepanjang dinding dan ruangan.
"Ada bukunya 'Tjamboek Berdoeri'?," saya iseng menyebutkan nama samaran seorang penulis Tionghoa legendaris.
Si pria berkumis mengangguk. "Ada. Kami punya cetakan aslinya."
Saya terkesiap. Jarang-jarang orang tau nama penulis itu, jarang-jarang orang punya kopian bukunya, eh, dia punya cetakan aslinya. Ia menunjuk ke rak kaca di depan saya. Saya memelototi buku bersampul kertas bewarna kekuningan yang sudah termakan usia terkemas dalam plastik. Buku ini menceritakan pengalaman seorang penulis Tionghoa, saat Jepang masuk ke kota Malang dan memulai masa penjajahan yang tragis dan memilukan, tapi juga menggelikan. Sebuah komedi di tengah tragedi.

Saya menatap pria di depan saya lekat-lekat. "Mengapa bapak membuat museum ini?"
Si pemilik tersenyum. Nampaknya ia telah sering mendapat pertanyaan ini.
"Ceritanya panjang," jawabnya. Matanya menerawang jauh.
"Waktu itu usai Reformasi. Tahun 1999 - 2000 an..." Wajahnya berubah sendu. Ia berusaha mengumpulkan kenangan yang mungkin tidak begitu indah.
"Kita bertahun-tahun merintis dan berjuang. Kita demo...." Si pria menelan ludah sebelum melanjutkan, "Tau-tau, dalam hitungan hari, perjuangan kami dibelokkan. Kejadian 13-14 Mei di luar dugaan kami...."
Saya menatapnya tanpa kedip.
"Tak sekalipun selama demo, kami pernah meneriakkan kata-kata kebencian atau pun sara..." Ia memalingkan wajahnya.
"Tak sekalipun...," ulangnya lirih.
Saya mengangguk. "Di luar dugaan, ya?"
"Ya.." Ia mengangguk. Sesaat kami terbenam dalam perasaan masing-masing.
"Bapak merasa dimanfaatkan..."
Ia menatap saya. "Betul. Kami sangat merasa dimanfaatkan..."

Dan sejak saat itulah, si pria Aceh bersama sobatnya, dua-duanya non-Tionghoa, bahu-membahu, siang malam, di tengah kesibukan rutin kerja, mengumpulkan arsip cetakan, data tertulis dari jaman dulu, mencari dan menelisik, apa peran Tionghoa di Indonesia.
"Tidak ada bidang apapun di Indonesia di mana Tionghoa tidak berperan!," si pria berkata dengan tegas.
"Semua bidang! Mulai dari pendidikan, sosial politik, juga militer..."
Lalu si pria berkisah tentang Laksmana Muda John Lie yang gagah berani, tentang peran Tionghoa yang bekerjasama dengan orang Jawa di Semarang saat merintis cikal bakal Universitas Diponegoro, tentang jumlah dan mutu karya sastra penulis Tionghoa yang tidak terdokumentasi dengan baik, tentang...

"Luar biasa!" Saya mendecakkan lidah. "Sungguh saya tidak berharap bakal menemukan ini saat masuk ke dalam ruangan ini..."
Salah seorang rekan saya mengangguk. "Ya. Koleksi yang luar biasa!"
Saya menggeleng. "Maksud saya bukan koleksinya, tapi yang Bapak lakukan..." Saya menuding si pria dan rekannya. "Yang luar biasa!"
Saya mengacungkan dua jempol. Rekan di sebelah saya mengangguk. Ia tadi sempat berbisik, ia sempat merinding saat mendengar kesaksian si pria 'membela dan mempejuangkan' jasa orang Tionghoa di Indonesia; tanpa tedeng aling-aling. Khas orang Aceh. Tegas.

Saya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan 'perjuangan' si pria Aceh dan sobatnya untuk mendidik masyarakat agar sadar bahwa jasa orang Tionghoa tidak terhitung dan, "tidak akan pernah terbayar," tandasnya. Mereka melakukan segalanya dengan penuh sukarela, mulai dari berburu buku dan pustaka hingga membeli ruko. Mereka merogoh kocek sendiri. Mereka tidak mau dibantu oleh siapa pun; dalam bentuk apa pun.
Saya terdiam.
"Hanya kami yang bisa bicara. Hanya kami yang bisa mengangkat isue in dan menjelaskan," tegasnya. Mereka bahkan tidak mengijinkan orang Tionghoa untuk membantu mereka.
"Akan mengubah persepsi jika ada Tionghoa di sini..." Suaranya terdengar mantap dan yakin.
Saya mengangguk paham. Sangat paham. Tidak mungkin orang Tonghoa menepuk dada sendiri, berkoar-koat di tengah pasar, minta jasa-jasanya diakui.
"Ini jihad kami, Pak...," ujar si pria lirih. Sobatnya mengangguk.
Dan mendadak saya merasakan sebuah kehangatan perlahan merambat ke seluruh kalbu. Akhirnya, ada juga yang bisa memahami. Akhirnya, ada juga yang menyadari, mau berbuat sesuatu, mau berjuang, mau membuktikan - Tionghoa di Indonesia telah banyak berjasa.

"Terima kasih, Bang," ujar saya terbata-bata. "Yang Abang lakukan, bukan saja baik untuk orang Tionghoa, tapi juga untuk bangsa kita..."
Si pria mengangguk. "Setuju, Kak..."

Dan di sore menjelang mahgrib, saya mendadak menemukan kembali keindonesiaan yang saya pikir telah hilang ditelan hiruk pikuk jargon penuh kebencian dan sara selama ini. Ternyata Indonesia kita masih ada.

"Terima kasih, Bang..."

April 2018
Ditulis oleh
Harjanto Halim.

Komentar

Recommended Posts

randomposts

Postingan Populer